MAKALAH ADAT - ISTIADAT - BUDAYA DAN TATA CARA JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU' KAPUAS HULU - Gabriel Alvando

Catatan Gabriel

Post Top Ad

Responsive Ads Here

MAKALAH ADAT - ISTIADAT - BUDAYA DAN TATA CARA JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU' KAPUAS HULU

Share This

ADAT- ISTIADAT – BUDAYA
DAN TATA CARA JADI SAUMP
SUKU DAYAK KANTU’ KAPUAS HULU







KATA PENGANTAR


-ii-

DAFTAR ISI



Halaman


KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….



RANGKUMAN ADAT- ISTIADAT  - BUDAYA DAN TATA CARA JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU’ KAPUAS HULU……………………………



DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..

BAB  I
:
PENDAHULUAN


A.
LATAR BELAKANG……………………………………………………………………….


B.
SEKILAS TENTANG MANAJEMEN RUMAH PANJAI…………………….


C.
TUJUAN PENULISAN …………………………………………………………………


D.
SUMBER INFORMASI…………………………………………………………………


E.
METODOLOGI PENULISAN………………………………………………………..


F.
ORGANISASI PENULISAN……………………………………………………………

BAB. II
:
PERAGA ADAT, ALAT DAN BAHAN DALAM ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA PERKAWINAN DAYAK KANTU’ KAPUAS HULU


A.
JAMAN DAHULU…………………………………………………………………………


B.
JAMAN PERUBAHAN – PEMBAHARUAN……………………………………

BAB. III
:
JADI SAUMP DALAM SEJARAH KEBUDAYAAN SUKU DAYAK KANTU’


A.
KRITIK SOSIAL……………………………………………………………………………..


B.
KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT DAYAK KANTU’


*.
Legenda Bintangmuga dan Ruaimana………………………………………..


C.
KEPERCAYAAN DAN AGAMA


*.
Sistem kepercayaan Nenek- moyang dalam Adat- istiadat, tata cara Perkawinan – Jadi Saump………………………………………………….


D.
PENDIDIKAN DAN PEMBAURAN……………………………………………….

BAB.IV.
:
BAGAIMANA ADAT- ISTIADAT DAYAK KANTU’ MENYKAPI ADAT PERKAWINAN


A.
SIKAP UMUM ORANG DAYAK KANTU’……………………………………….


B.
URAIANNYA


1.
Nguang Urakng…………………………………………………………………………..


2.
Budaya dan Adat Jadi Saump………………………………………………………


a.
Bepinta’ – betanya’/ Bepekat…………………………………………………….


b.
Hari Pertunangan……………………………………………………………………….


c.
Jenis Perkawinan……………………………………………………………............



d.
Tata cara Jadi Saump………………………………………………………………….


*.
Alat dan Bahan yang diperlukan…………………………………………………


*.
Perahu/ Perau Rundai……………………………………………………………….


*.
Betekar……………………………………………………………………………………….


*.
Kedua Mempelai duduk bersanding………………………………………….


*.
Bekitau – Bebiau………………………………………………………………………..

-iii-




BAB. V
:
ADAT- ISTIADAT MENGIRING HIDUP BERUMAH TANGGA


A.
ADAT NGUANG URAKNG…………………………………………………………..


B.
ADAT BETUNANG……………………………………………………………………….


C.
ADAT KAWIN LEBIH DARI SATU……………………………………………………


D.
ADAT NGAMPANG………………………………………………………………………


E.
ADAT SARAK……………………………………………………………………………….


F.
ADAT BUTANG BEDUSA/ PERZINAHAN……………………………………..


G.
ADAT BERANGKAT TULANG……………………………………………………….


H.
ADAT PEMERKOSAAN………………………………………………………………..


I.
ADAT BUTANG RANGKAI…………………………………………………………..


J.
ADAT SALAH BASA……………………………………………………………………..


K.
ADAT KESUPANAN…………………………………………………………………….


L.
ADAT NGANCAM……………………………………………………………………….


M.
ADAT PATI NYAWA…………………………………………………………………….


N.
ADAT MENGGUGURKAN KANDUNGAN (MERUK)……………………



NARA SUMBER…………………………………………………………………………..



REFERENSI………………………………………………………………………………….
















-iv-


RINGKASAN:
ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA JADI SAUMP
SUKU DAYAK KANTU’ KAPUAS HULU
     Pengaruh gereja Katholik didalam peradaban Suku Dayak Kantu’ sangat besar,   salah satunya bisa dilihat dari tatanan Hukum Adat Perkawinan  - Jadi Saump yang menganut “Perkawinan Monogami”. Poliadri dan poligami  (kawin lebih dari satu ) sangat dilarang keras dalam Hukum Adat – Adat- istiadat dan budaya Suku Dayak Kantu’.
      Agaknya pengaruh gereja Katholik sangat besar membuat tradisi “Nguang Urakng  ( Laki- laki yang tidur kepraduan Peremuan ) yang kerap diedintikan dengan seks bebas yang menyebabkan  Perempuan hamil diluar nikah (Ngampang), yang bersangkutan, keluarga serta keturunannya dikucilkan dari pergaulan sehari- hari, setelah mendapatkan sanksi hukum adat.
     Suku Dayak Kantu’ menyebut Perkawinan  adalah “Jadi Saump”  yaitu upacara Adat pernikahan, dengan mengikat janji untuk setia dalam untung dan malang seumur hidup.
     Dalam Adat Perkawinan Suku Dayak Kantu’ , calon suami – calon istri harus melewati tiga tahap, yaitu “ Bepekat- Bepinta’ Betanya”. Betunang dan Jadi Saump”. Sejak saat Betunang  seorang pemuka adat harus diundang untuk  hadir guna  mengetahui pertunangan telah dilaksanakan;  sebab bila dikemudian hari terjadi perselisihan “PEMUKA ADAT” dapat dan akan membantu menyelesaikannya.
1.       Pada saat bepekat – Bepinta’ Betanya’,  orang tua laki- laki dan orang tua perempuan ( Calon mempelai ) bertemu untuk saling mengemukanan keinginan  guna menikahkan anaknya. Selanjutnya kedua belah pihak menetukan hari “PERTUNANGAN”nya.
2.       Pada hari “PERTUNANGAN”  semua Perangkat Adat, mulai dari “Kebayan , Patih, Komplet dan Temenggung” diundang untuk  hadir.  Calon Suami ( Calon mempelai Laki- laki) menyerahkan “Mas kawin” kepada Calon Istri ( Calon mempelai Perempuan), berupa :
a.       ZAMAN DAHULU ; “ILUM ( Pinang – Sirih ), Selung ( Gelang Tembaga), Kain – Baju”.
b.      PERUBAHAN/ ZAMAN SEKARANG;   Uang untuk biaya pernikahan, perhiasan emas sesuai kemampuan,  sebentuk cincin (  Cincin  emas belah rotan ) dilengkapi dengan satu buah ceper ( Napan dari kuningan ) untuk pengkeras, satu singkap piring porselen dan satu buah mangkok putih”.

-v-
c.       Karena satu dan lain hal, jika Pertunangan  batal, mereka tidak luput dari sanksi Adat. Kalau laki- laki yang mengingkari Pertunangan, maka sanksi adat berupa “ Hukum Adat Kampung, Hukum Adat Supan Orang Tua, dan Hukum Adat Pengurus Adat serta mas kawin hangus”.  Tetapi jika pihak perempuan yang membatalkan Pertunangan, maka mereka dikenakan hukum Adat dan mas kawin dikembalikan.

3.       Mungkin karena sebagian besar  pesebaran Suku Dayak Kantu’ berada dibantaran Sungai – khususnya Sungai Kapuas, kebiasaan dalam menjemput Calon Mempelai Perempuan ( Ngamei’ Bini ) mereka menggunakan Sampan hias yang disebut dengan “PERAHU RUNDAI/ PERAU RUNDAI”, yang dihiasi dengan kain tenun ikat khas Dayak Kantu’ yang disebut “Kepua’ Kumbu’  “Dayak Kantu’  menyebutnya “Ntambai” sejenis bendera atau umbul- umbul. Kemudian pada saat acara Pernikahan  - Jadi Saump; kedua mempelai duduk bersanding diatas Tawaq  (Gong besar ) yang dialasi dengan “Kepua’ Kumbu’ “, sementara Pengantin Perempuan mengenakan Kain Bindu’ (Pakaian Adat Suku Kantu’ yang dihiasi dengan manik- manik dan koin perak) lenkap dengan selendang ( Kepua’ Kumbu’) dengan Gental ( semacam ikat pinggang terbuat dari koin perak ) melilit dipinggang dan dikepala terpatri Telujuk dari bulu Burung Ruai.  Sedangkan mempelai Laki- laki mengenakan celana  ( Serawar) Adat dengan Baju Adat Rompi  lengkap dengan Mandau dipinggang dan dikepala terpasang Tulujuk dari bulu Burung Ruai. Kaki mereka ( kedua mempelai ) menginjak Mandau yang dialasi dengan beras  sebagai Pengkeras (Pengeraeh Semengat).

4.       Sebelum Adat Jadi Saump dilaksanakan, Pemuka Adat memimpin acara -  rapat adat ( Betekar) guna menentukan Adat Pakaean ( Adat Perceraian ) dan Adat Pemuai ( karena salah satu pihak melalaikan tanggung jawabnya terhadap keluarga).

5.       Baru kemudian Acara Jadi Saump dilakukan  dengan “BEKITAU” (Mengibaskan Ayam Kampung ) diatas kepala kedua Pengantin. Pimpinan acara bekitau tidah harus Perangakat Adat  atau
Manang, bisa juga orang biasa yang masih punya Ayah dan Ibu. Ini menggambarkan jika mereka punya anak, anak meraka tetap punya orang tua lengkap sampai dewasa. Selesai Bekitau Ayam disembelih,  darahnya ditadah/ ditampung didalam mangkok putih.  Darah Ayam tadi diedarkan kepada undangan  ( Pengabang ) yang hadir, terutama orang- orang tua. Menurut kepercayaan Suku Dayak Kantu’ “Jika darah ayam itu beku dan padat pertanda pasangan akan hidup serasi sampai tua, bila darah Ayam itu menggelembung- gelembung pasangan dipercaya akan tidak langgeng” . Selanjutnya darah ayam tersebut disenkelatn  ( dioleskan kedahi kedua mempelai) pertanda sahnya Perkawinan – Jadi Saump.  Ayam itu dimasak untuk dimakan bersama- sama dengan tetamu (Pengabang ) yang hadir.

-vi-


BAB.I.
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKNG

     Kebudayaan mempunyai  hubungan timbal balik yang sangat erat dengan agama atau system kepercayaan. Kebudayaan suatu Bangsa sering melahirkan kepercayaan tertentu. Disamping aspek- aspek relegius atau teologius, kepercayaan juga mengandung aspek- aspek sosial kemasyarakatan, sehingga kepercayaan mempunyai  hubungan timbal- balik dengan masyarakat.

     Ini berarti kepercayaan dan agama mempengaruhi masyarakat, sebaliknya masyarakat mempengaruhi kepercayaan dan agama.

     Apabila pandangan semacam itu dikaitkan dalam sistem kepercayaan Nenek- moyang “SUKU DAYAK KANTU’ “ maka terdapat semacam persepsi bahwa kepercayaan itu tidak saja mengandung hubungan timbal balik dengan sistim budaya ( budi dan daya ) akan tetapi lebih mewarnai  tata cara “Jadi Saump/ perkawinan”.

     Dalam hidup perkawinan “ hidup berumah tangga”  relgius magis/ sakral dapat diartikan kepada kekuatan yang menguasai alam semesta dan isinya dalam keadaan kesinambungan.

     Oleh karena itu dalam melangsungkan upacara hari  “Jadi Saump” masyarakat Suku Dayak Kantu’ sangat berkewajiban mencari”HARI BAIK BULAN BAIK”  dalam melangsungkan tata cara/ upacara perkawinan – “Jadi Saump” dengan melihat tanda- tanda alam atau mimpi pada mereka.

     Hal ini diyakini guna menjaga kelangsungan hidup “BERUMAH TANGGA” sehat jasmani dan rohani , sejahtera dan diberikan keturunan (Gerai nyamai, penjai umur, murah rezeki, dan berana ucu’ mayuh) yang terwujud berkat adanya kekuatan gaib.

     Nenek moyang Suku Dayak Kantu’, yang diturunkan sampai sekarang melalui orang tua  yang diteruskan kepada anak, dan anak kepada cucu, kemungkinan dan kemapuan untuk berkomunikasi dangan Alam; baik dengan alam gaib maupun dengan alam nyata tidak banyak menjadi pertanyaan dalam kehidupan mereka.

-7-





     Karena meraka selalu memelihara dan menganut pengetahuan dan kepercayaan pada tanda- tanda alam tersebut. Misalnya : Kalau ada keluarga dekat dari calon mempelai yang meninggal dunia waktu dalam pertunagan sampai kepada upacara Jadi Saump maka adat mereka melarang untuk melangsungkan pernikahan atau jadi saum dibatalkan; mungkin biasa dilangsungkan dalam batas waktu tertentu, disinilah Adat Budaya Suku Dayak Kantu’ mengikat:

B.      SEKILAS MANAJEMEN RUMAH PANJAI

     Kelangsungan hidup dan kehidupan atau budaya Dayak Kantu’ tidak dapat dipisahkan dari tata ruang lingkungan mereka, khususnya rumah.

     Bangunan tempat tinggal atau rumah tradisional mereka yang disebut “RUMAH PANJAI”, yakni sebuah rumah yang berbentuk memanjang terdiri dari puluhan atau ratusan bilik dengan ruang tamu yang tidak berbatas dinding yang disebut dengan “Ruai”.

     Rumah panjai memiliki multi fungsi, selain sebagai tempat berteduh juga sebagai tempat pertahanan dari ancaman binatang buas atau ancaman musuh; serta untuk melakukan kegiatan reproduksi termasuk diantaranya untuk mengadakan upacara “jadi saump”, serta tempat mengatur tata kehidupan masyarakat.

     Sistem kepercayaan atau agama yang kaitannya dengan tata kerama “Rumah Panjai” bagi kelompok masyarakat Dayak Kantu’ hampir- hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai- nilai kehidupan sosial mereka sehari- hari.

     Kelompok Masyarakat Dayak Kantu’memiliki sistem kepercayaan yang kompleks dan berkembang atau dinamis. Kompleksitas sistem kepercayaan Nenek- moyang Dayak Kantu’ mengandung dua hal prinsip, yaitu :
1.       Unsur kepercayaan nenek- moyang yang menekankan pada pemujaan roh- roh gaib, dan alam semesta.
2.       Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ( Raja Mantala – Alah Ta’ la ) dan merupakan suatu prima alam semesta.



-8-
     Kompleksitasnya sistem kepercayaan Suku Dayak Kantu’ ditandai juga oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamaan atau unsur kepercayaan dari luar, seperti pengaruh China dalam penggunaan barang- barang keramik, piring porselen dan tempayan ( Tajau) yang mereka yakini memiliki kekuatan megis dan dapat mendatangkan keberuntungan; maupun penggunaan dekorasi “Naga” yang melambangkan secara “mitologis Tuhan Tertinggi – Alah Ta’ la – Raja Mantala” yang satu sebagai pengasa dunia dan alam semesta.
     Barang- barang dari China  (zaman Dinasti Ming), Enggang (Tenyalang) dan Naga dalam Masyarakat Dayak Kantu’ merupakan satu kesatuan manifestasi dari  organisasi Sosial Mereka, yang nyata terlihat dari Adat- istiadat – budaya “ Jadi Saump”.
     Unsur penting dalam Organisasi Sosial Rumah Panjai Masyarakat Suku Dayak Kantu’ yang di lambangkan oleh macam- macam hal tersebut, khususnya burung Enggang dan Naga merupakan bentuk kebudayaan yang lebih tinggi, dalam kaitannya dengan Adat jadi saump bulu burung Ruai adalah lambang keindahan dan kebahagiaan.
     Ini menunjukan bahwa Suku Dayak Kantu’, merupakan bagian integral dari alam semesta, yang menghendaki seseorang wajib menyesuaikan diri dengan tata- cara yang ditetapkan oleh alam semesta dengan merujuk kepada kehidupan Bintangmuga dan Ruaimana, khususnya dalam adat “Jadi Saump”.
     Demikian pula untuk menjaga agar kesimbangan alam semesta termasuk relegio magis oleh masyarakat, disepakati berbagai ketentuan atau norma/ adat yang harus ditaati dan dipatuhi.
     Oleh karena itu jangan heran kalau masih banyak warga Masyarakat Dayak Kantu’ yang mengerti dengan baik tanda- tanda alam,  percaya dan menjalin hubungan dengan alam, terutama melalui simbol dan lambang.
C.      TUJUAN PENULISAN

     Mengingat masih sangat jarang sekali Penulis yang menyusun  tentang adat- istiadat – Budaya Dayak Kantu’ baik oleh Akademisi maupun oleh para Penjelajah; serta memperhatikan peranan Adat- istiadat, Budaya sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan dan penghidupan Berbangsa dan Bernegara, serta banyak kalangan mendorong untuk menyusun  Adat- Budaya, Adat- istiadat Budaya Lokal, khususnya mengenai Adat- istiadat Suku Dayak Kantu’, teristimewa Adat dan Budaya Perkawinan.

     Adat- istiadat Nenek moyang; khususnya tentang Adat-istiadat – Budaya tata cara “PERKAWAINAN  /SUKU DAYAK KANTU’ “, baik masa dahulu maupun masa sekarang maka TIM PENYUSUN buku ini, dibawah judul “ ADAT- ISTIADAT – BUDAYA DAN TATA CARA JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU’ “ dengan segala keterbatasan yang ada memberanikan diri untuk menulis Buku Kecil ini. Untuk itu kritik, saran, pendapat yang membangun sangat kami hargai.
-9-
     Karena, tanpa mengetahui seluk beluk adat- istiadat dan budaya suatu daerah dan rasa cinta kepada kebudayaan lokal  - tradisional tentunya akan sulit mewujudkan “Masyarakat yang beradat, beradab, bermartabat seperti yang dicita- citakan Pemerintah, melalui “REVOLUSI MENTAL”.

     Atau dengan kata lain, tujuan penulisan Buku kecil ini adalah ingin menyebar luaskan Adat- istiadat – Buadaya Suku Dayak Kantu’, khususnya tata- cara Adat- istiadat – Budaya dan tata cara Perkawinan “Jadi Saump” Suku Dayak Kantu’  guna mengingatkan kembali para Generasi Muda masyarakat Adat Suku Dayak Kantu’, dan menambah pengetahuan para pembaca dan masyarakat luas lainnya.

D.      SUMBER INFORMASI

     Sumber informasi dan data yang digunakan sebagai bahan penyusunan tulisan ini adalah data sekunder yang diperoleh dari :

1.       Buku “Legenda Adat dan Budaya DAYAK KANTUK serta sejarah KEBANGKITAN DAYAK KALIMANTAN BARAT”; ditulis oleh Bapak LH Kadir, Tokoh Masyarakat Suku Dayak Kantu’, Mantan Wakil Gubernur Kalimantan Barat, 2003 – 2008.

2.       Sumber dari para Temenggung dan Ketua Adat serta Tokoh dan Pemuka Masyarakat Adat Suku Dayak Kantu’ di Kapuas Hulu Kalimantan Barat.

3.       Buku referensi dan literatur- literatur lainnya.


E.       METODOLOGI PENULISAN
     Metodologi pendekatan penulisan dengan mewawacarai Nara Sumber, mengenai Adat – istiadat  dan Budaya Dayak Kantu’, khususnya mengenai Tata cara Perkawinan atau Jadi Saump.

F.       ORGANISASI PENULISAN
     Bab. I  : Dalam bab ini diuraikan, latar belakang dan manajemen dalam Rumah Panjai yang dikaitkan dengan Adat- istiadat  dan Budaya Perkawianan “Jadi Saump” dan organisasi Penulisan.

     Bab ini memuat garis besar Adat- istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ , khususnya ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT SUKU DAYAK KANTU’ guna mengantar pembaca kedalam materi sesungguhnya.

-10-

     Lalu Bab II : memuat peraga alat dan bahan dalam Adat- istiadat dan tata cara “Jadi Saum”, dan alat pada  adat pendukung lainnya.

    Kemudian pada Bab III: memuat tentang Perkawinan Dayak Kantu’ dalam Sejarah. Sementara  Bab IV, menggambarkan Hukum dan Budaya  Mengikat dalam hidup berumah Tangga. Kemudian dalam Bab V, pembaca dibawa  menelusuri “Adat dan Budaya mengiringi Perjalanan Hidup”.

































-11-
BAB II
PERAGA ADAT, ALAT DAN BAHAN DALAM ADAT- ISTIADAT BUDAYA
JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU’ KAPUAS HULU

     Barang kali ada baiknya dikemukakan dahulu, bahwa hukum Adat Dayak Kantu’ dinilai dengan Piring (Porselen ). Piring Porselen menjadi alat pembayaran, mahar atrau konpensasi atas hukum Adat. Seperti pada pernikahan adat Kawin  - Jadi  – Saump, selain uang untuk biaya pesta dan perhiasan emas, mas kawin, yang merupakan salah satu sarat penting adalah piring porselen putih dan mangkok putih.

     Sanksi Adat yang berlaku bagi pembatalan Perkawinan juga dhargai dengan membayar sejumlah Piring Porselen yang sudah ditentukan oleh hukum batal kawin (Balang Kawin). 

     Peninjauan hukum Adat- istiadat Suku Dayak Kantu’ di Kabupaten Kapuas Hulu oleh para Fungsionaris Adat ( Temenggung, Ketua Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan Tokoh Wanita) dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun sekali, yang sudah barang tentu tidak boleh menyimpang dari hakekat sesungguhnya.

     Hal ini dikarenakan, ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA SUKU DAYAK KANTU’ berjalan sesuai dengan perkembangan jaman, dinamis dan terbuka.

     Oleh karena itu, dalam paparan mengenai Adat- istiadat dan budaya Jadi Saump sering mengalamai perubahan dari masa kemasa, hal inilah yang menunjukan bahwa Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak Kantu’ sangat terbuka dengan perkembangan jaman.

     Adat- istiadat dan budaya Dayak Kantu’ seperti pernah dijelaskan diatas, ditinjau 5 (lima ) tahun sekali;  berikut ini “PERAGA ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU’ “ sebagai berikut :

I.                    JAMAN DAHULU

1.       Bahan- bahan yang diperlukan :
a.       Sirih, Pinang, Kapur Sirih, gambir, Jerangau, Kencur dan perlengkapan sirih pinang lainnya.
b.      AYAM Kampung 1 ekor, kalau Jantan Sudah Tumbuh Ekor/ Rambai ( Sudah bujang); kalau Betina sudah bisa bertelor ( Sudah dara).
-12-

2.       Alat- alat yang diperlukan:
a.       Selung ( Gelang Tembaga ).
b.      Kain Bindu’ ( Tenunan ikat Dayak Kantu’ ).
c.       Kepua’ Kumbu’ ( Selendang,tenunan ikat Dayak Kantu’ ).
d.      Baju Adat Laki- laki ( Baju Rompi ).
e.      Celana adat (serawar ).
f.        Baku’ ( Tempat nyimpan  sirih – pinang dari tembaga ).
g.       Kacup ( Semacam gunting untuk membelah pinang terbuat dari besi ).
h.      Napan kuningan (Par )
i.         Beras Kunyit ( Beras yang dilumur dengan kunyit).

Sehubungan dengan perkembangan zaman, maka Adat “Jadi Saump” setelah ditinjau – berubah  sebagai berikut :

II.                  JAMAN PERUBAHAN - PEMBAHARUAN

    Setelah ada perubahan Adat Perkawinan  (1927 ), selain dari  bahan  dan alat tersebut diatas ( Point I ), peraga Adat  ditambah 12  (Dua belas  jenis pakaian Perempuan). Seperti : Bedak, sabun dan lain sebagainya.

     Lalu menurut  “BUKU ADAT DAYAK KANTU’ ; hasil musyawarah Adat SUKU DAYAK KANTU’ , sebagai berikut ;

A.      KETENTUAN HUKUM ADAT SUKU DAYAK KANTU’ dalam perubahan II, 1 Januari 1995 di Desa Teluk Sindur, Kecamatan Manday Kapuas Hulu, adalah :

1.       PERKAWINAN :
a.       Bahan           : Tidak ada perubahan.
b.      Alat                                : Piring Porselen 40  singkap (Buah ),  Cincin kawin 2 bentuk ( laki- laki dan perempuan)

2.       BATAL TUNANG :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen 15 singkap (buah ).

3.       BETUNANG LEBIH DARI SATU KALI :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen 30 Singkap (Buah ).
-13-

4.       KAWIN LEBIH DARI SATU KALI :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 100 buah

5.       KAWIN  LEBIH DARI SATU KALI ISTRI PERTAMA DICERAIKAN :
a.       Bahan           : -
b.      Alat                                : Piring Porselen 150 buah.

6.         NGAMPANG (HAMIL DILUAR NIKAH ) :
a.       Bahan           : 3 ekor Babi  @ 35 kg keatas.
b.      Alat                                :  -

7.       ORANG TUA NYANGKAL ANAKNYA NGAMPANG (HAMIL ) :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen 10 buah.

8.       CERAI ( SARAK ) :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen 50 Buah.

9.       CERAI ISTRI/ SUAMI DALAM KEADAAN SAKIT :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen 100 buah.

10.   BILA ISTERI SEDANG HAMIL DICERAIKAN :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                : Piring Porselen 70 buah, uang untuk ongkos melahirkan dan biaya anaknya sampai dewasa.

11.   BERZINAH ( BUTANG BEDUSA ) :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen (masing- masing ) 80 buah.

12.   BILA KEDUANYA MASIH PUNYA PASANGAN :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen (masing- masing )  120 buah.

-14-

13.   BERANGKAT/PERANGKAT TULANG :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen 60 buah.

14.   PEMERKOSAAN :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen 60 buah.

15.   MEMPERKOSA ANAK DIBAWAH UMUR :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                : Piring Porselen 120 buah.

16.   MEMPERKOSA ORANG CACAT ATAU SAKIT:
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen 90 buah.

17.   SALAH BASA :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Piring Porselen 2 buah.

B.      BUKU ADAT SUKU KANTU’  Dalam Perubahan ke III (Debalei’/ Deapeih III ); 6 Mei 2001 di Desa Teluk Sindur Kecamatan Manday Kabupaten Kapuas Hulu :

1.       NGUANG URAKNG/ MERAJA :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : laki- laki 100 buah; perempuan 50 buah.

2.       PERTUNANGAN :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                :  Mas Kawin 40 Buah, Cincin 1 bentuk (emas belah rotan ).

3.       BATAL TUNANG  :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 15 buah .

4.       MELAKUKAN PERTUNANGAN DENGAN ORANG YANG MASIH TERIKAT PERTUNANGAN DENGAN ORANG LAIN :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 100 buah
-15-

5.       BERTUNANG LEBIH DARI SATU KALI :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 50 buah.

6.       NIKAH/ KAWIN LEBIH DARI SATU KALI :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 150 buah.

7.       MENCERAIKAN ISTRI DALAM KEADAN SAKIT :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 200 buah.

8.       CERAI/ SARAK :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 50 buah.

9.       BUTANG BEDUSA :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 100 buah.

10.   BUTANG BEDUSA DAN CERAI/ SARAK :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 160 buah.

11.   PERANGKAT/ BERANGAT TULANG :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 60 buah.

12.   PELEPAEH BALU ( Janda/ Duda ) :
a.       Bahan           : -
b.      Alat                                : Beras 1 Gantang/ kulak; Piring Porselen 1 Singkap; Tempayan 1 buah; Ayam 1 ekor; Potong Besi  1 buah; benang 1 gulung.

13.   MENCOBA MEMPERKOSA ANAK- ANAK :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 100 buah.

-16-

14.   MEMPERKOSA ANAK- ANAK :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 400 buah.

15.   MENCOBA MEMPERKOSA ORANG DEWASA :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 60 buah.

16.   MEMPERKOSA ORANG DEWASA :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 300 buah.

17.   MEMPERKOSA ORANG CACAT ATAU SAKIT :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 350 buah.

18.   BUTANG RANGKAI/ BERZINAH :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 40 buah.

19.   SALAH BASA :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 10 buah.

C.      KETENTUAN ADAT DAN BUDAYA SUKU DAYAK KANTU’, Perubahan ke IV  di Bika Hulu, Kecamatan Mamday Kabupaten Kapuas Hulu, 6 sampai 9 Mei 2006 :

1.       NGUANG URAKNG:
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                :  Laki- laki 100 buah; Perempuan 50 buah; Pembantu ( Urakng te nganjung ) 25 buah; Orang Tua 10 buah.

2.       PERTUNANGAN :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 1 bentuk cincin emas, 40 singkap Piring porselen.

3.       BATAL TUNANG :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 15 buah dan Supan orang tua 10 buah.
-17-

4.       MELAKUKAN PERTUNANGAN LEBIH DARI SATU KALI :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 50 buah.

5.       NIKAH SEMENTARA :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 110 buah.

6.       KAWIN LEBIH DARI SATU :
a.       Bahan           :  -          
b.      Alat                : 150 buah.

7.       MENCERAIKAN ISTRI DALAM KEADAAN SAKIT:
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 200 buah

8.       NGAMPANG (HAMIL DILUAR NIKAH ):
a.       Bahan           : 3 ekor babi.
b.      Alat                                : Lak- laki 200 buah, Perempuan 50 buah.
c.       Keluarga nyangkal anak gadisnya hamil : 10 buah.

9.       CERAI/ SARAK :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 50 buah ( Pemuai ),
c.       Salah satu Pihak sakit : 100 buah.
d.      Suami menceraikan istri sedang hamil : 70 buah.
e.      Pihak ke tiga: 60 buah.
10.   BUTANG BEDUSA/ PERZINAHAN :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : masing- masing 100 buah; mengakibatkan perceraian 160 buah; masing- masing pihak masih terikat perkawinan 240 buah.

11.   PERANGKAT TULANG :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 60 buah.


-18-

12.   PELEPAS BALU :
a.       Bahan           : 1 ekor ayam.
b.      Alat                                : Satu singkap piring porselen, satu buah tempayan, satu gantang beras, satu potong besi, satu gulung benang jahit.

13.   PEMERKOSAAN :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : Mencoba melakukan pemerkosaan anak- anak 100 buah, Sudah melakukan Pemerkosaan terhadap anak- anak 400 buah, memperkosaan orang cacat/ sakit 350 buah.

14.   SALAH BASA :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 10  buah.

15.   BUTANG RANGKAI :
a.       Bahan           :  -
b.      Alat                                : 40 buah.

16.   PALAI MATA :
a.       Bahan           :  2 ekor ayam.
b.      Alat                                :  -















-19-

BAB III
JADI SAUMP DALAM SEJARAH KEBUDAYAAN
SUKU DAYAK KANTU’

A.      KRITIK SOSIAL :
     Kritik, masa lalu tentang kebudayan Dayak Kantu’  dipusatkan dalam hal- hal semisalnya dengan menggunakan bahasa  burung  (beburung ), terutama dalam menggelar pekerjaan besar, seperti Gawa’ jadi saump. Analisis Penulis telah menggambarkan bahwa setiap aspek dari kebudayaan tradisional ini pada hakekatnya, adalah bagian penting dalam proses adaptasi dari masyarakat dalam menghadapi lingkungan yang rumit dan tidak terduga ini.

     Mengingat sering didengar bahwa apa yang diperlukan adalah “Pengembangan Kebudayaan”, maka sumbangan pemikiran didalam buku ini menyarankan apa yang sebenarnya yang diperlukan adalah “Pengakuan dan perlindungan Kebudayaan” itu sendiri, dalam pembahasan kali ini adalah “ ADAT- ISTIADAT, BUDAYA JADI SAUMP” untuk segera diselamatkan, yang sekarang ini sedang dibawah serangan, dan serangan ini adalah merupakan masalah.
     Sebagai contoh : “ Masyarakat – orang Dayak Kantu’ sudah banyak yang tidak mengenal lagi Adat- istiadat, budaya dan tata- cara “Jadi Saump” yang sesungguhnya, yang diwariskan oleh leluhur mereka”.

     Patut disesalkan bahwa kesadaran penilaian akan pengetahuan tentang “ Adat- istiadat, tata cara perkawinan” ditingkat global tidak selaras dangan adat dan kebudayaan setempat, dimana Adat- istiadat, budaya jadi saump dan sistem- sistemnya sedang runtuh, sebagai korban dorongan modernisasi.

     Terdapat petunjuk, bahwa terlalu sedikit anak- anak muda Suku Dayak Kantu’ yang mengarungi mahligai rumah tangga yang menggunakan Adat- istiadat – upacara Jadi saump. Yang diwariskan oleh para nenek moyang mereka secara turun temurun.

     Sangat sering, perencanaan pembangunan tidak mendukung, bahkan merong- rong, walaupun sering kali tidak disengaja. Contoh : “Pengembangan “Safari” yang terdiri dari rombongan besar pelaku dan pembuat kebijakan, lembaga keagamaan yang turun kesuatu Desa  dianggap “Tertinggal” sebuah kelengkapan baku dari “Safari” itu, yang biasanya berlangsung singkat adalah : “Pementasan konser oleh para anggota dan rombongan yang disertai dengan budaya dari luar” .


-20-

     Tindakan tersebut, meskipun bertujuan baik bila berdiri sendiri, akan tetapi dalam ruang lingkup pembangunan yang lebih luas “ Bernada anti kebudayaan lokal”. Yang tersirat didalamnya adalah “Bahwa kebudayan dari luar dikaitkan dengan pembangunan dan kemajuan, sedangkan kebudayaan asli dikaitkan dengan pembangunan kurang maju”. Ini berimbas besar kepada “Adat- istiadat, kebudayaan  dan tata cara Jadi Saump/ perkawinan Masyakat Suku Dayak Kantu’ “.

     Pengembangan dari kritik ini, post modern didalam antropologi dan bidang- bidang lainnya telah mengundang perhatian  kebutuhan untuk membedakan Adat istiadat asli, tradisional ini dari pada budaya dari luar.

     Runtuhnya budaya “Betang Panjang ( Rumah Panjai )” berikut Adat- istiadat dan budaya yang terkandung didalamnya, termasuk tata cara Jadi Saump adalah sebuah masalah penting dalam Adat- istiadat dan Budaya Masyarakat Suku Dayak Kantu’. Sekarang cerita “Rumah Panjai” adalah suatu Legenda untuk menina bobokan anak didangau Ladang/ de dunju’ Umai.

     Pemekaran dalam kesendirian dan kejelasan Kebudayan Dayak Kantu’ termasuk didalamnya “Upacara Jadi Saump  yang terjadi digenerasi lampau adalah selaras dengan pembangunan sekarang.

     Penguasa- penguasa Daerah  di Kalimantan Barat, khususnya di Kapuas Hulu  mungkin sudah mengakui bahwa “Adat-istiadat dan Budaya umumnya, Adat- istiadat dan Budaya  Dayak Kantu’ “ ; termasuk diantaranya Adat- istiadat – Budaya  dan tata cara Jadi Saump perlu digali dan dilestarikan, dalam pembangunan sosial politik dan sosal ekonomi dan ini sangat diperlukan untuk pembangunan lebih lanjut.

     Salah satu dasar untuk pengakuan ini adalah kepercayaan bahwa Daerah Kalimantan Barat mengetahui, lebih baik apa yang mereka butuhkan dari pada apa yang diminta dari pusat, sesuai dengan sifat “OTONOMI DAERAH”. Singkatnya, satu dari dasar untuk dorongan kearah“PELESTARIAN ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA LOKAL” adalah pengakuan yang lebih besar kepada “SUARA MASYARAKAT SETEMPAT”  yang mendiami Kalimantan Barat umumnya, secara khusus Masyarakat Dayak, termasuk didalamnya Dayak Kantu’ di Kapuas Hulu.

     Banyak perencanan pembangunan meletakan kesalahan dipundak kebudayaan asli, yang telah mereka cirikan sebagai hambatan  dalam pembangunan. Kini dengan disusunnya tulisan ini, atau yang lainnya serupa; dapat dilihat sisi yang lain dari “Masalah ini”  Hendaknya diakui bahwa serangan kepada kebudayan asli, khususnya Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak Kantn atau termasuk serangan  kepada Adat- istiadat  dan Buidaya  serta tata cara Jadi Saump bukanlah bagian dari pemecahan masalah, melainkan bagian dari masalah itu sendiri.
-21-
     Dapat dipandang bahwa Adat- istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ adalah asset yang tidak ternilai; khususnya “Adat- istiadat Budaya dan tata cara perkawinan  Jadi Saump”. Bersyukurlah bahwa “asset” semacam ini ada.

B.      KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT DAYAK KANTU’
·         Legenda Bintangmuga dan Ruaimana:
     Bumi menjadi pusat semesta dalam kisah penciptaan Dayak Kantu’. Merawat dan menjaganya menjadi point penting dalam tata Adat- istiaadat dan Budaya Masyarakat Dayak Kantu’  Legenda Bintangmuga dan Ruaimana sengaja Penulis paparkan disini, karena menurut kepercayaan Suku Dayak Kantu’ disinilah Adat- istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ pertama kali diletakanr; termasuk Adat- istiadat, Budaya dan tata cara Jadi Saump.
     Pada mulanya adalah Bumi, dengan gunung dan lembah, Sungai serta Danau sebagai Sumber resapan air. Lalu kemudian rumput, serta kayu, rotan dan akar/sulur- suluran. Untuk selanjutnya Raja Mantala menciptakan Angkasa Luas, Bulan dan Bintang serta seluruh Tata Surya.
     Kemudian Raja Mantala menciptakan sepasang manusia laki- laki dan perempuan, yang diberi nama Bintangmuga dan Ruaimana.
   Konon kisahnya, pada awalnya RAJA MANTALA (sebutan Tuhan  bagi Suku Dayak Kantu’) hendak membikin manusia dari kayu belian atau kayu Ulin (pohon yang pernah tumbuh subur di Kalimantan dan sekarang telah langka); namun Ngkerasak (seekor burung kecil – yang lebih dahulu diciptakannya ) memintanya mengganti dengan Batang Pisang (Ruran ), agar Bumi tidak cepat penuh sesak. Karena usia Pisang tidak sepanjang pohon Ulin, juga Pisang biasa cepat beregenerasi atau beranak- pinak.
     Lalu Bintangmuga dan Ruaimana mempunyai keturunan berupa Manusia, Hewan, Tumbuh- tumbuhan dan Roh Halus yang tinggal dihutan.
     Sikap Manusia, kalau tidak hormat terhadap anak- cucu Bintangmuga dan Ruaimana diyakini bisa  membawa malapetaka. Disinilah Adat- istiadat, Budaya dan Kepercayaan Suku Dayak Kantu’ mulai diukir.
     Dari legenda kejadian ini, penciptaan Alam Semesta oleh RAJA MANTALA dapat dibagi kedalam empat tahap, yaitu :
a.       Pertama, Raja Mantala menciptakan tanah (Bumi) dalam keadaan tandus dan tidak berpenghuni. Selanjutnya diciptakannya Bukit dan Lembah Ngarai yang dalam.
b.      Raja Mantala, pada tahap kedua; agar tanah tidak tandus maka diciptakannya rumput dan kayu.
c.       Pada tahap ketiga Raja Mantala menciptakan angkasa luas (langit ) dan Bulan serta seluruh Tata Surya.
-22-
d.      Pada tahap terakhir (keempat) barulah Raja Mantala menciptakan Manusia, yaitu Bintangmuga dan Ruaimana.
Dalam renung tusut ( Sisilah Penciptaan, penciptaan isi alam setelah kelahiran anak- anak Bintangmuga dan Ruaimana dilukiskan sebagai berikut :
a.       Pertama; kandung tubah de’ Bangah Muah, siku’ tebiah kealam tanah  nyadi penembah Ringgong Idung, ti dejejenang urakng “Nika Pulang Gana”, penguasa atas tanah dan air.
b.      Kedua : kandung dulau de’ papa’ palau siko’ ditikau kelalau dua begandung, nya’ tenyadi “Dayang Lemia.” Artinya Satu anaknya dilempar kepohon Lalau/ Kayu tempat Lebah Madu besarang, itulah yang disebut Dayang Lemia/ Lembia; yang menguasai pepohonan.
c.       Ketiga ; anaknya lahir dari kandung kecil dan menghilang kepegunungan; yang disebut “Dayang Semita Bunga”; penguasa atas Bukit dan Pegunungan.
d.      Keempat ; anaknya lahir dari kandung muda, dimakamkan disemak belukar yang kemudian menjelma menjadi “Kamba’ Baba”  (Mahluk halus yang bisa menjelma menyerupai manusia).
e.      Kelima ; anak yang dilahirkan kemudian meninggal, dan dimakamkan didalam hutan sunyi- sepi, senyap, itu yang menjadi “Buau Nyada”. (Sejenis mahluk halus yang bisa bersuara seperti manusia).
f.        Keenam ; anak yang lain, diantar kelembah yang dalam, yang kemudian disebut “Untang Anta” ( Penguasa atas lembah dan ngarai ).
g.       Ketujuh ; kandung yang anaknya keguguran, bayinya dimakamkan kedalam hutan; yang kemudian menjadi “Gendih” (Tumpuk tanah yang menyerupai Manusia) yang  pantang digarap untuk pertanian sepanjang masa.
h.      Kedelapan ; satu lagi anak yang dimakamkan dibatang kayu yang  lapuk, itulah yang menjadi “Iba’ Tedung Kaca” atau Ular Kobra yang sangat berbisa.
i.        Kesembilan ; anak lain diantar kedanau, itulah yang kemudian menjadi “Raja Buaya”.
j.        Kesepuluh ; anak yang diantar keujung Danau, itu yang kemudian menjadi “Raja Duata(Penguasa keadilan ).
k.       Kesebelas ; bayinya yang keguguran kemudian dimakamkan dihutan Belantaritulah yang kemudian  menjadi/ disebut Parasit”.
l.         Kedua belas; satu anak lagi tinggal dipokok kayu yang sudah mati, itulah yang kemudian menjadi “Burung Garuna (Elang Garuda) Sengalang Burung”. Induk dari segala Burung.
m.    Ketiga belas ; hamil dan melahirkan terus menerus, seperti bungkusan cucian basah, satu anaknya diletakan ditengah hutan lindung; itulah yang kemudian menjadi  Monyet (Bekatan)”  putih belang dibagian  punggungnya.

-23-


     Dengan berpegang teguh kepada Legenda tersebut dan bunyi Burung seperti :Bejampung, Memuaeh, Papau, Ketupung, Beragai, Nenak, lemia Telok  (Yang adalah anak dari Sengalang Burung )  dan beberapa pertanda alam lainnya . Dan jenis burung- burung ini dilegendakan sebagai saudara tua dan kicauannya akan menjadi pemandu aktivitas keseharian, disinilah Suku Dayak Kantu’ meletakan Adat- istiadat dan Budayanya. Termasuk Adat- Istiadat dan Budaya Jadi Saump.
C.      AGAMA NENEK MOYANG

·         Sistem kepercayaan Nenek- moyang dalam Adat- istiadat, tata cara Perkawinan – Jadi Saump.
     Sistem kepercayaan atau Agama bagi  Masyarakat Dayak Kantu’ hampir- hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai- nilai sosial kehidupan mereka sehari- hari.
     Kebudayaan di  Rumah Panjai (Betang Panjang ) sangat erat kaitannya dengan Adat- istiadat dan Budaya mereka, disanalah pusat kebudayaan dan kegiatan hidup Suku Dayak Kantu’ berlangsung, termasuk didalamnya “UPACARA ADAT JADI SAUMP’ “ yang merupakan salah satu  Gawa’ besar dan sangat sakral saat ini.
     Sakralnya Adat- istiadat dan Budaya Jadi Saump, dikarenakan  mengandung arti bahwa kedua mempelai  akan mengarungi hidup baru, hidup berumah tangga dan menyatukan keluaraga besar kedua mempelai menjadi satu kesatuan. Lalu yang kedua Adat Perkawinan Suku Dayak Kantu’ tidak mengenal poligami dan poliandri, kecuali maut yang memisahkan mereka.
     Ini berarti bahwa  kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan dan kegiatan sosial orang Dayak Kantu’ sehari- hari dibimbing, didukung oleh dan dihubungkan tidak saja dengan sIstem kepercayaan atau ajaran dan adat, tetapi juga dengan nilai budaya dan etnisitas. Dengan demikian respons mereka terhadap sitimulus atau tekanan dari luar sering didasarkan pada kompleksitas unsur- unsur diatas.
     Dayak Kantu’ memiliki sIstem kepercayaan yang kompleks dan sangat berkembang.  Kompleksitas sIstem kepercayaan berdasarkan tradisi dalam                                                      Masyarakat Dayak Kantu’ mengandung dua prinsip, yaitu: Dalam prinsip pertama berpijak pada unsur kepercayan/Agama Nenek- moyang mereka yang menekankan pada pemujaan Roh Halus dan roh- roh Nenek- moyang yang sudah meninggal dunia. Sedangkan prisip kedua  berpegang terhadap “TUHAN YANG ESA” Raja Mantala, dengan kekuasaan tertinggi dan merupakan suatu prima causa dari kehidupan manusia.

-24-

     Sistem Kepercayaan Nenek- Moyang  dalam masyarakat Dayak Kantu’ berisi berbagai peraturan tentang “ Hubungan Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan Manusia, Manusia dengan Roh Halus serta Roh Nenek- Moyang dan Manusia dengan Alam beserta isinya”.
     Tuhan tertinggi  yang satu, memiliki dua fungsi atau karakter Ketuhanan, yaitu : “ Karakter yang satu mendiami dunia atas  atau dunia yang lebih tinggi, sedangkan karakter yang lain ‘tinggal dibawah’ atau yang lebih “rendah”.
     Kompleksitas sistem kepercayaan Suku Dayak Kantu’ ditandai juga oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamnaan atau kepercayaan dari luar, seperti barang- barang keramik -  piring mangkok ( Porselen ) dari China.
     Dalam penggunaan barang- barang keramik, seperti Piring- Mangkok dan Tempayan yang dianggap memiliki kekuatan Relegio - magis dan dapat mendatangkan keuntungan , keberuntungan. Juga penggunana bermacam- macam dekorasi “Naga” yang melambangkan secara metologis Tuhan Yang Tertinggi, yang satu sebagai Penguasa Dunia ini  menunjukan  sangat jelas bahwa Masyarakat Dayak Kantu’ adalah masyarakat yang dinamis dan terbuka. Pengaruh lain berasal dari Hinduisme dan Islamisme.
     Penggunaan “Burung Enggang ( Tenyalang) dan Naga” adalah  simbol kesatria  bagi Masyarakat Dayak Kantu’ sedangkan simbol “Burung Ruai ( Merak )” adalah lambang keindahan; yang sering terdapat dalam Upacara Jadi Saump.
     Kedudukan Burung Ruai, yang bulunya digunakan sebagai perhiasan kepala  ( Telujuk ) dalam acara Jadi Saump adalah lambang keindahan hidup berumah tangga, ini tidak saja merupakan manifestasi fakta filsofis tentang keberadaan sosial kehidupan semata, tetapi kelanggengan hidup berumah tangga dengan segala kelengkapannya; juga dari fakta kongrit dan riil dimana kehidupan “Jadi Saump” adalah basis utama dari sosial kehidupan, ekonomi dan politik kelompok etnik Dayak Kantu’.
     Disudut lain simbol kesatriaan dilambangkan dengan Burung Enggang (Tenyalang ) menunjukan bahwa walaupun anggota Masyarakat Dayak Kantu’ bersifat terbuka dan tidak berprasangka buruk terhadap pendatang dari luar, tidak dengan sendirinya berarti bahwa mereka  tidak lagi menilai atau menghargai pengaruh entern atau kelompoknya sebagai kekuatan  atau lebih rendah dibandingkan dengan sumber atau pengaruh luar atau asing. Konsep ini menjelaskan pentingnya peranan kehidupan berumah tangga  yang diwujudkan dalam “Jadi Saump”.


-25-
     Tuhan Tertinggi, Yang Satu atau Esa yang mendiami dunia atas dan dunia bawah, setelah serangkaian upacara Jadi Saump, diyakini sudah merestuai hidup berumah tangga, sebab menurut mereka Tuhan ( Raja Mantala) adalah pengayom dalam kehidupan dan penghidupan  serta kepentingan mereka terhadap keberadaan dan lingkungan hidup.
     Dalam mengasosiasikan simbol atau lambang dapat muncul secara spontan pernyataan, perasaan atau sekurang- kurangnya sikap untuk mempercayai atau mematuhi ; misalnya dalam melangsungkan Upacara Jadi Saump mereka akan mencari- cari hari dan mengamati tanda- tanda alam yang mungkin dapat dijadikan penuntun , sebagai usaha mencari hari baik bulan baik.
     Simbol- simbol tersebut dapat berupa buntat ( tanda alam yang diperoleh atau ditemui  dalam keadaan tidak normal atau berbentuk aneh), atau batu yang dianggap mereka memiliki kekuatan religio -  gaib, maupun tanda- tanda alam yang baru muncul pada saat akan atau sedang melakukan kegiatan, misalnya  bunyi burung tertentu.
     Masyarakat Dayak Kantu’ masih mempunyai  tanda- tanda alam sekitarnya  yang memberi arti atau lambang dalam kehidupan sehari- hari. Ada tanda  yang memberi arti positif , ada juga tanda- tanda yang memberi  arti negatif. Misalnya dalam masa bertunangan kedua calon mempelai  tidak boleh mendengar bunyi Rusa ( Pangkaeh Rusa’ )  waktu malam, tidak boleh mendengar kayu rebah tanpa angin ribut waktu malam, tidak boleh ada keluarga dekat yang meninggal dunia; dan tidak boleh ada mimpi yang tidak baik waktu tidur ( mimpi kesal ) dan lain sebagainya.
D.      PENDIDIKAN DAN PEMBAURAN

     Sistem perwarisan lisan dari Nenek- moyang, misalnya tata cara “Jadi Saump” menjadi semakin lemah seiring dengan kesadaran akan pengaruh pendidikan formal. Semakin tinggi tingkat kesadaran akan penting Pendidikan formal semakin besar pengaruhnya terhadap pengaruh Adat- istiadat dan Budaya tradisional, hal ini semakin tampak dari semakin banyaknya kaum muda dari daerah terpencil yang melanjutkan Sekolahnya kekota- kota Kabupaten atau Propinsi bahkan ke Ibu Negara.

     Dengan demikian, keterlibatan dan hubungan dengan sistem “Adat- istiadat dan Budaya  termasuk didalamnya Tata cara Jadi Saump tradisional” dikampung menjadi berkurang, bahkan cendrung akan terputus.




-26-

     Hal ini ditambah lagi dengan banyaknya anak muda yang kawin pembauran atau kawin silang, misalnya anak dari Masyarakat  Suku Dayak Kantu’ kawin dengan Suku Dayak lain, atau dengan Flores, Batak, Jawa, Cina dan lain sebagainya turut memperlemah perkembangan  Adat dan tata cara Suku Dayak Kantu’, khususnya tentang Adat- istiadat Jadi Saump tradisional, Karena pengertian dan penguasaan tentang tradisi dan tata cara masyakatnya ( Suku Dayak Kantu’ ) menjadi berkurang.


E.       AGAMA BARU

     Suku dayak Kantu’ pada awalnya disebut menganut paham/kepercayaan animisme, tetapi bila ditelaah lebih jauh kepercayaan Hindu – Kaharingan  banyak mempengarurhi budaya mereka.

     Agana leluhur Suku Dayak Kantu’ lebih banyak menekankan ritual dalam kehidupan, terutama upacara ritual dalam Pertanian. Agama asli Suku Dayak Kantu’ kian lama kian ditinggalkan. Sehingga  Adat – Kebiasaan mereka turut tercerabut dari akarnya, namun demikian terdapat cukup banyak juga Masyarakat Dayak Kantu’, terutama  yang tinggal dikampung  halamannya masih mengetahui peninggalan Nenek- moyang mereka.

     Kini masyarakat Dayak  Kantu’ yang menganut paham animis itu, sebagian besar telah menganut Agama Nasarani ( Katholik dan Kristen ), mereka yang menganut Agama Islam memisahkan diri dari Sukunya dan menjadi Senganan ( Melayu ), bahasanyapun berubah menyerupai  “Bahasa Melayu Riau”.

     Agama Katholik dan Kristen/ Protestan dianggap sebagai Agama mereka.  Masuknya ajaran Katholik dan Kristen – Protestan kedalam Masyarakat Dayak Kantu’ turut mempercepat berubahnya beberapa Adat- istiadat dan Budaya, hal ini sangat terasa sekali dalam Adat dan Budaya Jadi Saump – Perkawinan.

     Dikalangan Generasi Muda Dayak Kantu’, hampir- hampir tidak mengenal  Adat- istiadat dan Budaya Jadi Saump (Perkawinan ) yang diwariskan oleh Nenek Moyang mereka.  Pandangan yang menganggap bahwa tradisi “Jadi Saump”  tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, telah menyebabkan Adat- istiadat Jadi Saump hasil warisan Nenek – moyang mereka serta peralatan yang menyertainya menjadi terkucilkan.





-27-

    Disamping itu ada yang berangapan bahwa Adat- istiadat dan Budaya serta tata cara Jadi Saump – perkawinan itu ribet dan bertele- tele.  Hilangnya Adat- istiadat dan Budaya  Dayak Kantu’  tersebut akan menyebabkan hilkangnya segala Peraga Adat yang menyertainya. Upacara “BEKITAU’ misalnya yang sarat dengan nilai seni dan budaya dan nilai relegio sakral asli Masyarakat Dayak Kantu’ telah sekian lama mendapat tekanan dan pengucilan, sehingga asing ditelinga; sebab sebagian menganggap menyembah berhala.

     Ritus relegi Masyarakat Suku Dayak Kantu’, khususnya relegi Jadi Saump warisan Nenek- moyang mereka memang tidak terlalu dihargai oleh banyak pihak, termasuk oleh generasi muda Dayak Kantu’ itu sendiri.

     Seperti telah dijelaskan diatas, belakangan Agama Nasarani ( Katholik – Kristen ) telah mampu menjangkau pelosok Kalimantan, terutama Agama Katholik telah mampu merambat  diseluruh Penduduk Suku Dayak Kantu’; sehingga agama Nasarani dianut hampir seluruh Suku Dayak Kantu’, mereka yang menganut Agama Islam memisahkan dirii dari Sukunya dan menamakan diri Melayu – Senganan.

     Daerah Dayak Kantu’ yang pertama kali dikunjungi Missi Katholik setelah  Sejiram  Kecamatan Seberuang adalah Bika yang kini dikenal dangan Paroki Bika Nazareth, selain menyebarkan Paham Agama Katholik missi tersebut berhasil mendirikan Sekolah Rakyat ( Sekolah Dasar Bersubsidi ) yang kini sudah ditutup.

     Missi Katholik memegang peranan penting dalam transportmasi peradaban Suku Dayak Kantu’. Masuk melalui program pendidikan dan kesehatan, missi Katholik pelan- pelan berhasil merangkul komunitas Masyarakat Adat/ Kepercayaan leluhur masuk kegereja mennjadi Nasarani.

     Pengaruh Gereja Katholik terlihat pada bagaimana Masyarakat Adat kini tidak ada lagi menggelar upacara Adat besar- besaran seperti pada jaman dahulu. Bahkan untuk urusan pernikahan, kedua mempelai dengan diikuti para saksi dan orang tua kini cukup naik kealtar Gereja dan meminta berkat Pastor atau Pendeta.  Sehingga Bekitau yang selalu digelar pada Acara Adat Jadi Saump kini terlupakan.

     Gereja Katholik masuk pertama kalinya ke Kalimantan Barat tahun 1865 di Pemangkat, dibawah Koordinasi Vikariat Apostolik Batavia ( Sekarang Jakarta)  dengan motor penggerak para Imam Jesuit. Dari Pemangkat, karya kerasulan  Gereja Katholik kemudian dikembangkan ke Sejiram ibu kota Kecamatan Seberuang, sebagai komuditas Suku Dayak Kantu’ tahun 1890.


-28-

     Setelah missi Imam Jesuit,  karya kerasulan dilanjutkan oleh Kongregrasi Ordo Fratrum Minorium Capocinorum (OM Cap )  dari Propinsi Belanda, karya kerasulan di Kabupaten Kapuas Hulu dilanjutkan diantaranya Bika ibu kota Kecamatan Manday ( Sekarang Kecamatan Bika ) yang dikenal dengan Paroki Bika Nazareth.

     Karena Geraja Katholik sangat toleransi dengan Adat dan Budaya Masyarakat Adat Suku Dayak Kantu’; proses ingkulturasi dan transpormasi peradaban Suku Dayak Kantu’ didalam gereja berjalan sangat lancar. Pengaruh Gereja Katholik didalam peradaban Suku Dayak Kantu’ bisa dilihat dari “TATANAN HUKUM ADAT YANG MENGANUT PERKAWINAN MONOGAMI” poligami dan poliandri sangat dilarang oleh adat mereka.





























-29-

BAB IV
BAGAIMANA ADAT- ISTIADAT DAYAK KANTU’
MENYIKAPI ADAT PERKAWINAN ?

A.      SIKAP UMUM ORANG DAYAK KANTU’

     Ada pendapat yang menjelaskan bahwa beberapa sikap hidup Suku Dayak Kantu’ ( yang penulis kaitkan dengan hidup berumah tangga “Jadi Saump” ) baik secara                   langsung maupun tidak langsung.  Sikap ini hendaknya jangan dipandang sebagai hal yang positif, negatif, kunstruktif atau destruktif dengan tergesa- gesa dari kacamata masyarakat modern, adalah sebagai berikut :
1.       Orang Dayak Kantu’ suka berbagi kemujuran sesamanya.  Daging hasil buruan yang mereka peroleh sering dibagi secara cuma- cuma kepada sesama.  Sikap ini lebih kental sewaktu masih menghuni Rumah Panjai ( Betang Panjang ).
2.       Sikap demokratis sebagai salah satu “Semangat” kehidupan di Rumah Panjai masih dimiliki oleh sebagian besar  orang Dayak Kantu’ meskipun Rumah Panjai telah tiada.  Misalnya kegiatan “Jadi Saump” yang berimplikasi pada kehidupan komunitas, yang biasanya dimusyawarahkan dahulu dengan kaum kerabatnya terlebih dahulu.
3.       Orang Dayak Kantu’ mempunyai sikap “hormat yang tinggi kepada alam lingkungan hidupnya” Ini dapat dilihat dari tata cara Adat- istiadat dan Budaya Jadi Saump yang menggunakan tanda- tanda dan kejadian alam untuk menentukan hari baik – bulan baik dalam menggelar acara.
4.       Orang Kantu’ umumnya tidak bisa menabung atau merencanakan kehidupan masa depan, sikap- sikap sebagai manusia peramu belum sepenuhnya mereka tinggalkan. Kebiasaan menyimpan padi ( didalam Gentung – Pasah ) bukan dimaksudkan untuk menabung, tetapi disimpan untuk dimakan. Menabung dalam arti menyimpan untuk masa depan dengan mempertahankan atau menambah nilai ekonomis simpanan belum menjadi kebiasaan mereka.
5.       Karena mereka terbiasa dengan mudah dapat memperoleh sayur- sayuran, buah- buahan, ikan dan binatang yang tersedia dialam sekitarnya, meraka jadi manja dengan alam.
6.       Tidak mengenal sistem manajemen pasar, walaupun “BERAGEH” merupakan budaya mereka. Mereka belum mengenal dan memahami hubungan antara waktu dan nilai ekonomis suatu jenis barang.

-30-

7.       Suka merendahkan diri, dengan sikap “Low profile”, tidak pandai menawarkan jasa dengan mempertontonkan ketrampilan atau kebolehannya. Dalam menghadapi persoalan orang Dayak Kantu’ lebih suka berdiam diri, sambil mengharapkan agar orang lain dapat menyelami apa keinginan mereka. Menuntut hak hampir tidak dikenal dalam sikap orang Dayak Kantu’.
8.       Orang Dayak Kantu’ gampang cemburu sosial, iri hati kepada sesama suku.  Orang Dayak Kantu’ yang lebih maju atau tingkat kehidupan sosial ekonominya lebih baik biasanya dianggap tidak wajar dan sebaiknya dijauhi. Misalnya seorang Pedagang Dayak Kantu’ dan seorang Pedagang Tionghua dibolehkan bersaing dengan bebas maka hampir dapat dipastikan pedagang Tiongkua yang unggul, karena sikap iri hati masyarakat ( Dayak Kantu’ ) sekitarnya akan terarah kepada sipedagang Dayak Kantu’ tersebut.
9.       Mudah tersinggung dalam hal yang menyangkut adat- istiadat dan budayanya. Perasaan terhina akan menjadi motivasi yang kuat bagi mereka untuk bertindak, sangat disayangkan sikap ini kurang menjadi pembelajaran dalam sistem pengembangan diri dibidang sosial kemasyarakatan yang terencana.
10.   Siring kali Dayak Kantu’ menghormati tamu secara berlebihan. Bagi tamu disediakan makanan istimewa yang mereka sendiri mungkin jarang sekali menikmatinya. Penghormatan tamu ini tanpa perhitungan ekonomis.
11.   Sisa- sisa kejujuran dan kepolosan orang Dayak Kantu’ dengan  mudah dimanfaatkan untuk menipu mereka sendiri. Mereka mudah terpengaruh oleh kata- kata manis. Dengan sedikit janji lisan saja, orang lain dapat memperoleh keuntungan dari pada mereka.
   Sebelas sikap hidup Suku Dayak Kantu’ sengaja dipaparkan disini, sebagai bahan perenungan bagi pasangan mempelai yang mau mengayuh hidup berumah tangga, guna dijadikan panduan dalam hidup berkeluarga nanti.
     Dengan demikian Adat dan kebudayaan Dayak Kantu’ tetap mengalir meniti sejarahnya. Proses perubahan alamiah terus dan akan terus terjadi, yang sekaligus merupakan proses seleksi seirama berjalannya waktu. Dalam proses ini unsur Adat- istiadat dan Budaya yang kuat dan dapat diterima oleh sebagian besar warga serta nilai luhur universal diusahakan tetap bertahan dan semakin diperkaya; dan ini hendaknya ditanamkan dikala “sepasang mempelai yang mau mengadakan perkawinan – nikah  Jadi Saump” ,karena nanti mereka akan melahirkan keturunan Dayak Kantu’ baru; yang sekaligus generasi penerus “Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak Kantu’ kedepan”.  Karena ada dua mecam penggusuran budaya :


-31-

Pertama: Penggusuran suatu budaya yang dipandang sebagai interior, akan tetapi sesungguhnya bernilai luhur; oleh budaya dari yang mungkin sesungguhnya tidak lebih baik dari budaya yang digusur. Bukanlah kejadian penggusuran budaya secara tidak sengaja lebih mudah dilakukan.
Kedua : Transpormasi Adat- istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ sangat diperlukan untuk menyelaraskan atau menyesuaikan ungkapan- ungkapan “Adat- istiadat dan Budaya” dengan tuntutan perkembangan akal budi orang Dayak Kantu’ itu sendiri, kemajuan ilmu Pengetahuan dan tehnologi, menguatkan entraksi antar budaya dan perubahan praktis, perubahan lingkungan hidup goegrafis.
     Suatu unsur “budaya” dipertahankan (dikembangkan, diperkaya ) atau ditinggalkan atau ditolak tergantung nilai- nilai yang terkandung didalamnya. Dengan kesadaran akan nilai- nilai inilah manusia  Dayak Kantu’ menentukan “Adat- Istiadat dan Budaya”nya, karena tanpa kesadaran itu “mungkin akan terjebak oleh para digma tanpa arti”.
   Pemusnahan “Rumah Panjai” masyarakat Dayak Kantu’  merupakan contoh para digma tanpa arti itu. Kenyataannya hidup di “Rumah Panjai”  (Betang Panjang)  yang menganut budaya kekeluargaan, menjadi “Rumah Inividu”  yang menganut paham individualistis dan materialistis  tidaklah lebih baik ditinjau dari sikap hidup keseharian Suku Dayak Kantu’.
     Dengan memahami sikap hidup Suku Dayak Kantu’, arah dan tujuan serta sasaran transpormasi “ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA” melalui kehidupan sosial atau lebih spesifik  lagi menumbuh kembangkan sikap hidup pribadi , bersama komunitasnya dengan menitik beratkan kepada  Adat- istiadat dan Budaya, serta tata cara Perkawinan “Jadi Saump”, serta merta  memati lenyapkan sikap hidup yang menggerogoti kemanusiaan. Dalam seluruh proses ini mesti ditekankan dengan menempatkan sikap hidup sang manusianya, dengan menilik “HUKUM ADAT, ADAT- ISTIADAT – BUDAYA” Suku Dayak Kantu’ yang secara rutin ditinjau oleh Fungsional Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan Tokoh Perempuan Suku Dayak Kantu’; khususnya mengenai Adat- istiadat, budaya “Jadi Saump”  setiap lima tahun sekali, adalah sebagai berikut :




-32-


B.      URAIANNYA :

1.       NGUANG URAKNG

     Hubungan perkenalan antara muda- mudi pada Jaman dahulu  dilingkungan Adat dan Tradisi hidup dan kehidupan Masyarakat Dayak Kantu’ di Rumah Panjai ( Betang Panjang ) melalui acara Pemuda mendatangi Peraduan Wanita waktu malam, disaat orang sedang tidur pulas, disebut Nguang Urakng.

     Nguang Urakng berarti pacaran,  atau mengunjungi pacar atau calon istri. Khususnya pada Masyarakat Suku Kantu’,  menurut sebutan Suku Dayak Iban “Ngayap” dan sebutan Tamambaloh “Mainjani” dan menurut Senganan/ Melayu  menyebutnya “Meraja”.

     Semula “Nguang Urakng” dilakukan diam- diam antar Pemuda dan Pemudi, Pemuda membangunkan Gadis/Pemudi yang dikunjunginya, serta memperkenalkan diri.  Kemudian gadis itu bangun dan mengenal  Pemuda itu, ada dua kemungkinan yang akan terjadi :
a.       Jika kehadiran pemuda itu diterima oleh Pemudi, ia diterima untuk ngobrol  bersama, gadis itu mempersilakan Pemuda itu untuk ngobrol sambil baring ( Bahasa Dayak Kantu “ Galei’ “).
b.      Sebaliknya jika Gadis itu menolak cinta pihak Pemuda, maka pemuda itu disuruh pulang ( Bahasa Dayak Kantu’ deiarkeh Pulai), berarti disuruh pulang. (L H Kadir 2016 : 102 ).
     Jika sang Pemuda masih saja nekat datang dan gadis itu masih juga menolak cintanya, maka orang tua turun tangan menasihati Pemuda tadi, meminta sang Pemuda itu untuk tidak datang lagi  mengunjungi anak gadisnya itu.
     Kalau Pemuda itu diterima oleh si Pemudi,  setelah tiga malam berturut- turut  biasanya orang tua bangun dan menanya  (Meresa = memeriksa ) pemuda  dengan mengajukan dua pertanyaan yang kira- kira begini bunyinya : “ Mau benar- benar mengawini anak Gadisnya atau mau main- main ?”. Apabila Pemuda tersebut hanya mau main- main, maka  mulai malam itu tidak boleh datang lagi. Tapi jika Pemuda mau mengawini anak gadisnya maka ada dua pertanyaan lagi : “ Nuan kali ka’ ngile’  atau’ keh ka’ ngulu ?”. Terjemahannya: Kamu apa mau kehilir atau mau kehulu ?. Kalau Kehilir berarti Perempuan masuk kekeluarga laki- laki, kalau kehulu berarti laki- laki masuk kekeluarga/ kerumah perumpuan”.
-33-


     Tapi bila pemuda itu masih ragu- ragu, atau tidak mmemberikan jawaban,  oleh orang tua Gadis tadi pemuda tersebut diminta untuk tidak datang lagi mengunjungi anak gadisnya. Kalau Pemuda itu masih nekat datang( nguang ) gadis tersebut, maka pada hari ketiga  (artinya pada hari keenam sejak Pemuda itu datang keperaduan gadis tadi )  belum juga memberikan jawaban, maka keduanya langsung dikawinkan, “dikitau ngau manuk yang disebut “bemati Manuk”, inilah yang disebut “Kawin Tangkap”.
     Dalam Masyarakat tradisional  cara pacaran seperti “Nguang Urakng (Kantu’), Ngayap (Iban), Mainjani (Tamambaloh), Meraja ( Senganan )” sangat dihormati. Oleh karena itu walaupun pacaran dilakukan bertahun- tahun sangat jarang terjadi “hamil diluar nikah/ Ngampang”. Kehamilan diluar nikah dipandang sebagai  perbuatan atau aib yang sangat tercela; sehingga menyebabkan  wanita  (pelaku ) dan keluarganya dikucilkan dari pergaulan masyarakat.
     Masyarakat ( Orang ) tidak mau dikunjungi/ bergaul dengan “Wanita yang hamil diluar nikah berikut keluarganya”  karena dianggap dapat mendatangkan mara bahaya. Kalau mereka berkunjung kerumah tetangga, kaum keluarga atau kerabatnya, maka sanksi Hukum Adat “Pemali” sudah menanti, bahkan bisa kenakan sanksi “Sait Semaya” oleh Pengurus adat.
Masuknya medernisasi sebagai akibat pengaruh kesejagatan dan pengaruh Pembangunan sampai kedesa- desa menyebabkan tradisi “ Nguang Urakng, Ngayap, Meraja, Mainjani  dan sejenis tradisi” seperti itu tidak dapat dipertahankan.  Lebih- lebih setelah  pihak yang tidak punya adat tersebut mulai ikut- ikutan meniru tradisi tadi  yang bukan miliknya,  yang bisa menyebabkan pencemaran lingkungan dan keseimbangan alam, dan sekaligus menyebabkan pencemaran eksestensi budaya. Sehingga perlahan namun pasti tradisi Nguang Urakng menghilang sejalan dengan perkembangan jaman.
2.       BUDAYA DAN ADAT JADI SAUMP
     Adat- istiadat dan Budaya Perkawinan “Jadi Saump  yang dimulai dari proses pacaran (jaman dahulu Nguang Urakng) seperti telah diuraikan diatas, maka sebagai tindak lanjut dari pacaran (Nguang Urakng) sebelum masuk kejenjang Perkawinan  -  “Jadi Saump”  dilakukan ;
a.      BEPINTA’  BETANYA’/ BEPEKAT :

   Bepinta’ Betanya’ adalah proses meminta perempuan untuk dipersunting oleh laki- laki pujaan hatinya, yang ditentukan dengan “Bepekat” (Mupakat) tentang Hari Pertunangannya; yang sudah barang tentu secara tidak resmi telah dibicarakan oleh kedua calon Mempelai.



-34-


     Tradisi bepinta’ Betanya’ dalam Suku Dayak Kantu’ tidak bisa diwakilkan,artinya orang tua kedua belah pihak ( pihak Laki- laki dan Perempuan ) wajib hadir, kecuali orang tuanya sudah meninggal dunia baru bisa diwakilkan pada keluarga dekat, paman atau abang kandung misalnya. Setalah tercapai kata sepakat oleh kedua belah pihak, barulah ditentukan waktu yang tepat untuk melakukan hari pertunangan.

b.      HARI PERTUNANGAN

     Pada hari pertunangan,  perangkat Adat  mulai dari Kebayan, Patih, Komplet, Temenggung diundang untuk hadir, tujuannya adalah : “Menentukan janji  dan hasil kesepakatan kedua belah pihak”  serta menentukan “Adat- istiadat dan Budaya yang harus dipatuhi”.
     Dalam acara bertunang ada beberapa hal mendasar yang dibicarakan , diantaranya  adalah :
*. Secara resmi oleh Pemuka Adat ditanyakan “ Apakah lamaran itu diterima?”,  dan kalau diterima siapa diantara mereka  yang masuk kekeluarga  yang lain ?”.
*. Kalau Perempuan yang masuk kelingkungan keluarga Laki- laki, maka disebut “ Indu’ de  guang keurakng”, demikian  sebaliknya kalau laki- laki yang masuk kekeluarga Perempaun disebut “ Laki ngami’ undu’”.
 *. Bila telah dicapai kesepakatan, biasanya ditetapkan “Adat Said Semaya” atau Janji yang berisi  bila salah satu pihak ingkar janji, oleh Pengurus Adat.
*. Menentukan hari baik bulan baik untuk menetukan hari Upacara Bekitau- bebiau “ Jadi SaumpPerkawinan”.

  Pada hari pertunangan keluarga laki- laki menyerahkan :
*. Satu buah Ilum ( Sirih – Pinang ) pertanda disinilah hubungan kekeluargaan kedua belah pihak akan dimulai.
*. Satu buah Selung ( Gelang dari Tembaga ), secara harpiah menggambarkan hubungan kekeluargaan tidak terbatas, sampai keanak cucu mereka dan perkawinan tidak terpisahkan  kecuali maut memisahkan mereka.
*. Napan ( Ceper dari kuningan ) sebagai pengkeras semangat ( Pengeraeh semengat ).

 Lalu pada  Penijauan Adat dan Budaya Suku Dayak Kantu’, maka Syaratnya sebagai berikut :
·         Satu buah Ilum ( Sirih- Pinang ).
·         Selung diganti dengan satu bentuk Cincin Emas belah rotan,artinya Perkawinan mereka tidak terpisahkan, kecuali maut yang memisahkan mereka.
·         Uang tunai (tergantung besarannya yang disepakati kedua belah pihak), untuk ongkos dalam upacara hari Perkawinan ( Hari “H” ).
·         Alat mandi Perempuan, secara harpiah mengandung arti “ Laki- laki” siap mengambil alih tanggung jawab orang tua perempuan tersebut.
-35-
·         Napan ( Ceper dari kuningan ).
·         Perhiasan emas sesuai kemampuan.
·         Satu singkap Piring Porselen.  Menurut Peninjauan Hukum Adat dan Budaya Suku Dayak Kantu’ ke IV, tahun 2006 , pihak laki- laki menyerahkan Pakean sebesar 40 singkap piring porselen.

     Dengan telah dilunasi adat tersebut diatas maka  kedua calon mempelai ( Billa sudah kawin )  anak-  dan keturunan serta keluarganya mendapatkan persamaan hak dan kewajiban dalam keluarga, terutama harta- benda/ warisan  yang tidak bergerak, seperti tanah dan buah- buahan.

     Perkawinan yang masih ada hubungan pertalian darah antara mempel;ai laki- laki dan mempelai  perempuan baru dapat dibenarkan oleh hukum Adat Dayak Kantu’ apa bila telah berada pada tingkat keempat.  Hal ini mungkin karena pengaruh gereja atau tingkat pendidikan formal , sebab mengingat pada  keturunan tingkat kesatu  sampai ketiga dikuatirkan menyangkut masalah kesehatan anak. Misalnya anak lahir caca pisik dan lain- lain.

     Karena satu dan lain hal dalam masa pertunangan menjadi batal ( balang tunang ); kalau yang membatalkan  dari pihak laki- laki; maka kepada pihak laki- laki sanksi  hukum  dan tanda tunang tidak dikembalikan. Sebaliknya kalau pihak perempuan yang membatalkan  maka tanda tunang dan ongkos/biaya untuk pesta kawin “Jadi Saump” dikembalikan dan sanksi adat berlaku. Berikut  sanksi huku menurut :

     Tinjauan Buku Adat tahun 1995, bila batal pertunangan dilakukan pihak laki- laki  mas kawin atau pakean tidak dikembalikan.  Berdasarkan perubahan ke-IV, 6 Mei 2006 batal tunang  dikenakan sanksi  15 buah dan sepertiganya diberikan kepada pengurus/ fungsionaris Adat.

     Demikian juga kalau pihak ketiga yang membatalkan pertunangan, maka pihak ketiga mendapat sanksi hukum 30 buah, ditambah 15 buah sanksi hukum mengusik rumah tangga orang. Tiga puluh persen  dari jumlah sanksi hukum diberikan kepada Pengurus/ Fungsionaris Adat.

     Disudut lain, bila melakukan pertunangan lebih dari satu kali  dengan orang yang berbeda, maka  dapat dikenakan  sanksi hukum adat :


-36-

*. Tinjauan Hukum Adat Dayak Kantu’  pada Buku Adat perubahan ke II, tanggal 1 Januari 1995 menegaskan “ Melakukan pertunangan lebih dari satu kali, maka yang bersangkutan dikenai sanksi Hukum Adat 30 buah”.

*. Sementara menurut peninjauan Hukum Adat, pada Buku Adat  Revisi ke IV, tanggal 6 sampai dengan tanggal 9 Mei 2006, bila melakukan pertunangan lebih dari satu kali dengan orang yang berbeda, sementara masih terikat pertunangan dengan yang pertama maka sanksi hukum 50 buah.

     Seseorang yang telah mengetahui pasangan tunangnya masih terikat pertunangan dengan orang lain dan ia menyetujui yang bersangkutan  maka sanksi Hukum Adat dengan sebutan “PERANGKAT TUNANG”  diberlakukan :
*. Menurut Ketentuan Hukum Adat, dalam Perubahan ke dua memberikan Sanksi 30 buah, sedangkan
*. Revisi ke tiga, tangal 6 Mei 2001, memberikan sanksi Adat seberar 40 buah,
*. Kemudian menurut revisi  keempat, tanggal 5 sampai dengan 9 Mei 2006, mematok hukum Adat “Perangakat Tunang”  sebesar 100 buah.
     Menurut Tata Cara  Adat Suku Dayak Kantu’, pertunangan bisa batal  atau ditunda (Begelanggang ) bila kedua atau salah satu calon mempelai :
*. Mendengar Sura Rusa ( Pangkaeh Rusa’ ) waktu malam hari.
*, Mendengar kayu rebah waktu malam, tanpa angina rebut.
*. Bila ada keluarga terdekat calaon mempelai yang meninggal dunia.

Menunda Perkawinan (Begelanggang ) bisa satu tahun, bisa dua tahun  dan bisa  tidak jadi sama selali. Untuk memutuskan mata rantai menuda perkawinan ( Begelanggang )  jaman dahulu, apa bila  sang perempuan sudah ditiduri ( diguang ) orang lain.

c.       JENIS PERKAWINAN

     Ada beberapa jenis perkawinan  atau Jadi Saump menurut Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak Kantu’, diantaranya :

1.       Kawin lebih dari satu orang; Adat istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ tidak menganut perkawinan poliandri dan poligami.  Masayarakat Adat Suiku Dayak Kantu’ justru menganut perkawinan “monogami” melanggar hal tersebut sanksi Hukum Adat sudah menghadang  misalnya “ Perubahan Hukum Adat Ke-II, besarannya 100 buah dan menurut Revisi ke-IV  150 buah”.

-37-

2.       Kawin Mali;  dapat diletakan sebagai perkawinan yang menyimpang dari aturan adat yang sebenarnya, misalnya antara Bibi dengan keponakannya atau sebaliknya; perkawinan seperti ini sangat tabu menurut Adat Suku Dayak Kantu’, apa lagi jika menurut Adat hubungannya sangat tekat. Hukuman ini sangat berat, jaman dahulu dilakukan dengan hukum tampun; hukuman mati  keduanya ditusuk dengan bambu. ( Lihat, LH Kadir 2016 : 105 ). Sanksi Tampun ini tidak diberlakukan lagi seiring dengan  perkembangan jaman dan kemanusiaan.   Bila  malinya boleh dikatakan sudah jauh  sanksi hukumnya disebut “selapat” dengan besarannya “ Berupa piring porselen satu singkap ( satu buah ), mangkok satu buah dan Tempayan ( Tepayan ) satu buah”. Akan tetapi kalau malinya sudah sangat dekat  misalnya adik bapaknya  sudah barang tentu Babi yang beratnya tidak kurang dari 45 kg berjumlah 1 ekor sampai 7 ekor diberlakukan pada Adat Pemali; tergantung jauh dekatnya jarak keturunan kedua mempelai.

3.       Kawin betaban/ rari; perkawinan seperti  ini karena satu dan lain hal tidak mendapat persetujuan dari orang tua atau ahli waris kedua mempelai. Biasanya kedua mempelai lari kepada keluarga atau fungsionaris/ pemuka Adat, minta perlindungan  sekaligus minta diurus perkawinan mereka.  Sepanjang hubungannya tidak tersangkut dalam masalah mali atau tersangakut hukum Adat atau hukum positif perkawinan, kawin seperti ini dapat diurus oleh Pemuka Adat dimana mereka minta perlindungan.

4.       Kawin Betaban; berarti seorang laki- laki melarikan perempuan pujaan hatinya yang akan dijadikan istri; dalam konteks perkara ini naban dapat diartikan dua jenis :
a.       Naban pulai ; berarti membawa istrinya lari kedalam keluarga suami. Yang semula suami masuk kekeluarga istri (Nguang kebikik istri )  lalu dengan  alasan  satu dan lain hal  laki- laki membawa istrinya pulang kerumah orang tuanya.
b.      Naban rari;  melarikan anak gadis orang untuk dijadikan istri.   Ada keyakinan  Masyarakat  Dayak Kantu’ pada jaman dahulu dengan mengawini   wanita tertentu akan membawa rezeki.  Keyakinan seperti inilah yang mendorong terjadinya “Kawin Naban” atau “Kawin Ngeramaeh”.  Menurut Adat Masyarakat Dayak Kantu’ dapat dibenarkan. Dan biasanya perkawinan semacam ini tidak menyebabkan cecok antara keluarga kedua belah pihak, karena pihak yang melarikan anak gadis orang  memahami betul kesalahannya, sehingga mereka membayar adat melebihi yang sudah menjadi ketentuan. (Lih, LH Kadir 2016: 107 ). Namun demikian bila belum tercapai kata sepakat para pihak, perkawinan semacam ini belum boleh perkawinan, bila dilangsungkan, maka perkawinan itu dianggap tidak sah dan menurut Masyarakat Adat Dayak Kantu’ dipandang sebagai “PERZINAHAN/ BUTANG BEDUSA” atau paling tidak hukum salah basa tentunya sudah pasti atau kemungkinan pula hukum Adat kesupanan ( hukum Adat melanggar sopan- santun) atau boleh jadi Sait Semaya.
-38-

5.       Berangakat idup, adalah menikahi suami atau istri sah orang lain,  Dan orang yang melakukan perkawinan semacam ini biasanya dikucilkan, sampai- sampai orang tidak mau kawin dengan keturunan (anak- cucu ) nya.

6.        Berangkat Tulang
        seorang laki- laki atau Perempuan yang sudah ditinggalkan pasangannya meninggal dunia,        Masyarakat Adat Dayak Kantu’ menyebutnya “Balu”.  Kalau seseorang yang menikah sebelum diadakan adat pelepaeh balu; {karena suami atau istri yang meninggal menurut Adat dan Budaya Dayak Kantu’ bila belum diadakan adat Pelepaeh Balu walaupun sudah meninggal mereka masih dianggap suami atau istri sah} ( Pelepaeh balu  adalah melepaskan hubungan suami atau istri dengan yang sudah meninggal ) belum boleh berkeluarga lagi.
 Kalau melanggar ketentuan tersebut yang artinya kawin sebelum Pelepaeh Balu, maka dianggap menyalahi Adat yang disebut “ Berangakan Tulang”.  Melanggar Adat ini, dapat dikenakan sanksi hukum “Pati Nyawa”, karena dianggap kelalaian atau dianggap membunuh. Praduga tersebut boleh dikatakan sangat wajar, karena orang boleh mengatakan meinggalnya suami/istri adalah disengaja/ dibiarkan atau tidak dirawat dengan baik waktu sakit agar bisa menikah dengan orang lain setelah suami atau istrinya meninggal.

7.       Sedangkan adat Pelepaeh Balu,  adalah sebagai berikut :
a.      Satu ekor ayam yang sudah dewasa.
b.      Satu potong besi untuk pengkeras ( Papung besi untuk pengeraeh semengat).
c.       Uang tidak ditentukan besarannya.

     Sedangkan tata cara pelepaeh balu, “ Manok dikitau (Ayam dikibaskan diatas kepala yang bersangkutan ), setelah itu Ayam disembelih dan darahnya dioleskan didahi ( disengkelatn)nya”.

    Sedangkan menurut Adat- istiadat Dayak Kantu’ kalau kena sanksi hukum “Pati Nyawa” sebelum diserahkan kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk diadili di Pengadilan Negeri, demi mengembalikan keseimbangan alam “relegio magis”, terlebih dahulu harus dikenakan sanksi hukum adat “Pati Nyawa” , adalah sebagai berikut : “ Menurut revisi Adat dayak Kantu’ ke II, besaran Pati Nyawa 240 buah, setelah direvisi ketiga besaran pati nyawa menjadi 250 buah; kemudian pada tanggal 6 sampai dengan 9 Mei 2006  sanksi hukum Pati Nyawa menjadi 1.500 buah dengan rincian sebagai berikut :” Satu Payah Jala Pengganti Rambut sebesar 50 buah, sebuah Telaga pengganti mata sebasar 60 buah,


-38-


sebuah rangkei’ pengganti gigi sebesar 75 buah, satu laras sumpit  pengganti hidung sebesar 70 buah, sebatang besi buku’ pengganti tulang sebasar 15 buah, satu buah gong keliling delapan pengganti tempat duduk sebesar 120 buah, satu pucuk senjada api ( Senapan ) pengganti paha sebesar 80 buah, satu buah gong keliling Sembilan pengganti suara diharagai 150 buah, satu buah bedil pengganti paha sebesar 150 buah, satu buah ntali ujan pengganti nafas sebesar 90 buah dan satu buah gelegiau pengganti badan sebesar 500 buah;ditambah dengan 20 singkap piring porselen dan menanggung biaya penguburan, diharagai  100 buah”.

D.      TATA CARA   HARI JADI SAUMP

     Perkawinan yang dianggap sah adalah harus berdasarkan adat baik sebagai budaya maupun sebagai hukum, sehingga bagi yang beragama Nasarani ( Kathokik atau Kristen )  atau pun agama lainnya, hendaknya menjalankan/ diberkati menurut  peraturan agama yang dianutnya, baru kemudian melakukan Upacara Adat “Jadi Saump”.

     Tata cara Adat dalam upacara “Jadi Saump” sekaligus mengukuhkan kedua mempelai dalam hidup berumah tangga dan seluruh keturunannya agar mendapat persamaan hak dan kewajiban didalam keluarga; terutama atas benda yang tidak bergerak sebagai warisan atau milik suami maupun milik istri yang diwariskan orang tuanya, misalnya tanah dan buah- buahan.

     Ini dia “TATA CARA /UPACARA ADAT JADI SAUM/ PERKAWINAN dalam masyarakat Dayak kantu’ :

ALAT- ALAT DAN BAHAN  YANG DIPERLUKAN :
Pada jaman dahulu ( mungkin Jaman pertengahan ), yaitu :
1.       Pada jaman dahulu: satu buah selung ( Gelang Tembaga dipakai oleh mempelai perempuan ); sekarang diganti dengan  dua bentuk cincin emas belah rotan   ( dipakai Mempelai Laki-laki dan Perempuan ).
2.       Mempelai laki- laki memakai celana  (serawar adat ) dengan baju adat rompi lengkap dengan tengkulas ( selutup  lengkap tengan telujuk bulu Ruai ), kemudian tangkin  (Mandau ), Terabai ( Perisai ) dan perlengkapan laki- laki lainnya.
3.       Mempelai Perempuan mengenakan Kain Bindu’ ( Kain ikat khas Dayak Kantu’ yang dilengkapi dengan koint), Ntali ujan, berselendangkan kepua’ Kumbu” (Selindang ikat khas Dayak Kantu’) lengkap dengan perhisan Perempuan lainnya.
-39-
4.       Gong Keliling Sembilan satu buah dialas dengan Kepua’ Kumbu’, tempat duduk kedua Mempelai.
5.       Satu buah Baku’ ( Tempat menyimpan Sirih- Pinang, lengkap dengan gambir, Jerangau, Kencur / Cekur dan lain- lain ), dilengkapi dengan Kacup ( Alat pembelah buah pinang).
6.       Beras secukupnya dengan satu bilah parang: diinjak oleh kedua mempelai, sebagai pengkeras ( Pengeraeh semengat ).
7.       Ayam; bila laki- laki sudah Jantan ( Tumbuh ekor/ rambai ) bila Betina sudah bisa bertelor (Sudah dara ).
8.       Satu buah Mangkok Putih, untuk menadah Darah ayam hasil sembilhan setelah bekitau.
9.       Satu buah Par ( Napan dari kuningan ).
10.   Beras dan Tangkin (Mandau ) yang diinjak kedua mempelai, untuk pengkeras.
     Perubahan tatanan Budaya dalam kehidupan Adat  Suku Dayak Kantu’; khususnya dalam upacara Jadi Saump  secara alamiah lebih disebabkan karena  bertambahnya jumlah penduduk  dan komposisi penduduk yang mendukungnya. Disamping itu perubahan Upacara Jadi saump, terjadi karena kebijakan yang sengaja digariskan untuk memasukan nilai- nilai baru yang diangap lebih sesuai untuk mencapai kondisi kehidupan berumah tangga yang lebih baik, sejahtera dan lestari.
     Penataan struktur Rumah Panjai menjadi rumah individu dalam Desa masa kini, sangat besar pengaruhnya menyangkut perubahan pandangan hidup, sudah barang tentu berimbas kepada  tata cara – upacara “Jadi Saump”, maka dengan demikian  Adat Perkawinanpun mengalami perubahan; untuk itu ditemukan bahwa “Selung (Gelang Tembaga)”  diganti dengan “Cincin emas belah rotan”  adalah karena perubahan tersebut; walaupun yang lain masih dipertahankan dan (semoga)tetap dipertahankan dan lestari terus.
PERAHU/ PERAU RUNDAI

     Kalau Laki- laki yang masuk kedalam keluarga  (Bileik ) perempuan disebut “nganjung bini” , artinya mengnatar laki- laki ketempat Perempuan.  Waktu mengantar keluarga Perempuan tidak ikut serta.  Sebaliknya kalau perempuan yang masuk kekeluarga Laki- laki  disebut “ngambei’ bini”, artinya keluarga laki- laki menjemput mempelai Perempuan.  jaman dahulu, mungkin dikarenakan Suku Dayak Kantu’ kebanyakan hidup dibantaran Sungai, khususnya Sungai Kapuas, menjemput mempelai Perempuan menggunakan perahu, yang disebut “Perahu (Perau ) rundai”, yaitu Perahu/ Sampan yang dihiasi  dengan klain tenun ikat khas Dayak Kantu yang dinamakan Kain Bindu’/ Selendang ikat.
-40-
     Setelah sampai di Rumah Keluarga mempelai laki- laki, mempelai Perempuan disambut dengan acara Penyambutan tamu ( Bealu- alu) dengan seni suara yang disebut beanseng- anseng, sesampai didempan pintu masuk seorang pembaca mantra mengitau mempelai dengan ayam, dimana pembaca mantra menghadap ke matahari terbit, secara harpiah ini menggambarkan, agar  upacara/ tata cara berjalan lancar dan tamu  (pengabang ) diberikan keselamatan.  Secara terselubung menghindarkan mungkin ada yang berniat jahat atau membawa azimat ( sepeti racun)  tidak berguna pada waktu  acara tersebut, atau dengan kata lain Tuan Rumah dan Pengabang diselamatkan dari mara bahaya; dan darah ayam hasil sembelihan ditadah didalam mangkok dan satu persatu  tamu  (Pengabang) dioles  ( disengkelatn ) dengan darah ayam tersebut.

    Lafah mantra itu kira- kira begini bunyinya : “ Labuh daun buluh  de tangkap ikan dungan antu ka munuh ine’ Andan nyimpan kemuan” mantra ini dibacakan disetiap orang yang disengkelatn.

     Untuk selanjutnya Ayam tadi dimasak untuk makan para tamu – undangan ( Pengabang ) yang datang menghadiri upacara/ pesta Perkawinan – Jadi Saump tersebut.

BETEKAR
     Ketua Adat ( Temenggung, Pateh, Kebayan atau Pemuka Adat) memimpin rapat adat atau siring disebut “BETEKAR”,  yang dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kedua mempelai, ahli waris dan pengabang yang datang menghadiri Acara “Jadi Saump” gunaa menerangkan “Adat- istiadat dan budaya tentang hidup berumah tangga “ , yang sekaligus mengumumkan tata tertip dalam Pesta pernikahan “Jadi saum” kepada para pengabang.

KEDUA MEMPELAI DUDUK BERSANDING

     Pada saat upacara/ pesta  “Jadi Saump” kedua mempelai duduk bersanding diatas Tawaq, yang sudah dialas dengan Kain Ikat khas Dayak Kantu’ ( Kepua’ Kumbu’) dengan pakaian  Adat lengkap ( laki- laki dengan serawar Adat dan Baju rompi Adat , dilengkapi dengan tengkulas /selutup yang dihiasi telujuk/ Bulu Ruai, dan mempelai Perempuan memakai kain bindu’ dengan selendang  (Kepua’ Kumbu’ ) mereka berdua duduk diatas tawaq dan kaki kedua mempelai menginjak Tangkin ( Mandau ) yang diletakan diatas beras, sebagai Pengkeras ( Pengeraeh Semengat).


-41-

 Di beranda Rumah Panjai yang disebut “Ruai”, pas ditempat duduk para ahli waris disediakan Tempayan untuk menyimpan sumbangan berupa uang dari hadirin ( Pengabang ) yang disebut “Cepu’ “, tamu (pengabang ) yang memasukan uang sumbangan tersebut kedalam tempayan dihadiahi air Tuak ( aei’ Beram), tujuan untuk membalas sumbangan yang dimasukan tersebut.

BEKITAU – BEBIAU

     Pada acara “Bekitau” yang artinya “Mengibaskan ayam kampung diatas kepala kedua mempelai  disertai tukar cincin kawin ( Cincin belah rotan dari emas), jaman dahulu  mempelai laki- laki memasukan “Selung” kelengan kiri mempelai Perempuan. Dalam acara Bekitau hadirin dilarang ribut, atau membunyikan gendang (Betebah ) sebab dalam Tatra cara Jadi Saump, acara bekitau diyakini sebagai acara yang sangat sakral.

     Pimpinan “Bekitau “ berdiri membaca mantra, pembaca mantra itu tidak harus Perangkat Adat atau Manang,  bisa juga orang biasa yang lebih tua dari kedua mempelai yang masih hidup orang tuanya lengkap ( Masih punya ayah – ibu), secara harfiah ini menggambarkan jika anak mereka lahir, anak itu masih punya orang tua lengkap sampai dewasa. Berikut bunyi doa dalam “BEKITAU JADI SAUMP’ :

-I-

(ENTERAN PERTAMA )

*.Bepun “Ngitau Urang Jadi Saump” dalam “Nikah Adat “
Ipuh tumbuh langgai memaluh, ninggang betang dulang kawi, basa kitai mayuh agei’ di kenang, adat ngitau urakng jadi, ngitau _________(sebut Nama Laki- Laki ) nggau__________(sebut Nama Perempuan ) jadi melaki bini;

RAJA SEBAGEDAH

*. Pitu’ basa Raja sebagedah; nempa’ tanah belenyang lenyut, bayah sepenyangkah tapak kaki.
*. Pitu; basa Raja Segedi’ ; nempa’ aei’ deraeh anyut, linang- lingang tasik lantang ngelayang simpang batang Kapuaeh, suba’ ngelayang Batang Melawi.
*. Pitu’ basa Raja Lukung; nempa’ Tanjung panjai bejulut, enam betelan delapan betibaeh, ujung sepengelung belakang taji.


-42-
*. Pitu’ basa Raja Bilu; mupu kayu sedua rumput, keulu- keilei’, sida’ dua menyade’ ngiga’ sape’ leman babaeh, tubah nyadi Tapang Sebangki.
*. Pitu’ basa Raja Bandan; nanam Bulan mansang surut, padam terang diganti banang matahari.
*. Pitu’ basa Raja Juruk; nempa’ Rampu’ Tengang tusut, mulaeh akar bepulaeh- idaeh, bisa’ mulaeh pandai nali.
*. Pitu’ basa Raja Bandang; nanam pelempang Tapang Nsusut, gaga rindang ruai lalang mantang belembang ubung maeh, rindeing- randang nadai lapang nengkebang punggang Lang menari.
*. Pitu’ basa Raja Bantan; nanam Rutan Uwei Karut nggau ngerumpang rigang Kampung Kempaeh, tubah nyadi leka Uwei.
*. Pitu’ basa Raja Mantala; nempa’ mensia mula idup, siku’ indu’ siku’ laki, bejaku’ tau’ beletaeh- letaeh agei’ menyala tapa’ kaki.
*. Pitu’ basa Buinasi; nanam padi sida’ dua Pulut, tubah ngelala mata beraeh, mula nyadi leka padi.






















-43-



































































-II-

(ENTERAN KEDUA )

PEJADI SEBUAH KANA

*. Pitu’ pejadi Apai Karung Besei’ ; diau ditisi langit merintei’, jejenang urakng saur berinteing, lembang Pemuang  nda’ alah singkang petei’ pelawik.
*. Pitu’ pejadi Lajang Sandang, jejenang urakng Lelayang Gaseing, punjung sebemban bejumpung, nda’ alah serambung ambueh niteik.
*. Pitu’ pejadi Rayung, digelar pangkung gung nyareing, mendeing serindeing ditebing tasik.
*. Pitu’ pejadi Apai Lembu, selalu ngasu buleih jelu tiseik, jenang Urakng Sinaneing Keleing.
*. Pitu’ pejadi Nuan Pungga’, jenang Uma’ ia Lumpung Mandeing, sepan bandam ngelumbang, Pauh Nesam Tepeing sabungan Manuk Bureik.
*. Pitu’ pejadi Adei’ Rembuyan, jenang jenkuan ripang buing, beambo’ menyade’ nggau petei’ Pelaweik.

-III-

(ENTERAN KE TIGA )

PEJADI TUNGGUL PATIH

Liba- libu keilei’ – keulu.
*. Bakatu’ pejadi Aji Melayu, ngerebah kepupu Tunggul Padi.
Liba Libai kelaut lawai,
*. Bakatu’ pejadi Indai Lendai, beambai nggau  Apai Bujang Berani.
Jawa Jingan Pauh Nesam,
*. Bakatu’ Pejadi Patih Raman, rindang keran jari kanan nanam Meriam Bedil Besi.
Tanah Jawa Eropah,
*. Bakatu’ Pejadi Patih Landa, mullah Menua di Maja Pait, mandei’ diaei’ pancur Aji.
 Sanggau Pulau Nsaman,
*. Bakatu’ pejadi Patih Cundau, serawar ijau tabur kunyit, kindang- kindang nyandang apang, mandang punggang tangkai ati.



-44-


Sungai Aya’ Kiara’ Jangkit,
*. Bakatu’ pajadi Patih Mara’, nipan pegela’ Buing Singit, bisa’ bedara’ pandai besampi.
Sepauk Adau Garam.
*. Bakatu’ pejadi Pirang Buk, tupuk caruk Aji.
Belitang Ujung Nsar,
*. Bakatu’ Pejadi Patih Carang, timbau Pencalang kena’ dirakit, jungkang ditampang langgah kemudi.
Simpang Kampung Menyumbung,
*. Bakatu’ bejadi Nanang Cawan, nebang Mang ketiang suit, rumah manggah Nanga Melawi.
Ketungau Lubuk Lindung,
*. Bakatu’ pejadi Patih Rimong, ngayuh ke Bandung timbau jungkang, kesam luan karam singit,nemu papung tebelian melepung dikelembung kerubung lumba- lumbi.
Nsilat Gunung Medang,
*. Bakatu’ pejadi Patih Carap, ngadap selikap ayau dibukit, rumah pat tinggei’ empat kebat kekawat paku besi.
Seberuang Nanga Seleban,
*. Bakatu’ pejadi Patih Sumba, nebang batang tebelian lampit, nunga’ panti Raja Babi.
Semitau Nanga Kenibung,
*. Bakatu’ pejadi Patih Gura, nebang ara melintang Nanga Semitau Jepit, rumbang ditensang batu pinyang diberei’ Abang matahari.
Mersedan Sungai Garung,
*. Bakatu’ pejadi Patih Dayan, nempa’ Penawan bebelit langit, tubah bedengah nggau raja Babi.
Kelempayan Nenalan Terung, simpang Padan kelandau Luit,
*. Bakatu’ pejadi Patih Rangkang, betunang nggau Dayang Bunsu Genali.
Sungai Gandal Nanga Tawang, simpang Pekarang Nanga Suait,
*. Bakatu’ pejadi Abang Payang, beaku’- aku’ lalau ngelaban sida’ ulu sebalang, menang nancang manuk bulit, meretang ka’ bulang Buinasi.
Selimbau Nanga Merkadung,
*. Bakatu’ pejadi Patih Munau, tajung ijau tabor kunyit, lancap mantap meniri- niri.
Memaluh nempuh ke Menua Ujung,
*. Bakatu’ pejadi Patih Manuh, lebau nimoh ipouh palit, nemu batu Lelayang Besi.




-45-



-IV-

(ENTERAN KEEMPAT )

PEJADI TUNGGUL DEMUNG TUAI

*. Pitu’ basa Demung Panteing, ngembing tebeing sungai raya betemu nggau Raja Buya/ buaya, tengan nyangak aei’ tuba tiga puluh tiga jalung temaga datai ke Nanga Lubuk Seguran.
*. Pitu’ basa Demung Merbai, ulit besai kayau raya, ngulit kedayang imbuk Benang sesat lelang ngiga’ lemba’, nitih ke sikin beladin tulang, menggang dibelakang babi belang ngelayang simbang danau Lebuyan.
*. Pitu’ basa Demung Temiuk, Tuai kitai Kantu’ di Nanga Kantu’ nyungkah ketikuk nitih kesiku’ Indu’ Buaya, datai ke ntu’ ia tau’ ngayun ucu’ ngitau seguran.

-V-

(ENTERAN KE LIMA )

PEJADI DEMUNG BIAK

*. Pitu’ basa Demung Burak, tambak jak pisang undang, duduk jejenih pegari rita.
*. Pitu’ basa Demung Ruei’, rumah tinggei’ tangga’ mawang, rumah nanggah jalai raya.
*. Pitu basa Demung Pantau, nabur ke berau, tau’ kitau- kitau nyadi gamang nitih menitih nyangka’ pengaya.
*. Pitu’ basa Demung Gambih, ditulung upih Mayang Pinang, mpai beumpai nyau nyadi kemara.
*. Pitu’ basa Demung Nutup, nutup lindung ngelaban siang, ntak jak kereih bisa.






-46-






-VI-

(ENTERAN KEENAM )

TUNGGUL RATU

*. Ratu Inun, belamun dipun apung riap rindang gaga ruai kerapa nepan ditada garuda nari.
*. Ratu Tunah, rebah rumah pulai nyadap kena jerah pasah padi.
*. Ratu Kebang, lesi tumbang detinggang lampang kepayang sirap, rindang gegayah ruai rakah duduk nyelengah pulai nyembah raja babi.
*. Ratu Nisai, pindah bebai ketemawai Sekapat, gaya rindang Ruai Lalang ngentang dipuncak benang Matahari.
*. Ratu Nila, nginang uma lempa’ nsilat, pidah bai ke Bika’ Jabay, makai ditanggai nadai nyadi.

-VII-

(ENTERAN KE TUJUH )

TUAI MELABAN

*. Pitu’ jadi  De’ Muyak, anak ngka’ sida’ Ntipan belaki nda’ lama’ kelaman lela’ dudi Belia’ penantang ubung.
*. Pitu’ jadi De’ Cemegi, mati de tali tengang Pengilan, belaki udei’ dilaman mati dudi tanggi tudung payung.
*. Pitu’ jadi De’ Memai, tuai sida’ Rembai  makai di langgai Sungai Kelempayan, belaki pulai di laman pampai, dudi tandai pelempai ubung.
*. Pitu’ jadi De’ Inouh,  sayau luluh dilaman Ntipan belaki memaluh, dudi dukuh tujuh lumpung.
*. Pitu’ jadi De’ Sirah, anak tengah sida’ Melaban, rindang gegayah, tuai rakah ngentak rumah nengkadah  jungah punjung Sediyung.
*. Pitu’ jadi De’ Lia, sayau nyaya demunua Demam, belaki udei’ dilaman Sempadei’ dudi kelambei’ tating gerunung.
*. Pitu’ jadi De’ Undau, tuai sida’ sekalau, sayau nyau dipanggau liantan, ridang gegayah ruai rakah ngentak rumah dipunjung rabung.


-47-

*. Pitu’ jadi De’ Linyang, tuai di Bengkayang mangkang tekang gudang garam, linsan- linsan bayan pakan pulai ngancau temakau apung.


-VIII-

(ENTERAN KEDELAPAN )
TUAI KANTU’

*. Pitu’ jadi De’ Meragi; sayau rugi di panti  laki nebang Pengerang, rindang gegayah tuai bungah duduk melingah ngayam perebah ujung Nyatu’.
*. Pitu’ jadi De’ Sikal; mati nugal debareing batang, sayau danjan Burung Bayan nda’ tetipan keleman padi rampu’.
*. Pitu’ jadi De’ Lindang; nempian riam lubuk Lelayang, rindang gegayah tuai rakah ngentak Rumah ditumpah pepah ranah Nanga Kantu’.
*. Pitu’ jadi De’ Dura; ngentak Menua Batang Sebangkang, duduk nyelingah tuai rakah ditumpah pepah Sungai Sebiru’.
*. Pitu’ jadi De’ Burei’; belaki ngepei’ kebelakang aei’, laci- laci ruai peridi, mandei pagi niti panti Batang Sagu’.
*. Pitu’ jadi De’ Menta; sayau nyaya delaba menawa Buntak Balang, Sayau tumpat tuai lancap dekebab sayap Buntak Indu’.

-IX-

(ENTERAN KESEMBILAN )

TUA’ MELABAN

*. Pitu’ kitau Tua’ Tebang; bedandei’ rindang nepan di dan Kiara’ Riung.
*. Pitu’ kitau Tua’ Dendan; ujan kaya tempuga’ laka’ lebau jejakung.
*. Pitu’ kitau Tua’ Mundan; pemungga’ gempa’ ngelintang semenang tujuh lumpung.
*. Pitu’ kitau Tua’ Tagi’; jepit leka, betunang nggau Dayang Bunsu Remaong.
*. Pitu’ kitau Tua’ Buncil; betung betanda, suba’ mula besandung keh Betung.
*. Pitu’ kitau Tua’ Geni; sisi menua, jenang Urakng Abang puang kibung.
*. Pitu’ kitau Tua’ Pinggang; perumpang bala, ninteing rending nadai lapang, ngerumpang rigang bala betugung.




-48-
*. Pitu’ kitau Tua’ Dendu; ngkudu diuma masau jera redam itung.
*. Pitu’ kitau Tua’ Bentaei’; apai Isa, tubah adai depengkelung Tedung.
*. Pitu’ kitau Rampeing; sepuh ngelulouh jerenang itung.

-X-

(ENTERAN KE SEPULUH )

TUA’ KANTU’

*. Pitu’ kitau Tua’ Andun; ntum perangsang, nyakap serenti babi Lamba’.
*. Pitu’ Kitau Tua’ Kuri ; mati de tali Nanga Sejarang, belaya’ ke ulun salah pedua’.
*. Pitu’ kitau Tua’ Sanda’ ; puang lubang, nugung kedurung Antu Pala’.
*. Pitu’ kitau Tua’ Rimpeih; macan kedang, pandai nebang surung kiba’.
*. Pitu’ kitau Tua’ Bunyau; dua setamang, besandung ke Betung tinggei’ lima’.
*. Pitu’ kitau Tua’ Rampai ; Bakung nyawang ngerumpang pengerang ulu Nsana’.
*. Pitu’ kitau Tua’ Sanggau ; apai Sengkumang, bisa’ nyerang raya ngerekaga’.

-          NUSUI MIMPI –
-XI-
(ENTERAN KE SEBELAS )
-. Mimpi  dibere’ duit Raja Langit, sedum buncit kita’ dua simpan.
-. Mimpi Bedagang Mayuh barang, kita’ dua rindang barang macam ragam.
-. Mimpi ngasu de Bukit Setebu, bulih jelu babi dipan.
-. Mimpi ngemuah di Tampun Juah, gayah gayah nyamah buah rian.
-. Mimpi Beumai kaki kelempayan Parung Rejan, rindang keran, randah Bulan ngayam Padi Pandan, nadai puntan ngayam kuyan padi.




-49-
-XII-
(ENTRAN KE DUA BELAS )
BESAGU AYUH.
KISAH RARAK AKAR PAREI, beayuh kesungai ngelangai aei; beayuh ke pantai alai mandei’; beayuh ke batu baka de ginei’- ginei’; beayuh ketapang deinggap Muanyei’; beayuh kebukit becucung tinggei’, beayuh ke Terang Bintang Parei’, beayuh ke Bulan tengan nyilei’.

KISAH RARAK AKAR TUBA, beayuh ke sungai ngelangai kerapa; beayuh kepentai alai nyala; beayuh ke batu segala- gala, beayuh  ke Tapang nyangka’ perinda; beayuh ke bukit cucung lima, beayuh ke Terang Bintang Tiga; beayuh ke Bulan tengan Purnama; beayuh ke tanah Pulanggana.
“IDUP LAMA PANJAI NYAWA, TEGUH BATU TEGUH KEPALA, TINGGEI’ SUKAT TINGGEI’ SEMENGAT, GAYU GURU GERAI NYAMAI, NADAI APA NADAI MARA …….. IDUP BELAMA- LAMANYA
**SUMBER: Disalin dari” BUAH PENGAP” : Aya’ JAMBI, Desa Nanga Kantu’, tanggal 6 Pebruari 1997, oleh : JUNAIDI INUK.

       Ayam disembelih, darahnya ditampung dimangkok porselen/ Mangkok Batu Putih.  Menarik untuk diperhatikan bahwa darah ayam tadi,  diedarkan kepada undangan ( Pengabang ), terutama  orang-orang tua. Suku Dayak Kantu’ meyakini “ Jika darah ayam beku dan padat, pertanda pasangan akan hidup serasi sampai tua; namun bila darah ayam itu bergelembung- gelembung dan cair pertanda pasangan itu dipercaya akan tidak langgeng”. Darah ayam tersebut kemudian disengkelatnkan ( dioleskan ) didahi kedua mempelai pertanda sahnya perkawinan.








-50-
SELESAINYA ACARA PERKAWINAN

     Menarik sekali untuk disimak pada acara selesai upacara  “Jadi Saump” , ketika kedua mempelai mau meninggalkan tawaq  tempat duduk, terjadi tarik menarik antara pihak Mempelai laki- laki dengan pihak mempelai Perempuan ( seperti tarik tambang) untuk menetukan sebelah mana yang kuat/ menang; lalu yang kalah diberi air tuak (Aei’ Beram) sampai mabuk, yang kemudian dilanjutkan dengan acara bebas. Tapi ini bukan acara sakral, cuma main- main.































-51-

BAB V
ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA,
MENGIRINGI HIDUP BERUMAH TANGGA

     Perubahan sturktur Pemerintah Desa baik langsung atau tidak langsung telah mengakibatkan polemik didalam Masyarakat Adat Suku Dayak Kantu’. Masalah- masalah sosial dan politik dapat timbul dan beberapa diantaranya cukup penting diperhatikan oleh Pimpinan/ Fungsionaris Adat dan Pemuka Masyarakat, dalam hal ini akibat- akibat yang menyangkut masalah Adat Perkawinan.

     Terbentuknya Desa, berarti menetapkan desa sebagai wilayah kesatuan administratif, dan dengan sendirinya kebiasaan dan adat “Rumah Panjai” perlahan tapi pasti  dipinggirkan. Dan sekaligus memaksakan Masyarakat ( Adat ) untuk tunduk kepada  pencatatan Sipil Negara,  guna menerbitkan “Sertifikat Perkawinan”. lalu kenapa Fungsionaris Adat seperti Temenggung tidak diakui haknya oleh Negara untuk menerbitkan “ Sertifikat/ Surat Keterangan Jadi Saump” ?.  Pertanyaan ini memaksa kita untuk berpikir ulang “Apakah Ini berarti secara tidak langsung Negara telah menghapus adat- istiadat yang dibangun Nenek- moyang  atas dasar genealogis?”.

     Secara administratif, seharusnya hukum Negara dan tentunya ditrapkan diwilayah pedesaan memberi peluang  untuk menjalankan dan menggunakan hak dan kewajiban yang sama dengan hukum adat.

     Tidak jarang hukum perkawinan modern berbenturan dengan Adat tradisional,  dimana masyarakat hukum Adat berpegang kepada adat- kebudayaan yang diyakini mengandung relegio magis, sementara Negara berpegang kepada peraturan atau hukum Negara.

     Sikap kompetitip dapat  juga muncul pada faktor kepemimpinan  Adat, secara tradisional seorang Temenggung  dipilih warga masyarakat Adat sebagai Pemimpinan Tertinggi  dalam lingkungan Masyarakat Hukum Adat itu sendiri, terutama Masyarakat Hukum Adat Dayak Kantu’;   karena dinilai memiliki kelebihan- kelebihan tertentu, khususnya menyangkut adat dan budaya.



-52-
     Dengan demikian seorang Temenggung adalah Pemimpin informal yang mampu memelihara “TRADISIONAL ADAT” dan oleh karena itu seorang Temenggung dihormati serta disegani sebagai elit dalam masyarakat hukum adat.

     Karena seorang Temenggung sangat diharapkan mampu menyerap aspirasi dari masyarakat hukum adat untuk disampaikan kepada mitranya Pemerintah, namun kenyataannya dalam menjalankan kepemimpinannya  seorang Temenggung tidaklah leluasa, karena masih ada intervensi oknum Pemerintah, dalam tanda kutip masih terjadi.

     Disamping itu masih ada status  yang lain yang mempengaruhinya, seperti tokoh- tokoh Masyarakat, tokoh agama, tokoh politik  inilah salah satu penyebab yang membuat Adat – istiadat dan budaya Suku Dayak Kantu’ tercerabut dari akarnya, termasuk didalamnya “Adat- Istiadat dan Budya “Jadi Saump” – perkawinan.

     Namun demikian generasi muda Masyarakat Hukum Adat Dayak Kantu’ tetap mempertahankan “Adat- istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ “ , walaupun benturannya sangat berat.

     Dalam perubahan Adat Dayak Kantu’, memandang Piring Porselen adalah barang yang sangat berharga; oleh karenanya “Piring Porselen” digunakan untuk menakar sanksi Hukum Adat, yang disebut “buah’.  Namun sekarang karena “Piring Porselen” jarang dijumpai; maka buah dapat diganti oleh mata uang rupiah, dengan menaksir harga piring porselen dipasaran, yang tentunya sudah ditetapkan dalam musyawarah adat yang  khusus diadakan untuk itu.

     Karena Hukum Adat Dayak Kantu’ itu dinamis dan terbuka, maka untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman perlu sekali ditinjau lima tahun sekali.
 Walaupun  beberapa diantara hukum Adat telah dipaparkan diatas, namun untuk lebih jelasnya baiklah diuraikan sekali lagi didalam bab ini: diantaranya :



-53-


A.      ADAT NGUANG URAKNG

1.       Menurut ketantuan hukum adat dayak kantu’ dalam perubahan ke II, tanggal 1 Januari 1995, seseorang yang melakukan perbuatan “Nguang Urakng”  bagi komunitas Dayak Kantu’ dikenakan sanksi Hukum 10 buah, namun diluar komunitas mendapat ganjaran 25 buah. Penunjuk jalan ( te nganjung urakng ) atau perbuatan yang dapat disamakan dengan itu dikienakan sanksi hukum 15 buah, demikian juga kalau orang tua perempuan menyembunyikan perbuatan tersebut dan tidak melaporkan kepada pengurus Adat, sudah pasti denda 15 buah menimpanya.

2.       Dalam perubahan ke III,  tanggal 6 Mei 2001 ,  mendefinisikan “Nguang Urakng” adalah perbuatan seorang laki- laki ( baik Bujangan maun Duda ) datang malam hari bagaikan pencuri mau tidur bersama dengan  perempuan ( baik masih gadis maupun sudah janda ). Sementara “Nganjung Urakng”, mengatar orang, berarti menunjukan jalan. Sanksi hukum masih tetap sama dengan ketentuan dalam perubahan ke II.  Sebaliknya bila orang tua Perempuan melaporkaan kepada Pengurus Adat atas perbuiatan laki- laki  tersebut, maka sanksi yang  dibebankan kepada laki- laki tadi 10 buah, 8 buah untuk orang tua  Perempuan dan 2 buah untuk  Pengurus Adat. Sedangkan Hukum Adat “Nganjung Urakng”  diberikan kepada Pengurus Adat.

3.       Sedangkan Perubahan ke IV,   ( Tanggal 6 sampai dengan 9 Mei 2006 ) memperjalas Perbuatan Nguang Urakng, sebagai berikut :  Bahwa perbuatan Nguang Urakng pada Masyarakat Adat Dayak Kantu’  sangat dilarang dan pelakunya dapat dikenakan sanksi  hukum  dengan ketentuan:
a.       Laki- laki ( Laki te Nguang Urakng ) didenda 100 buah, sedangkan Perempuan  mendapat ganjaran 50 buah. Empat buah diberikan kepada Pengurus Adat, sedangkan sisanya menjadi milik orang tua Perempuan.
b.      Pembantu, seperti yang mengatar atau penunjuk jalan dikenakan denda 25 buah. Empat buah diberikan kepada Pengurus Adat.
c.       Sementara Orang Tua yang menyembunyikan perbuatan terlarang tersebut mendapat ganmjaran 10 buah.




-54-



B.      ADAT BETUNANG

1.       Menurut  Hukum Adat Dayak Kantu’ dalam Perubahan ke II ( 1 Januari 1995 ) berbunyi sebagai berikut :
a.      Sebelum melangsungkan Perkawinan, maka pihak laki- laki harus menyerahkan “Mas Kawin” kepada pihak Perempuan sebesar 40 buah, selain itu pihak laki- laki masih dibebankan “Tanda Tunang” sebagai bukti hubungan pertunangan sah berupa : “ Satu betuk cincin ( Cincin Emas belah rotan ) dan seperangkat Pekaian Perempuan ( dua belas Janis )”
b.      Barang siapa dangan sengaja membatalkan pertunangan atau membuat batal tunang  dikenai sanksi hukum 15 buah, dengan ketentuan sebagai berikut :”  Batalnya pertunangan akibat dari pihak laki- laki, maka tanda tunang berikut mas kawin tidak dapat dikembalikan, akan tetapi bila batalnya pertunangan atas perbuatan pihak Perempuan maka tanda tunang dan mas kawin wajib dikembalikan, dan dapat dihukum dua kali lipat tanda tunang”.
c.       Melakukan pertunangan lebih dari satru kali dengan orang yang berbeda, sementara yang pertama belum dibatalkan, maka yang bersangkutan dikenai  sanksi hukum sebesar 30 buah.

2.       Tinjauan Hukum Adat yang ke III,  tanggal 6 Mei 2001, menyatakan :
a.       Batal ( Balang ) tunang karena tabiat pihak Perempuan lalu tanda tunang tidak dikembalikan kepada Pihak laki- laki, maka pihak Perempuan dikenai sanksi hukum dua kali lipat dari hukum baling tunang, yaitu : 15 buah X 2 = 30 buah, ditambah lagi 15 buah, berarti pihak  Perempuan menanggung denda sebesar 45 buah dan 30 % dari sanksi itu deberikan kepada pengurus adat.
b.      Betunang lebih dari satu kali, dan yang bersangkutan masih terikat pertunangan dengan orang  pertama, mendapat sanksi hukum adat 30 buah.
c.       Betunang dengan orang lain yang sedang betunang, yang disebut “Berangkat Tunang” dan yang bersangkutan mengetahui bahwa yang bersangkutan masih terikat poertunangan dengan orang lain maka sanksi huklum telah menghadang didepan hidungnya sebesar 40 buah.







-55-
3.       Dalam perubahan ke IV, menggaris bawahi :
a.       Sebelum melangsungkan acara Perkawinan, pihak laki- laki wajib menyerahkan “Mas Kawin” yang disebut “Pakaean” kepada pihak Perempuan sebesar 40 buah.
b.      Selain itu pihak laki- laki masih dibebankan tanda tunang berupa satu bentuk Cincin ( Cincin emas belah rotan ) seperangkat Pakaian Perempuan lengkap dan ongkos untuk “acara Pernikahan “ , sebagai tanda pertunangan sah.
c.       Seseorang yang dengan sengaja membatalkan pertunangan atau membuat batal pertunangan dikenai sanksi hukum 15 buah dan 30 % nya diserahkan kepada pengurus Adat.
d.      Batalnya pertunangan disebabkan oleh perbuatan pihak Laki- laki, tanda tunang atau Pakaen tidak dikembalikan dan mendapat sanksi hukum Adat 10 buah, akan tetapi bila Pihak Perempuan yang mebuat ulah sehingga pertunangan batal maka tanda tunang  atau Pakaen dan ongkos untuk Pesta Nikah dikembalikan, serta mendapat sanksi hukum Adat sebesar 10 buah.
e.      Melakukan pertunangan lebih dari satu kali sementara masih terikat dengan tunang yang lama, sanksi hukum adat 50 buah sudah menunggu didepan hidung.
f.        Melakukan pertunangan dengan  seseorang yang sedang terikat pertunangaan dengan orang lain, disebut “PERANGKAT TUNANG”, kepada yang bersangkutan wajib membayar Hukuman 100 buah.
g.       Menikah sementara waktu ( Kawin Kontrak ), Dayak Kantu’ menyebutnya “Ngabaeh Ruang Bileik”, sudah pasti sanksi Hukum Adat  100 buah harus dipikulnya, dan ditambah “Supan” penurrus Adat 10 buah.

C.      ADAT KAWIN LEBIH DARI SATU

     Adat- istiadat dan budaya Suku Dayak Kantu’ dengan tegas meolak sistem yang menganut perkawin “Poligami dan poliandri”  (Kawin lebih dari satu orang); maka hukum adat menitipkan pesan :




-56-





1.       Hukum Adat, Perubahan ke II, menyatakan sebagai berikut;
a.       Seseorang yang dengan sengaja melakukan perkawinan lebih dari satu, baik menurut Adat, Agama yang dianutnya, atau menurut Hukum Pemerintah Republik Indonesia, yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi hukum 100 buah. Kecuali istri yang pertama menyetujui atau menurut alasan- alasan  lain yang dapat dibenarkan oleh Pengurus Adat. Yang berhak atas harta benda, baik yang bergerak maupun tak bergerak adalah istri peretama.
b.      Sebagai akibat kawin lebih dari satu, sehingga mengakibatkan perceraian dengan istri pertama, maka hukum tambahan  50 buah sudah menjadi tanggungannya.
c.       Bila waktu cerai istri dalam keadaan hamil, maka laki- laki itu berkewajiban menanggung biaya bersalin, serta biaya hidup anak sampai dewasa ( berusia 18 tahun) yang ditaksir Adat pada saat itu Rp.10.000,00/ hari.

2.       Pada Perubahan ke IV , menegaskan :
a.       Seseorang yang melakukan pernikahan lebih dari satu kali ( menganut paham Poligami atau Poliandri ) serta masih terikat dalam perkawinan yang sah, sanksi Hukum Adat yang harus dipikulnya 150 buah; sementara yang berhak atas harta benda baik yang bergerak maupun tidak bergerak adalah suami atau istri pertama, artinya yang bersangkutan tidak mendapatkan apa- apa dari harta bendanya ( Lepaeh dirumah, lepaeh ditanah, angat selai sepinggang).
b.      Akibat Kawin lebih dari satu orang  sehingga tercadi perceraian padahal suami/istri sedang dalam keadaan sakit, maka  sanksi hukum 150 buah sudah menanti.

D.      ADAT NGAMPANG

     Ngampang: adalah seorang gadis atau janda yang hamil diluar nikah,seorang Perempuan mengakui ( Ngambo’ ) pernah berhubungan badan dengan  seorang laki- laki, baik laki- laki itu masih bujang maupun sudah duda dan sudah belepaeh balu dan laki- laki itu mengakui perbuatannya dan mau mengawini Perempuan itu, maka kehamilan itu tidak lagi disebut “Ngampang”. Berikut ini Adat Ngampang :




-57-
1.       Dalam perubahan ke II Hukum Adat Dayak Kantu’menjelaskan :
a.      Ngampang  adalah sebutan kepada wanita yang hamil diluar nikah yang sah,  baik menurut adat, agama dan Hukum Negara,  perbuatan ini harus ditebus dengan “NYENKELATN TANAH AEI’ “ untuk mengembalikan kesimbangan alam dengan babi 3 ekor ( beratnya tidak boleh kurang dari 35 kg ), dengan tata cara sebagai berikut: “Satu ekor dipotong diair, untuk nyengkelatn air, satu ekor dipotong  ditanah (untuk nyengkelatn tanah), satu ekor dipotong dirumah ( untuk nyengkelatn rumah ), dan Babi- babi yang suidah dipotong tersebut tidak boleh dimakan”.
b.      Seseorang menghamili anak gadis orang,  atau janda dan tidak mau menikahinya, perbuatan tersebut dinamakan “PENIPUAN” yang bersangkutan dikenakan sanksi hukum 125 buah. Selain itu yang bersangkutan masih dikenakan biaya bersalin dan segala akibatnya, dan masih dikenakan biaya anak dalam kandungan dan setelah lahir sampai usia 5 tahun.  ( Saat itu / hari Rp.3000,00).
c.       Menghamili seseorang  gadis atau janda diluar perkawinan yang sah dalam keadaan cacat tubuh atau sakit, dan anak dibawah umur  ( 18 tahun kebawah ) didenda hukuman adat dua kali lipat dari hukuman ngampang biasa.
d.      Seorang gadis atau Janda   telah hamil diluar nikah, dalam tenggang waktu  enam bulan dari umur  kehamilannya, tidak dapat mengakui siapa yang seharusnya bertanggung jawab (Ngabu’/Ngaku’ urakng ) atas kehamilannya, perempuan itu harus menanggung sendiri segala akibatnya, dan ngampang tersebut dapat disamakan dengan “Ngampang mali”, sanksi hukumnya dua kali lipat dari Ngampang biasa, yaitu sebanyak enam ekor babi.
e.      Orang tua yang menyembunyikan kehamilan anaknya, atau menyatakan anaknya tidak hamil, setelah dibuktikan ternyata hamil,  maka besaran sanksi hukum  yang dipikulnya 10 buah.

2.       Dalam perubahan ketiga, menitipkan pesan : “ Bila laki- laki tidak mau bertanggung jawab ( kawin)yang mengakibatkan  hamilnya Perempuan, maka  sanksi hukum adat 125 buah sudah menjadi bebannya, biaya selama kehamilan ( 9 bulkan 10 hari ) serta ongkos bersalin dengan segala akibatnya  juga sudah menjadi tanggung jawabnya berikut biaya hidup anaknya sampai
berusia 5 tahun (  Perubahan ke III  menaksir Rp.3.000,00/ hari ).


-58-


3.       Perubahan ke IV; mengatakan :
a.        Seorang laki- laki yang menghamili Perempuan diluar Nikah, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatannya, maka yang bersangkutan sudah dipastikan memikul sanksi Hukum Adat sebesar 200 buah, ditambah biaya selama kehamilan dan biaya bersalin serta akibatnya; tidak saja sampai disitu dia diwajibkan menanggung biaya hidup anaknya sampai 5 tahun ( ditaksir Rp 5 juta ).
b.      Seseorang menghamili Perempuan cacat pisik maupun mental, atau anak dibawah umur (16 tahun kebawah ), sudah pasti sanksi hukum 400 buah sudah mengitai, termasuk biaya bersalin dengan segala akibatnya dan biaya hidup anak Rp.4 juta.
Babi yang dipergunakan untuk bayar Adat ngampang ditanggung bersama  antara pihak laki- laki dan pihak Perempuan.
E.       ADAT SARAK.

     Cerai dalam bahasa Dayak Kantu’ disebut “Sarak” ; berarti putus hubungan suami – istri.  Kedua belah pihak mempunyai hak yang sama untuk menceraikan. Pada umumnya yang sering terjadi memang suami yang menceraikan istirnya, akan tetapi dengan alasan yang kuat istri juga boleh menceraikan suami; misalnya karena selingkuh  atau karena malas. Berikut “Adat dan Budaya Dayak Kantu’ “:

1.       Dalam perubahan ke II, Hukum Adat Dayak Kantu’, mengatakan :
a.       Seseorang dengan sengaja menyebabkan hubungan perkawinan putus, maka dapat didenda sebesar  50 buah.
b.      Seseorang yang menceraikan istiri/suaminya dalam keadaan sakit, sedangkan sakit tersebut masih bisa disembuhkan, maka pihak yang menceraikan dapat didenda 100 buah.
c.       Seorang Suami menceraikan istrinya dalam keadaan hamil, maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi hukum 70 buah, ditambah biaya persalinan anaknya dan biaya hidup anaknya sampai umur 16 tahun; kecuali ada ketentuan lain.

-59-


d.      Perceraian yang bermula dengan suatu perselisihan dan menyebabkan seseorang menjadi luka, maka hukum adat cerai ditambah dengan biaya pengobatan serta biaya- biaya lainnya ditambah dengan hukum adat Pemali, pemampul darah dan lain sebagainya  dikenakan bagi yang bersangkutan; kecuali perbuatan itu semata- mata untuk membela diri.

2.       Dalam Perubahan ke IV, mempertegas :
a.       Seseorang dengan  sengaja menyebabkan perkawinan yang sah baik menurut hukum adat, agama maupun menurut Hukum positif menjadi putus, sanksi hukum sebesar 50 buah sudah harus ditanggung.
b.      Demikian pula bila yang diceraikan dalam keadaan sakit, tetapi sakitnya masih bisa disembuhkan maka yang menceraikan dikenakan denda sebasar 100 buah.
c.       Seorang suami menceraikan istrinya dalam keadaan hamil, maka yang bersangkutan dikenakan sanksi  hukum 70 buah ditambah dengan  biaya hamil dan biaya bersalin dengan segala akibatnya, termasuk biaya hidup anaknya sampai dewasa (berusia 16 tahun ).
d.      Suatu perceraian yang berawal dari percecokan, sehingga mengakibatkan  seseorang terluka atau cacat, maka yang membuat cacat atau luka tersebut diwajibkan menanggung biaya berobat, pemampul darah dan pemali.
e.      Bila pihak ketiga atau pihak lain yang menyebabkan perceraian, maka yang bersangkutan dikenai sanksi hukum adat 60 buah.

F.       ADAT  BUTANG BEDUSA (PERZINAHAN )
     L H. Kadir ( 2016 ) Mempertagas perzinahan sebagai berikut “ Perkawinan seperti Jadi Mali, Berangakat Tunang, Betaban, Naban rari, dan Berangat, tetap dianggap perzinahan meskipun para pelaku telah membayar hukum adat sesuai ketentuan”. Hukum yang telah mereka bayar bukanlah menghapus cela dan aib yang telah mereka buat, tetapi sebagai sengkelatn Menua; artinya membersihkan atau menyucikan kembali negeri (Desa ) dari noda  sehingga terhidar dari mara petaka.

     Adat Masyarakat Dayak Kantu’ memandang perkawinan denga n cara demikian sebagai sebuah noda yang tidak terhapuskan, maka sengat dilarang.  Oleh karenanya perkawinan seperti tersebut diatas sangat jarang terjadi,  meskipun  pernah  terjadi   dalam kehidupan Masyarakat Dayak Kantu’.


-60-

     Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukuman yang dijatuhkan tidak berarti membenarkan perkawinan semacam ini, tetapi untuk menghindari hukuman yang lebih berat, seperti hukuman tampun  ( ditusuk dengan bambu runcing sampai mati ) bagi mereka yang kawin dalam status jadi mali.(Lih :  LH Kadir :2016 :126 ) Perubahan Hukuman  (maksudnya sanksi adat ) menjadi denda secara materi baru terjadi tahun 1927 ( Putusan Rapat 10 Nopember 1927). Berikut pesan- pesan sanksi Adat secara materi dalam adat “Butang Bedusa” :

1.       Perubahan ke II, Hukum Adat Dayak Kantu’, menyatakan :
a.       Seseorang yang bersetubuh dengan orang lain yang bukan suami/ Istirnya, dimana salah satu pihak atau kedua belah pihak masih punya sumai/ istri, maka yang bersangkutan masing- masing dikenai sanksi hukum 80 buah. Dengan ketentuan: “ Hukum Perempuan sebagai pelaku seperempat diberikan kepada keluarga terdekat, seperempat diberikan kepada Pengurus Adat sesuai dengan tingkatannya, Sedangkan hukuman laki- laki sebagai pelaku, seperempat diberikan kepada pengurus Adat, seperempat diperuntukan kas desa sedangkan dua perempat diberikan kepada orang tua masing- masing”.
b.      Akibat dari butang bedusa tersebut, lalu disertai dengan tindakan perceraian, maka masing- masing pihak diwajibkan menanggung  sanksi hukum sebesar 60 buah dengan rincian sebagai berikut : “ Tiga perempat dari hukuman pokok diberikan kepada pihak yang dirugikan (Suami/ Istirnya), sementara seperempat diberikan kepada Pengurus Adat sesuai dengan tingkat penyelesaiannya”
c.       Apa bila kedua belah pihak  (Laki- laki dan Perempuan ) sama- sama masih terikat perkawinan dengan orang lain, maka masing- masing mendapat sanksi hukum sebesar 120 buah, dengan rincian sebagai berikut : “ 180 buha diberikan kepada kedua belah pihak yang dirugikan yang masing- masing mendapat 90 buah, 40 buah diberikan kepada orang tua atau yang dapat disamkan untuk itu yang masing- masing mendapat 20 buah, 10 buah diberikan kepada Pengurus Adat sedangan sisanya (10 buah ) diperuntukan kepada kas desa”.

2.       Menurut Perubahan ke III, bila keduanya masih terikat suami/istri,  keduanya dikenai sangsi hukum dengan besaran 240 buah.

-61-


3.       Dipertegas dalam Perubahan  ke IV , persetubuhan yang bukan pasangannya  baik salah satu maupun keduanya masih terikat perkawinan disebut “BUTANG BEDUSA”,
a.       Para pihak dikenai/ masing- masing pihak dikenai sanksi hukum 100 buah, dengan ketentuan sebagai berikut : “Hukuman pelaku perempuan tiga perempat diberikan kepada keluarga terdekat, seperempat menjadi milik Pengurus Adat. Sedangkan hukuman dari Pelaku Laki- laki seperempat diberikan kepada Pengurus Adat, seperempat menjadi milik kas adat, sisanya diberikan kepada pihak orangtua kedua belah pihak.
b.      Bila perbuatan tersebut mengakibatkan perceraian, maka masing- masing pihak dikenakan sanksi dengan besaran 160 buah, dengan ketentuan sebagai berikut : “ tiga perempat diberikan kepada pihak yang  dirugikan, seperempat diperuntukan bagi pengurus adat”.
c.       Bila keduanya masih terikat perkawinan yang sah ( menurut adat, agama yang dianutnya maupun menurut hukum Negara Republik Indonesia) maka masing- masing pihak dikenakan sangsi Hukum dengan besaran 240 buah, yang ketentuan sebagai berikut : “ yang dirugikan masing- masing mendapat 180 buah, orang tua masing- masing mendapat 40 buah dan pengurus Adat dn kas Adat masing- masing mendapat 20 buah”. Ketentuan ini berlaku apabila keduanya sama- sama bercerai, tetapi kalau yang bercerai hanya salah satu pihak saja, maka yang tidak bercerai tidak berhak menerimanya, sanksi hukum tersebut diberikan kepada orang tua atau keluarga terdekat.
d.      Bila pihak yang dirugikan (Suami/ Istri ) atas perbuatatan tersebut minta cerai, sedangkan pelaku masih ingin mempertahankan rumnah tangganya; maka pikah yang dirugikan tidah wajib membayar adat – pemuai, mengingat alasannya cukup kuat dan dapat dibenarkan, yaitu “Butang Bedusa/Pezinahan”.




-62-








G.      ADAT BERANGKAT TULANG

    Berangkat Tulang atau Perangkat Tulang disebut juga “Berangkat Balu”, ini terjadi apabila seorang Perempuan/ laki- laki yang suami/ Istirnya meninggal dunia, menikah sebelum pelepas ( Pelepaeh ) masa balunya oleh keluarga ( masa balu jaman dahulu bisa bertahun- tahun, sekarang  dengan mempertimbangkan kemanusiaan  tenggang waktu masa balu hanya dibatasi 6 bulan dari meninggal suami/ istrinya ); sedangkan Adat pelepaeh Balu adalah sebagai berikut : “ Satu Gantang ( Sekulak ) beras, satu buah tempayan, sesingkap piring porselen, satu ekor ayam, satu (sepotong ) besi, dan satu gulung benanang ( warna Merah )”; berikut hukum Adat “Berangkat Tulang” : 

      Menurut Perubahan ke IV, Buku Adat “ KETENTUAN HUKUM ADAT DAN BUDAYA SUKU DAYAK KANTU’ “, menyatakan “ Perangakat/ Berangkat Tulang, atau Berangkat Balu  adalah sebutan bagi seorang Janda/Duda yang suami atau istrinya meninggal dunia dan menikah lagi dalam batas waktu sebelum enam bulan, kepada yang bersangkutan dikenakan sanksi hukum 60 buah”.

H.     ADAT PEMERKOSAAN

     Pemerkosaan, adalah perbuatan memaksa seseorang untuk melampiaskan nafsu birahinya kepada seseorang yang bukan pasangannya, dengan cara mengancam atau cara- cara yang dapat disamakan dengan itu .

1.       Dalam Perubahan ke II, mengaturnya sebagai berikut :
a.       Seseorang yang melakukan percobaan untruk memaksa orang lain bersetubuh, dapat didenda  dengan Hukum Adat sebesar 30 buah.
b.      Sedangkan percobaan Pemerkosaan anak- anak/ dibawah umur, dikenakan sanksi hukum 60 buah.
c.       Memperkosa anak- anak, pelaku dikenakan saksi hukum 120 buah, sedankan pada orang dewasa palaku dapat dikenakan sanksi hukum 60 buah.
d.      Pemerkosa terhadap orang yang tidak berdaya ( Seperti : mabuk, sakit jiwa atau yang dapat disamakan dengan itu ) pelaku dikenakan sanksi hukum 90 buah.
-63-



2.       Pada perubahan ke III, Adat Dayak Kantu’ menyatakan :
a.       Percobaan Pemerkosaan anak- anak/ dibawah umur 16 tahun, pelaku dikenai sanksi Adat 120 buah, sedangkan pada  perempuan dewasa, pelaku didenda dengan besaran 60 buah.
b.      Bila memperkosa seseorang Perempuan yang sudah tidak berdaya, didenda dengan hukum Adat sebesar 90 buah.
c.       Bila memperkosa anak dibawah umur maka dikenakan hukum  adat 120 ditambah dengan hukum ngancam sebesar (ngancam dengan kata- kata sebesar 5 buah, ngancam dengan benda tumpul 10 buah, ngancam dengan barang tajam 20 bua ); bila memperkosa perempuan dewasa diancam dengan hukuman 60 buah ditambah hukum  ngancam.

3.       Adat Pemerkosaan ini dipertegas ,  dalam Perubahan ke IV , yang berbunyi sebagai berikut :
a.       Percobaan Pemerkosaan anak- anak (dibawah  16 tahun ) pelaku didenda/ mendapat sanksi hukum 100 buah, kalau sudah memperkosa 400 buah.
b.      Percobaan Pemerkosaan kepada orang dewasa mendapatkan sanksi hukum 60 buah, kalau sudah memperkosa 300 buah.
c.       Memperkosa seseorang yang sudah tidak berdaya ( Misalnya Mabok, meninggal dunia, pingsan, dan lain yang dapat disamakan dengan itu ) pelaku dikenai saksi hukum 350 buah.
d.      Bila  percobaan memperkosa atau memperkosa sambil mengancam maka ditambah hukum Ngancam ( yang besarannya sebagai berikut : dengan kata- kata 10 buah, dengan benda tumpul 20 buah, dengan benda tajam 40 buah, dengan senjata api 60 buah ).
e.       Biaya pengobatan korban ditanggung sepenuhnya oleh pelaku, dan apabila korban sampai meninggal dunia maka ditambah dengan  “Pati Nyawa”.

I.        ADAT BUTANG RANGKAI

     Berzinah dengan istri/ suami orang lain disebut “BUTANG BEDUSA” Jaman dahulu kedua belah pihak mendapatkan sanksi hukum Rp.25.00 jadi jumlah hukum yang harus dibayar Rp.50,00 (L H Kadir ).


-64-

     Lalu “BUTANG RANGKAI”  itu sendiri adalah perbuatan percobaan melakukan “PERZINAHAN”, percobaan tersebut tidak terlaksana karena sudah diketahui oleh orang lain.

1.       Ketentuan Hukum Adat  Dayak Kantu’ dalam perubahan ke II menggaris bawahi “ Seseorang yang melakukan perbuatan  butang rangkai mendapat sanksi hukum 20 buah, kalau kedua- duanya sama- sama mau melakukan perbuatan tersebut  maka kepada mereka dikenai sanksi hukum sebesar 40 buah”.

2.       Hal tersebut dipertegas dalam perubahan ke IV; “Siapa yang melakukan perbuatan butang rangkai / percobaan perzinahan dikenai sanksi hukum 40 buah, kalau kedua belah pihak sama- sama mau melakukan percobaan perzinahan dikenai sanksi hukum 80 buah”.


J.        ADAT SALAH BASA

     Salah basa adalah suatu perbuatan atau prilaku dalam pergaulan sehari- hari yang melampaui batas- batas kewajaran menurut Adat- istiadat Dayak Kantu’, misalnya: Berbicara ( nobrol ) berduaan dengan istri/ suami orang lain tanpa ada orang ketiga, biasanya sudah muncul kecurigaan akan hubungan gelap. Sekitar tahun 1927 sanklsi hukum  sebesar Rp 5,00 ( Lih: L H.  Kadir 2016).
1.       Sanksi hukum salah basa pada perubahan ke II, ditetapkan sebasar 2 buah.
2.       Lalu dalam perubahan ke III hukum salah basa menjadi 10 buah.
3.       Sedangakan dalam ketentuan ,  peninjauan Hukum Adat ke IV, tidak ada perubahan.

K.      ADAT KESUPANAN

     Kesupanan adalah adat “Sopan santun atau tata karma” dalam kehidupan masayarakat Dayak Kantu’ :

1.       Dalam Perubahan Hukum Adat ke II,  Adat Kesupanan dipatok dengan besaran 4 buah.
2.       Lalu dalam perubahan ke III, meningkat menjadi 10 buah.


-65-






L.       ADAT NGANCAM
    Masyarakat Hukum Adat Suku Dayak Kantu’ memberlakukan sanksi “Hukum Ngancam” beberapa tingkatan, yaitu :
1.       Perubahan ke II, menggaris bawahi  Hukum Adat Ngancam  sebagai berikut : Seseorang yang mengancam dengan kata- kata  sebesar 5 buah, bila menggunakan benda tumpul 10 buah, apa bila memakai benda tajam dikenai sanksi hukum 20 buah.

2.       Dalam  Perubahan ke IV,  menegaskan :
a.       Melakukan ancaman dengan kata- kata, atau yang dapat disamakan dengan  itu dikenai sanksi hukum 10 buah,
b.      Sedangkan mengancam dengan benda tumpul atau yang dapat disamakan dengan itu, didenda 20 buah.
c.       Bila menggunakan benda tajam 40 buah.
d.      Tapi bila menggunakan senapan api atau yang dapat disamakan dengan itu dikenai sanksi hukum sebesar 60 buah.

M.    ADAT PATI NYAWA

     Pati nyawa adalah bentuk sanksi hukum Adat Dayak Kantu’ terhadap perbuatan seseorang, sampai meninggal dunia  orang lain dengan uraian sebagai berikut :

1.       Perubahan ke II, menitipkan pesan :
a.       Suatu perbuatan yang menyebabkan meninggalnya orang lain, dapat dikenai sanklsi Hukum sebesar 240 buah, ditambah biaya atau ongkos yang berkaitan dengan korban.
b.      Demikian juga kalau perbuatan yang mengeluarkan darah  yang cukup parah bagi orang lain, sehingga memerlukan perawatan yang lebih intensif, dapat dikenai  sanksi hukum sebesar setengah pati nyawa yaitu dengan  besaran 120 buah, dan ditambah ongkos berobat bagi korban  dengan segala akibatnya.

-66-
c.       Bila seseorang atas perbuatannya sehingga menyebabkan orang lain terganggu kegiatannya sehari- hari dapat dikenai sanksi hukum 60 buah, yang disebut dengan “PAMPAEH” . Akan tetapi kalau perbuatan tersebut mengeluarkan darah namun tidak mengganggu kegiatannya sehari- hari maka sanksi hukum 30 buah sudah menghadang didepan hidung.
d.      Perbuatan yang tidak disengaja sehingga menyebabkan seseorang keluar darah, akan tetapi tidak berakibat fatal, maka yang bersangkutan dikenai sanksi hukum 1 buah yang disebut “PEMAMPUL DARAH”, hukuman tersebut dapat diganti dengan uang.
e.      Bila seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja sehingga menyebabkan orang lain  terluka/ mengeluarkan darah bahkan sampai meninggal dunia  maka sanksi berat dikenakan kepada pelaku dengan besaran 480 buah. Sedangkan Pengurus Adat setempat dapat menuntut “Hukum Pemali”.
f.        Pembunuhan berencana dapat dikenai sanksi hukum 600 buah, sebelum diserahkan kepada Pengadilan Negeri Republik Indonesia untuk mendapatkan hukuiman positif.

2.       Hal ini dipertegas dalam Perubahan ke IV,
     Pati Nyawa adalah bentuk perbuatan seseorang yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, apa bila dilakukan dengan sengaja dapat dikenai sanksi hukum 1,500 buah, dengan rincian sebagai berikut :
a.      Satu payah Jala, pengganti rambut, besarannya  50 buah.
b.      Satu buah telaga,  pengganti mata, dengan besaran 60 buah.
c.       Satu buah Rangkei’, pengganti gigi, dengan besaran 75 buah.
d.      Satu singkap Par ( Napan Kuningan ), pengganti telinga, dengan besaran 70 buah.
e.       Satu buah Sengkuna, Pengganti kepala, dengan besaran 100 buah.
f.         Satu batang besi Baku’, penggangti tulang, dengan besaran 15 buah.
g.      Satu Pucuk Senapan, pengganti tangan, dengan besaran 80 buah.
h.      Satu pucuk Bedil, pengganti Paha, dengan besaran 150 buah.
i.         Satu Buah Gong keliling delapan, pengganti tempat duduk, denang besaran 120 buah.
j.        Satu buah Gong keliling Sembilan, pengganti suara, dengan besaran 150 buah.


-67-
k.       Satu Buah Ntali Ujan, pengganti  nafas, dengan besaran 90 buah.
l.         Satu buah gelegiau, pengganti badan, dengan besaran 50 buag.
Ditambah dengan 20 singkap piring Porselen, serta menanggung biaya pemakaman dinilai dengan 100 buah.

Apabila dilakukan  dengan “tidak sengaja” maka pelaku hanya didenda adat, dengan besaran 900 buah, lalu dtambah dengan “Menaga” ( Penganti Badan ) yang besarannya dinilai  900 buah,  serta dibebankan ongkos/ biaya pemakaman dengan segala akibatnya.
         Hukuman Adat Pati Nyawa, hanya berlaku ditempat kejadian perkara ( TKP )  dan tidak bisa dihukum dengan hukum Adat dari dua suku yang berbeda.  Pengurus Adat di TKP dapat menuntut Pemali kampung sesuai dengan tingkat “Pemali” nya.
     Sedangakan “PAMPAEH” adalah hukum  terhadap seseorang yang atas perbuatannya  menyebabkan orang lain menjadi cacat, dengan uraian sebagai berikut :
     Apabial dilakukan dengan “ TIDAK SENGAJA” maka pelaku dikenai sanksi hukum sebesar 60 buah,  serta menanggung suluruh biaya pengobatan/perawatan; tetapi apabial dilakukan dengan sengaja maka pelaku dikenai sanksi  hukum dengan besaran 120 buah, dan menanggung seluruh biaya perawatan.
     PEMAMPUL DARAH, adalah hukuman terhadap seseorang yang karena perbuatannya mengakibatkan orang lain terluka dan mengeluarkan darah, dengan uraian sebagai berikut : “ Apabila  dilakukan dengan tidak sengaja dan korban tidak terganggu kegiatannya sehari- hari, maka pelaku dikenai sanksi 1 buah serta menanggung biaya perawatan, tetapi apabila dengan sengaja maka sanksi 60 buah sudah pasti dipikulnya”
N.     ADAT MENGGUGURKAN KANDUNGAN ( MERUK )

a.       Seseorang yang dengan sengaja melakukan pembunuhan janin (Bayi ) dalam kandungan (Meruk ) maka pelaku dikenakan sanksi hukum 250 buah, dan bagi yang ngampang ditambah hukum ngampang.
b.      Yang membantu melakukan perbuatan “menggugurkan kandungan ( meruk)” sanksi hukum yang menimpanya 120 buah.



-68-
       Ada beberapa Hukum Adat yang sepertinya tidak ada sangkut- pautnya dengan Adat- istiadat  dan Budaya Perkawinan  Suku Dayak Kantu’, misalnya “Adat Pati Nyawa”, tetapi bila ditelaah dengan cermat hukum Adat tersebut sangat erat kaitanya terutama pada “ADAT PELEPAEH BALU” (  dalam adat Berangkat Tulang)  yang artinya seseorang janda atau duda yang kawin sebelum habis tenggang waktu Pelepaeh Balu atau Adat Pelepaeh Balu belum dilaksanakan.
     Hukum Adat Dayak Kantu’ sengaja penulis,  tulis dengan tiga perubahan, ini bukti bahwa “ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA DAYAK KANTU’ “ berkembang mengikuti perubahan   jaman, dinamis dan terbuka.
















-69-

NARA SUMBER :
1.       DAVID, Pemuka Masyarakat Desa Kirin Nangka, Kecamatan Embaloh Hilir.
2.       ANTONIUS SURING, Temenggung Kantu’ Kecamatan Empanang, Desa Nanga Kantuk.
3.       UMPI UGUN, Temenggung Kantu’ Kecamatan Bika, Desa Bika Jabay.
4.       SENAPUNG, Ketua Adat Kantu’ Bika Nazareth, Kecamatan Bika.
5.       JUNAIDI INUK, Pemuka Masyarakat Desa Nanga Kantuk.































-70-




REFERENSI :
1.       L H Kadir;  Legenda, Adat, dan Budaya DAYAK KANTUK serta sejarah Kebangkitan DAYAK
                   KALIMANTAN BARAT, 2016.
2.       -------------; KETENTUAN HUKUM ADAT DAYAK KANTU’ DALAM Perubahan Ke II, 1995.
3.       -------------; BUKU ADAT DAYAK KANTU’, Depali’/deapeh ke III, 2001.
4.       -------------; KETENTUAN HUKUM ADAT DAN BUDAYA  SUKU DAYAK KANTU’, Dalam perubahan
                      Ke IV, 2006.
5.       BA,SH,MA, Yakobus E. Frans Layang, Kumpulan Tulisan, memperingati 100 tahun Gereja Katholik
                     Banua Martinus, 2014
6.       -------------; ORANG KANTU’  DIBIKA KECAMATAN MANDAY  KAPUAS   HULU,  Perpustakaan
                     Sejarah.
7.       Yusriadi     ; BAHASA DAN MASYARAKAT KANTUDI  ULU KAPUAS, KALIMAMTAN BARAT, 2008.
8.       -------------; PEMERINTAH KABUPATEN  KAPUAS HULU  KABUPATEN KONSERVASI,
9.       -------------; SINAR HARAPAN ( Harian ) Ruang JELAJAH  ADAT NUSANTARA, Jumat 12 Juli 2013.
10.   -------------; DAYAKOLOGI ( Bulanan ); UPACARA JADI SAUMP, PERKAWINAN ADAT DAYAK
                    KANTU’, edisi Reguler, No: 84 Th Xi, Agustus 2002.
11.   ------------; LP3S – Institut of Dayakology Research and Development, KEBUDAYAAN DAYAK,
                    Aktualisasi dan Transformasi.



                                                                                                                        















-71-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages