Kalau mau
mempelajari sejarah kehidupan Masyarakat
tradisional Suku Dayak Kantu’, yang
hidup di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat, sebetulnya mereka
memiliki jaringan sosial yang sangat kuat.
Hal ini terlihat pada sosial kehidupan di rumah betang ( Bahasa Dayak Kantu’ menyebutnya: Rumah
Panjai) misalnya musyawarah (behaum ), berimpoh, bedurok sampai kepada
hasil buruan yang dibagi dan dimakan bersama seluruh penghuni Rumah Betang
(Rumah Panjai) demikian juga kalau ada pesta atau gawai perkawinan dan kematian
misalnya seluruh penghuni rumah Betang menanggungnya bersama.
Juga yang tidak kalah pentingnya adalah,
bahwa Petani Tradisional Dayak Kantu’ adalah “Pengusaha tanpa manajemen
Perusahaan” yang disebut dengan “Berageh”. Sangat disayangkan budaya
berageh tidak mampu dimanajemen secara profesional. Dimana kegiatan berageh lebih mementingkan
individualisme ketimbang kerja organisasi, sehingga tidak terciptanya ekonomi
kreatif yang mampu menempatkan diri sebagai
pemain utama terhadap pasar.
Berageh dapat diartikan menjual hasil bumi
yang mereka dapat dengan berkeliling dari rumah- kerumah atau dari kampung
kekampung atau dari Desa kedesa dengan digendong atau dengan sampan.
Ibu- ibu Suku Dayak Kantu’ yang berageh
adalah pekerja keras dan rajin membangun hubungan- hububungan sosial. Sangat
memprihatinkan relasi sosial dan kerja keras itu tidak dapat diterjemahkan
menjadi suatu keunggulan dalam ekonomi
pasar.
Secara keseluruhan sosial kehidupan Suku
Dayak Kantu’ di Kabupaten Kapuas Hulu boleh dikatakan hampir setiap keluarga di
desa- desa memiliki ladang- ladang untuk menanam padi yang luas, memiliki
paling tidak sebidang kebun karet dan memiliki sebuah motor tempel (kapal motor ) untuk berusaha. Pertanyaannya
adalah :”Mengapa mereka tidak mampu
membangun jejaring sesama pengusaha satu Desa agar mampu mempertahankan harga
standard pasar ?”
DASAR PERMODALAN
Budaya kehidupan di Rumah Betang (Rumah
Panjai ) dengan serangkaian adat - budaya dan sederetan peristiwanya seperti bepekat/ behaum, berimpoh/ gotong- royong
( artinya bantuan tenaga kerja dari luar
keluarga untuk membantu kegiatan tanpa
ada imbalan atau balasan apapun), bedurok
( artinya memberikan konpensasi
kewajiban tenaga kerja yang setimpal dengan bantuan tenaga kerja yang
diterimanya ), serta tolenransi dan lain sebagainya tersebut tidak mampu
diterjemahkan kedalam praktek penyelenggaraan kegiatan ekonomi produktif yang berbasis ekonomi pedesaan – kerakyatan
guna menciptakan kerja sama ekonomi di Pedesaan ?.
Dalam mengembangkan usahanya di Pedesaan/
Kampung, para Pengusaha Desa/ Petani Pedesaan nampaknya lebih suka menjaring
relasi dengan pengusaha diatasnya, para tengkulak dan lintah darat diperkotaan
ketimbang dengan sesama pengusaha dipedesaan atau di kampung. Sehingga sosial
kehidupan mereka tetap statis bahkan semakin terjepit saja.
Kalau saja para Petani Suku Dayak Kantu’
ini mampu menciptakan modal sosial tradisional yang diwariskan oleh budaya
Rumah Betang (Rumah Panjai ) yang bersumber dari kearifan lokal dari berladang “gilir balik” dan hasil buruan
serta tangkapan ikan disejumlah danau dan sungai kedalam ekonomi kreatif,
diyakini mereka mampu menciptakan jejaring harga yang serempak dalam satu desa,
satu Kecamatan, atau satu Kabupaten bahkan mungkin satu Propinsi.
Bila harga karet per kilo gram saat ini dipasaran
bertengger diangka Rp.4.000,- semestinya mereka serempak membatalkan transaksi,
kecuali bila harga telah sesuai dengan yang diinginkan. Begitu pula dengan
pengelola Sumber Daya Alam yang lain. Namun semua itu tidak mampu mereka
terjemahkan.
Tidak sedikit lahan kebun atau Ladang (untuk
Gilir – Balik ) masyarakat Suku Dayak Kantu’ (Seperti di Kecamatan Seberuang dan Semitau termasuk juga Kecamatan
Empanang Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi
Kalimantan Barat ) yang telah dijual kepada Perusahaan (Perkebunan Sawit ) karena mereka tidak
berdaya menghadapi korporasi yang manajemennya sudah mapan, dan juga sebagian
dari mereka ingin mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat, sehingga
kerusakan lingkungan hutan dan pencemaran Daerah Aliran Sungai dan Danau tidak
terelakan, kebakaran hutan menjadi pemandangan baru, dan banjir menjadi warisan
kepada anak cucu nanti.
Semua ini terjadi, karena mereka sebagai “Pengusaha
tanpa manajemen Perusahaan” tidak memiliki kekuatan jaringan yang
terorganisir untuk menolak atau paling tidak menegosiasi politik para investor
yang sudah terorganisir dengan baik.
NEGARA DIMINTA HADIR
Gambaran diatas menujukan betapa sulit
bagi Petani Pedalamanan Kalimantan Barat, khususnya Masyarakat Suku Dayak Kantu’
untuk mengembangkan diri, bila kemampuan nego individu lebih ditonjolkan ketimbang
kemampuan korporasi, apa lagi kalau stempel
“ Pengusaha
tampa manajemen Perusahaan” terus dikembangkan.
Kalau
para Petani Dayak, khususnya Suku Dayak Kantu’ tidak mampu memerankan
diri sebagai manajer yang baik dan profesional, paling tidak bertindak sebagai “Pengusaha
dengan majemen Perusahaan” serta menciptakan kerja sama antar Pengusaha
(Petani ) satu Desa, atau satu Kecamatan, atau mungkin satu Kabupaten, alangkah baiknya kalau mampu satu Propinsi,
mustahil kegiatan ekonomi mereka dapat berkembang dengan baik.
Tergusurnya kearifan- kearifan lokal,
tanah/ lahan tempat mereka menggantungkan hidup dan kehidupan mereka, adat
serta budaya masyarakat disekitar hutan, rendahnya pendidikan, kesehatan yang
masih porak poranda, kemiskinan makin merajalela dan terstruktur, serta harga
hasil hutan atau kebun yang terombang- ambing dan budaya Betang Panjang (Rumah
Panjai ) semakin melorot jauh adalah suatu bukti ketidak berdayaan mereka menghadapi
jaringan ekonomi yang semakin mengglobal ini.
Sebab dalam kontestasi ekonomi modern, persaingan kontestan bisnis terjadi secara terbuka, yang bukan saja antar petani atau pengusaha tetapi juga antar organisasi. Disinilah peran Negara diperlukan...?!. Terutama menumbuh kembangkan semangat “BERAGEH/BARAGEH yang ditunjang oleh budaya RUMAH BETANG/ RUMAH PANJAI”. S e m o g a...!!!
Referensi: Gabriel Alvando
Tidak ada komentar:
Posting Komentar