oleh : gabriel alvando
EKSISTENSI
HUKUM ADAT
Sebagai bagian dari Bangsa Indonesia yang
merdeka dan berdaulat, masyarakat (adat ) Kalimantan Barat yang konon selama
masa penjajahan merasa dipinggirkan dan
hak milik adat mereka dirampas demi kepentingan penguasa. Tentunya sangatlah
wajar bila mana setelah “merdeka” mengharapkan masyarakat
adat diperhatikan oleh Negara.
Hal tersebut diatas, dikaitkan dengan
melihat usia keberadaan Masyarakat Hukum Adat Penduduk Asli Kalimantan Barat sudah
turun temurun berada di Pulau Borneo ini, atau sekurang- kurangnya telah berada
dan “menguasai wilayah (ulayat ) tersebut
jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal
17 Agustus 1945, apalagi kalau dikaitkan dengan Undang- Undang Pokok Agraria
(UUPA) Nomor 5, yang baru diterbitkan pada tanggal 24 September 1960 yang
menjadi dasar hukum perpolitikan pertanahan di Indonesia”.
Harus diakui, bahwa masyarakat hukum adat
pedalaman Kalimantan Barat adalah “Penguasa
dan Pemilik Wilayah” diseluruh wilayah Kalimantan Barat yang secara de
facto maupun secara de jure ataupun secara lahiriah maupun secara bathiniah “masih dengan jelas menampakan adat dan
budaya serta hukum adat mereka, terutama yang berkenaan dengan kehidupan
sehari- hari berhubungan dengan alam atau tanah”.
Masyarakat Hukum Adat Pedalaman Kalimantan
Barat, penguasa wilayah (ulayat ) dimasing- masing daerah diwilayah Kalimantan
Barat bersama Pengurus/ Pemangku Adat atau fungsionaris adatnya dalam berbagai
jenjang kepengurusan, sebagai Suku Bangsa yang bermasyarakat, dimana adat baik
sebagai budaya maupun sebagai hukum masih dengan jelas eksis dalam kehidupan
yang dikandung adat/ berlandaskan adat dan budaya masing- masing.
Namun demikian, masyarakat luar kususnya
kaum pendatang sering beranggapan bahwa berlakunya hukum adat menimbulkan
dualisme hukum, pada hal tidak demikian adanya.
Kalau ditinjau dari sudut pandang
sosiologi hukum, maka apabila masyarakat mau memahami eksistensi hukum adat
itu, merupakan aset yang sangat berharga bagi pembentukan dan pemberlakuan
hukum nasional, terutama dalam menciptakan “rasa
keadilan, kepastian hukum dan nilai- nilai kemanfaatannya” tentunya
anggapan dualisme hukum tidak perlu dipertanyakan.
Tertunda atau diabaikannya perkara tetang
hak adat/ hak ulayat tentunya akan menimbulkan amarah Masyarakat Hukum Adat
kepada Pelaku, dan kadang kala akan menimbulkan akibat fatal. Sebagai contoh
kasus masalah tanah Masyarakat Hukum
Adat yang diambil Pemerintah karena dianggap lahan tidur dan diserahkan kepada
Pengusaha ( investor ).
Kalau berkenaan mendalami, memahami dan
mengerti eksistensi hukum adat, yang lahir
dari ”prilaku, kebiasaan, norma- norma
dan kaidah adat- istiadat maupun budaya (budi dan daya )” dari lingkungan
Masyarakat Adat itu sendiri, yang telah diyakini secara turun temurun hidup
ditengah- tengah masyarakat adat, pada suatu tempat dan dalam waktu tertentu
dan pasti pula telah diuji serta diakui kebenarannya oleh masyarakat adat itu
sendiri, bahwa “perannya dalam
menciptakan keadilan, kepastian dan nilai- nilai kemanfaatannya sangat
berarti”.
Pemberlakuan Hukum Adat dalam Masyarakat
Adat di Kalimantan Barat selalu diyakini dan dirasakan mampu “memberikan rasa keadilan, kepastian dan
nilai manfaat” yang pada umumnya Hakim Adat dalam putusannya tidak pernah
meniadakan “Hukum Nasional” sepanjang
itu pantas dalam pandangan Masyarakat Adat yang sangat terikat “pada alam yang religius magis”.
UNDANG- UNDANG POKOK AGRARIA MEMANDANG HAK ULAYAT
Undang- Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok Agraria merupakan seperangkat hukum yang menjadi pokok dalam penyusunan
hukum pertanahan nasional di Indonesia. Sebagaimana diketahui UUPA adalah
sebuah produk hukum yang diyakini mengakhiri “BHENIKAAN” perangkat
hukum yang mengatur dalam bidang Pertanahan yang mana dalam mengaplikasikannya
masih dirasakan memberatkan pada hukum adat.
Harus diakui bahwa didalam hukum adat
dewasa ini, apabila melihat realita yang ada dalam prihal hak atas tanah dapat
memungkinkan didalamnya terdapat penguasaan atas tanah yang secara individual,
dengan hak- hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan.
Hal tersebut diatas seiring dengan rumusan
konsepsi hukum adat yang mempunyai sifat komunalistik hukum. Definisi dari hak ulayat adalah suatu
sifat komunalistik yang menunjukan adanya hak bersama oleh para anggota
masyarakat hukum adat atas sebidang tanah tertentu.
Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan
hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak
kepunyaan bersama, maka dalam rangka hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik
atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
Sehubungan dengan itu, hak ulayat
keberadaannya dalam Undang- Undang Pokok Agraria secara teori sudah diakui,
tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat- syarat tertentu. Karena
itu hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya
adalah apabila didaerah- daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan
dihidupkan kembali.
Dalam UUPA dan hukum
tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya,
artinya mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan
eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui
proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak- hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Tanah Ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai
suatu karunia ilahi kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok
yang merupakan Masyarakat Hukum Adat sebagai unsur pendukung utama bagi
kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.
Disinilah sifat relegius pendukung hukum antara
para warga Masyarakat Hukum Adat dengan tanah ulayat ini. Adapun tanah ulayat untuk tanah bersama dalam
hal ini oleh kelompok dibawah pimpinan Kepala Adat , dalam mengaplikasikan
Hukum Adat (misalnya tanah lapang, lahan tidur,
hutan dan lain sebagainya ) pada intinya
untuk kepentingan bersama.
Hak ulayat dalam masyarakat hukum adat tersebut “selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para
anggota atau warga masyarakat hukum adat yang termasuk kedalam bidang ‘hukum perdata’ juga mengandung tugas,
kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, peruntukan dan
penggunaan yang termasuk bidang publlik”.
PEMERINTAH DITUNTUT BERSIKAP
Berdasarkan konsep kebijakan Kepala Daerah
dan Pemerintah Daerah yang mengemban mandat otonomi tidak ada alasan untuk
tidak memberdayakan daerahnya dengan memanfaatkan Hak Masyarakat Adat
didaerahnya sebagai sumber ekonomi daerah untuk menunjang tatanan “Hukum, Politik, Pendidikan, sosial budaya
serta keidupan lainnya”.
Sayangnya statemen dan keputusan politik
“Penguasa Negara” yang telah
mendapat mandat dari rakyat baik sebagai unsur “Legislatif”maupun
sebagai unsur “Ekskutif” tidak pernah dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,
sehingga benar- benar dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, karena urusan
“penyerahan dibidang pertanahan” kecuali
ketentuan hak ulayat sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor, 5 Tahun 1999, bidang lain yang menyangkut Hak
Masyarakat Adat tidak jelas atau bahkan
tidak diatur sama sekali, sehingga masalah Hak Milik Adat/ Hak Ulayat atau hak-
hak serupa itu “menjadi permasalahan yang
tidak pernah akan berakhir baik secara nasional maupun secara regional/ daerah”.
Mungkin sengaja tidak perlu diakhiri.
Dari tujuan politik hukum “kecendrungan dari Pemerintah untuk
meniadakan hak masyarakat hukum adat, terutama hak ulayat atau hak serupa itu sebagai hak
benua/binua/banua/menua atau watas komunal selalu menjadi mimpi buruk yang
membayang- bayangi hak masyarakat adat Pedalaman Kalimantan Barat”, karena
untuk penguasaan tanah bagi Perusahaan maupun oleh Pemerintah masih dirasakan
ada atau dengan kata lain “akan adanya
kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat”, yaitu dengan
menerbitkan serangkaian Undang- Undang atau peraturan yang menyediakan berbagai
fasilitas dan sarana, untuk memudahkan dan memastikan perolehan, penguasaan dan
penggunaan tanah yang diperlukan oleh Pengusaha/ Investor.
Seperti
diketahui, biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan atau berlaku dan
mungkin pernah diperhatikan dalam keputusan hakim, namun belum pernah ada pengakuan
atas hak ulayat tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang sesungguhnya berpihak kepada masyarakat, bahkan dalam pelaksanaan
peraturan agraria hak ulayat sering kali diabaikan. Padahal dengan disebutnya
hak ulayat didalam Undang- Undang Pokok Agraria, berarti hak Masyarakat Adat atau Hak Ulayat tentunya diperhatikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar