PERTANIAN
TANAMAN PANGAN ADALAH UJUNG TOMBAK
Pertanian Tanaman Pangan diyakini sebagai
ujung tombak kegiatan ekonomi di Kalimantan Barat, oleh sebab itu tidak terlalu
berlebihan jika rakyat Kalimantan Barat menggantungkan mimpi “bahwa Pemeritah Daerah Kalimantan Barat (baik Kabupaten, Kota maupun Propinsi
)” lebih menitik beratkan pembangunan sosial ekonomi pada sektor Pertanian
Kalimantan Barat dengan potensi Sumber
Daya Alamnya yang berlimpah, mestinya mampu menyediakan kebutuhan bagi
masyarakat. Namun sampai sekarang pembangunan yang optimal kesektor Pertanian
kususnya Padi belum dimanfaatkan, untuk kepentingan rakyat.
Harus diakui bahwa masa depan rakyat
Kalimantan Barat tidak dapat dilepaskan dengan usaha pertanian. Diperdiksikan
80-an persen penduduk Kalimantan Barat masih menggantungkan hidupnya bercocok
tanam dengan berladang “gilir balik” atau berpindah-
pindah.
Maka oleh sebab itu, guna menjaga
kestabilitas kegiatan usaha pertanian, diharapkan Pemeritah membuat tata ruang
sentra produksi dengan membentuk sentra produksi pertanian yang meliputi
tanaman pangan berupa padi dan hortikultura, juga melihat sejumlah danau- danau
dan sungai yang tersebar diseluruh wilayah Perikanan, disamping peternakan yang
terkoordinir dan terencana.
Sampai saat ini, untuk menggenjot kegiatan
dan meningkatkan usaha tani terpadu, Petani masih menghadapi berbagai
persoalan, yaitu sarana penunjang seperti Pasar Induk Pertanian, sarana transportasi
dan sarana irigasi. Serta alat kelengkapan pertanian seperti Traktor dan mesin
Perontok bulir- bulir padi serta harga pupuk dan obat- obatan pertanian yang
selangit masih menjadi kendala. Juga tenaga pendamping seperti Penyuluh
Pertanian Lapangan dan insiminator yang bertugas dilapangan hendaknya perlu
dicukupi jumlah dan dipertegas wilayah kerjanya, demi menjaga efektifitas
kegiatan.
Prestasi Soeharto membuat Indonesia
swasembada pangan dengan INMAS dan BIMAS nya kini hilang bersama dengan
tumbangnya era Orde Baru, menurut Petinggi Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Propinsi Kalimantan Barat dalam kata sambutannya pada acara reuni IKA – SPP
SPMA Kalimantan Barat beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa, “ ada
kekuatiran Negara maju (seperti Amerika Serikat ) kalau Indonesia swasembada
Pangan”. Cuma disayangkan Pemerintah Soeharto tidak membuat tata ruang wilayah
yang betul- betul berpihak kepada rakyat Kalimantan Barat.
Apa lagi di era Reformasi, keadaan tambah runyam dengan
masuknya Perkebunan (Sawit ) ke Kalimantan Barat, alih fungsi lahan produktif Pertanian menjadi perkebunan
semakin luas dan masif saja, sehingga membuat lahan untuk masyarakat barladang
semakin sempit, sementara usaha Pemeritah untuk merencanakan lahan baru (Sawah
) sepertinya tidak ada.
TATA RUANG WILAYAH
MENGABAIKAN KEPENTINGAN RAKYAT
Harapan
Masyarakat Kalimantan Barat, keserius Pemerintah dalam menggenjot usaha
tani sangat dinantikan, guna meningkatkan kesejahteraan Petani, dan menuju
kedaulatan Pertanian dan swasembada Pangan. Disamping itu untuk meningkatkan pendapatan
Daerah menuju masyarakat mandiri dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada,
bermartabat, beradab dan beretika. Dan yang terpenting Pemerintah bersama- sama
dengan rakyat lebih mengedepankan ekonomi kerakyatan dengan membangun prasarana
jalan yang mulus sampai ketepi sawah, tali- tali air yang dibangun sampai
kepelosok, ada prasarana Pasar Induk Pertanian dan jaringan pemasaran yang
memadai. Kemudahan itu juga mesti diawali dengan akses ada benih unggul yang berkualitas,
pupuk dan obat- obatan pertanian yang mampu dijangkau oleh kantong Petani serta
pinjaman lunak untuk modal usaha.
Lalu yang tidak kalah pentingnya ,
diharapkan Pemerintah membuat tata ruang wilayah yang betul- betul berpihak kepada Rakyat, dengan membentuk
sentra Produksi Pertanian yang meliputi tanaman pangan seperti Padi dan hortikultura.
Sebab sampai saat ini Pemerintah,
sepertinya masih setengah hati membuat
tata ruang wilayah yang berpihak kepada rakyat, hal ini disebabkan :
1.
|
Pemerintah “Orde Baru” sengaja meninggalkan
staregi pembengunan yang menekankan struktur sosial ekonomi yang secara
radikal telah dianut oleh Pemerintah sebelumnya (Orde Lama).
Pemerintah Orde Baru memandang bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi jauh lebih
penting dibandingkan dengan pelaksanaan “Pertanahan/
Landreform”.
|
2.
|
Disamping itu produk Hukum setingkat Undang- Undang, terutama Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang “Pertanahan” Juncto Peraturan Menteri
Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 yang menjadi
politik Hukum Pertanahan Nasional yang sarat dengan kepentingan politik dan
tidak berpihak kepada kepentingan Rakyat
|
Dua persoalan diatas sangat berpengaruh
besar dalam membuat “Tata Ruang Wilayah”,
di Kalimantan Barat sehingga laju pembangunan ekonomi yang semata- mata
menargetkan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas
(rakyat ) telah memarginalkan posisi masyarakat, terjadi pemiskinan dikalangan
masyarakat yang delapan puluhan persen
adalah Petani itu. Sebagai akibat lahan/ tanah untuk menggantungkan hidup dan
kehidupan masyarakat telah dirampas
Pemerintah atas nama Negara, dan diberikan kepada Pengusaha.
Pemerintah dengan bangga
memandang, atas nama pertumbuhan ekonomi
seperti itu seluruh pencapaian kesejahteraan hanya diukur dengan angka nilai ekspor,
pembangunan infrastruktur diperkotaan (buka didaerah Pedesaan ) dan luasnya
lapangan kerja. Dampak lingkungan dan
perusakan hutan serta pencemaran sungai tidak pernah diperhitungkan.
Selama Pemerintah Orde Baru, hutan
Kalimantan Barat telah di kavling- kavling menjadi beratus- ratus konsasi HPH,
HTI dan Perkebunan (Sawit terutama), hal ini berlanjut sampai era Reformasi
hingga sekarang.
Harus diakui, bahwa sejak 50 tahun
terakhir ini, kebijakan pengelolaan Sumber Daya Alam di Kalimantan dimulai dari
sebuah produk politik kebijakan Nasional untuk memberikan jalan investasi modal dalam eksploitasi Sumber Daya Alam,
yang dimulai dari Hak Penguasa Hutan, Hutan Tanaman Industri, Pertambangan dan
Perkebunan, kesemuanya itu tidak ada yang memberikan harapan cerah kepada
rakyat.
Alih fungsi lahan produktif bahan pangan
mejadi Perkebunan (Sawit )berdampak kepada perubahan kondisi bentang alam yang
membawa kerusakan lingkung hampir seluruh wilayah. Contoh kasus adalah
Kabupaten Kapuas Hulu yang telah ditetapkan sebagai Kabupaten Konservasi,
khususnya di pinggir Danau Sentarum yang dulu ditumbuhi Hutan kini berubah
fungsi menjadi hamparan Sawit. Dimana Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Batang
Lupar, Kecamatan Empanang dan Kecamatan Badau yang dulu ditumbuhi hutan tropika
perawan, kini menyusuri wilayah perbatasan Indonesia (Kalbar ) dengan Negara Bagian
Sarawak Malaysia
tersebut kita akan dimanjakan suguhan
pemandangan perkebunan Kelapa Sawit sejauh mata memandang.
Akibatnya kawasan resapan DAS Empanang dan
Kantu’ airnya yang dulu jernih dan bening
kini berobah keruh dan berwarna kecoklatan. Dampak lain adalah warga
kesulitan mendapatkan pasokan pangan tradisional, karena hutan yang dulu dijadikan tempat
berburu, meramu, mencari ikan dan berladang “gilir balik” atau berpindah- pindah sudah berubah fungsi menjadi tegakan Kelapa
Sawit.
Ini eronis, di Kabupaten yang sejak tahun 2005 telah ditetapkan sebagai
Kabupaten Konservasi dan masuk dalam areal “the Heart of Borneo” yang disingkat “HoB”, dan Taman Nasional Danau Sentarum dan sumber resapan Sungai Kapuas ternyata telah
disulap menjadi areal “Perkebunan Kelapa Sawit”.
Semua program ini tidak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat,
bahkan rakyat semakin sengsara saja, dan salah satu dampaknya Indonesia dilanda asap
sebagai akibat kebakaran lahan dan gambut, kiranya terlalu berlebihan kalau
rakyat yang menjadi kambing hitamnya; sebab berladang berpindah “gilir
balik” yang sudah turun temurun dilakukan oleh
Masyarakat sangat memperhatikan kedaan alam dan arah angin, lagi pula ladang
tidak pernah di areal gambut.
Semua
program tersebut diatas ternyata sangat merugikan masyarakat....!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar