ADAT- ISTIADAT – BUDAYA
DAN TATA CARA JADI
SAUMP
SUKU DAYAK KANTU’
KAPUAS HULU
KATA PENGANTAR
-ii-
DAFTAR ISI
Halaman
|
|||
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….
|
|||
RANGKUMAN ADAT- ISTIADAT - BUDAYA DAN TATA CARA JADI SAUMP SUKU
DAYAK KANTU’ KAPUAS HULU……………………………
|
|||
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..
|
|||
BAB I
|
:
|
PENDAHULUAN
|
|
A.
|
LATAR BELAKANG……………………………………………………………………….
|
||
B.
|
SEKILAS TENTANG MANAJEMEN RUMAH PANJAI…………………….
|
||
C.
|
TUJUAN PENULISAN …………………………………………………………………
|
||
D.
|
SUMBER INFORMASI…………………………………………………………………
|
||
E.
|
METODOLOGI PENULISAN………………………………………………………..
|
||
F.
|
ORGANISASI PENULISAN……………………………………………………………
|
||
BAB. II
|
:
|
PERAGA ADAT, ALAT DAN BAHAN DALAM ADAT- ISTIADAT
DAN BUDAYA PERKAWINAN DAYAK KANTU’ KAPUAS HULU
|
|
A.
|
JAMAN DAHULU…………………………………………………………………………
|
||
B.
|
JAMAN PERUBAHAN – PEMBAHARUAN……………………………………
|
||
BAB. III
|
:
|
JADI SAUMP DALAM SEJARAH KEBUDAYAAN SUKU DAYAK
KANTU’
|
|
A.
|
KRITIK SOSIAL……………………………………………………………………………..
|
||
B.
|
KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT DAYAK KANTU’
|
||
*.
|
Legenda Bintangmuga dan Ruaimana………………………………………..
|
||
C.
|
KEPERCAYAAN DAN AGAMA
|
||
*.
|
Sistem kepercayaan Nenek- moyang dalam Adat-
istiadat, tata cara Perkawinan – Jadi Saump………………………………………………….
|
||
D.
|
PENDIDIKAN DAN PEMBAURAN……………………………………………….
|
||
BAB.IV.
|
:
|
BAGAIMANA ADAT- ISTIADAT DAYAK KANTU’ MENYKAPI
ADAT PERKAWINAN
|
|
A.
|
SIKAP UMUM ORANG DAYAK KANTU’……………………………………….
|
||
B.
|
URAIANNYA
|
||
1.
|
Nguang Urakng…………………………………………………………………………..
|
||
2.
|
Budaya dan Adat Jadi Saump………………………………………………………
|
||
a.
|
Bepinta’ – betanya’/ Bepekat…………………………………………………….
|
||
b.
|
Hari Pertunangan……………………………………………………………………….
|
||
c.
|
Jenis Perkawinan……………………………………………………………............
|
||
d.
|
Tata cara Jadi Saump………………………………………………………………….
|
||
*.
|
Alat dan Bahan yang diperlukan…………………………………………………
|
||
*.
|
Perahu/ Perau Rundai……………………………………………………………….
|
||
*.
|
Betekar……………………………………………………………………………………….
|
||
*.
|
Kedua Mempelai duduk bersanding………………………………………….
|
||
*.
|
Bekitau – Bebiau………………………………………………………………………..
-iii-
|
||
BAB. V
|
:
|
ADAT- ISTIADAT MENGIRING HIDUP BERUMAH TANGGA
|
|
A.
|
ADAT NGUANG URAKNG…………………………………………………………..
|
||
B.
|
ADAT BETUNANG……………………………………………………………………….
|
||
C.
|
ADAT KAWIN LEBIH DARI SATU……………………………………………………
|
||
D.
|
ADAT NGAMPANG………………………………………………………………………
|
||
E.
|
ADAT SARAK……………………………………………………………………………….
|
||
F.
|
ADAT BUTANG BEDUSA/ PERZINAHAN……………………………………..
|
||
G.
|
ADAT BERANGKAT TULANG……………………………………………………….
|
||
H.
|
ADAT PEMERKOSAAN………………………………………………………………..
|
||
I.
|
ADAT BUTANG RANGKAI…………………………………………………………..
|
||
J.
|
ADAT SALAH BASA……………………………………………………………………..
|
||
K.
|
ADAT KESUPANAN…………………………………………………………………….
|
||
L.
|
ADAT NGANCAM……………………………………………………………………….
|
||
M.
|
ADAT PATI NYAWA…………………………………………………………………….
|
||
N.
|
ADAT MENGGUGURKAN KANDUNGAN (MERUK)……………………
|
||
NARA SUMBER…………………………………………………………………………..
|
|||
REFERENSI………………………………………………………………………………….
|
-iv-
RINGKASAN:
ADAT- ISTIADAT DAN
BUDAYA JADI SAUMP
SUKU DAYAK KANTU’
KAPUAS HULU
Pengaruh gereja Katholik didalam peradaban
Suku Dayak Kantu’ sangat besar, salah
satunya bisa dilihat dari tatanan Hukum Adat Perkawinan - Jadi Saump yang menganut “Perkawinan
Monogami”. Poliadri dan poligami
(kawin lebih dari satu ) sangat dilarang keras dalam Hukum Adat – Adat-
istiadat dan budaya Suku Dayak Kantu’.
Agaknya pengaruh gereja Katholik sangat
besar membuat tradisi “Nguang Urakng” ( Laki- laki yang tidur kepraduan Peremuan )
yang kerap diedintikan dengan seks bebas yang menyebabkan Perempuan hamil diluar nikah (Ngampang),
yang bersangkutan, keluarga serta keturunannya dikucilkan dari pergaulan
sehari- hari, setelah mendapatkan sanksi hukum adat.
Suku Dayak Kantu’ menyebut Perkawinan adalah “Jadi Saump” yaitu upacara Adat pernikahan, dengan
mengikat janji untuk setia dalam untung dan malang seumur hidup.
Dalam Adat Perkawinan Suku Dayak Kantu’ ,
calon suami – calon istri harus melewati tiga tahap, yaitu “ Bepekat- Bepinta’ Betanya”.
Betunang
dan Jadi Saump”. Sejak saat Betunang
seorang pemuka adat harus diundang untuk
hadir guna mengetahui pertunangan
telah dilaksanakan; sebab bila
dikemudian hari terjadi perselisihan “PEMUKA ADAT” dapat dan akan
membantu menyelesaikannya.
1. Pada
saat bepekat
– Bepinta’ Betanya’, orang tua
laki- laki dan orang tua perempuan ( Calon mempelai ) bertemu untuk saling
mengemukanan keinginan guna menikahkan
anaknya. Selanjutnya kedua belah pihak menetukan hari “PERTUNANGAN”nya.
2. Pada
hari “PERTUNANGAN” semua Perangkat Adat, mulai dari “Kebayan
, Patih, Komplet dan Temenggung” diundang untuk hadir.
Calon Suami ( Calon mempelai Laki- laki) menyerahkan “Mas
kawin” kepada Calon Istri ( Calon mempelai Perempuan), berupa :
a.
ZAMAN
DAHULU ; “ILUM ( Pinang – Sirih ), Selung ( Gelang Tembaga), Kain – Baju”.
b.
PERUBAHAN/
ZAMAN SEKARANG; “
Uang untuk biaya pernikahan, perhiasan emas sesuai kemampuan, sebentuk cincin ( Cincin emas belah rotan ) dilengkapi dengan satu
buah ceper ( Napan dari kuningan ) untuk pengkeras, satu singkap piring
porselen dan satu buah mangkok putih”.
-v-
c.
Karena satu dan lain hal, jika Pertunangan batal, mereka tidak luput dari sanksi Adat. Kalau
laki- laki yang mengingkari Pertunangan, maka sanksi adat berupa “ Hukum Adat Kampung, Hukum Adat Supan Orang
Tua, dan Hukum Adat Pengurus Adat serta mas kawin hangus”. Tetapi jika pihak perempuan yang membatalkan
Pertunangan, maka mereka dikenakan hukum Adat dan mas kawin dikembalikan.
3. Mungkin
karena sebagian besar pesebaran Suku
Dayak Kantu’ berada dibantaran Sungai – khususnya Sungai Kapuas, kebiasaan dalam
menjemput Calon Mempelai Perempuan ( Ngamei’ Bini ) mereka menggunakan Sampan
hias yang disebut dengan “PERAHU RUNDAI/ PERAU RUNDAI”, yang
dihiasi dengan kain tenun ikat khas Dayak Kantu’ yang disebut “Kepua’
Kumbu’ “Dayak Kantu’ menyebutnya “Ntambai” sejenis bendera
atau umbul- umbul. Kemudian pada saat acara Pernikahan - Jadi Saump; kedua mempelai duduk
bersanding diatas Tawaq (Gong besar )
yang dialasi dengan “Kepua’ Kumbu’ “, sementara Pengantin Perempuan mengenakan Kain
Bindu’ (Pakaian Adat Suku Kantu’ yang dihiasi dengan manik- manik dan
koin perak) lenkap dengan selendang ( Kepua’ Kumbu’) dengan Gental
( semacam ikat pinggang terbuat dari koin perak ) melilit dipinggang
dan dikepala terpatri Telujuk dari bulu Burung Ruai. Sedangkan mempelai Laki- laki mengenakan celana ( Serawar) Adat dengan Baju Adat Rompi lengkap dengan Mandau dipinggang dan dikepala
terpasang Tulujuk dari bulu Burung Ruai. Kaki mereka ( kedua mempelai )
menginjak Mandau yang dialasi dengan beras
sebagai Pengkeras (Pengeraeh Semengat).
4. Sebelum
Adat Jadi Saump dilaksanakan, Pemuka Adat memimpin acara - rapat adat ( Betekar) guna
menentukan Adat Pakaean ( Adat Perceraian ) dan Adat Pemuai ( karena salah satu
pihak melalaikan tanggung jawabnya terhadap keluarga).
5. Baru
kemudian Acara Jadi Saump dilakukan
dengan “BEKITAU” (Mengibaskan Ayam Kampung ) diatas
kepala kedua Pengantin. Pimpinan acara bekitau tidah harus Perangakat Adat atau
Manang, bisa juga
orang biasa yang masih punya Ayah dan Ibu. Ini menggambarkan jika mereka punya
anak, anak meraka tetap punya orang tua lengkap sampai dewasa. Selesai Bekitau
Ayam disembelih, darahnya ditadah/
ditampung didalam mangkok putih. Darah
Ayam tadi diedarkan kepada undangan
( Pengabang ) yang hadir, terutama orang- orang tua. Menurut
kepercayaan Suku Dayak Kantu’ “Jika darah ayam itu beku dan padat pertanda
pasangan akan hidup serasi sampai tua, bila darah Ayam itu menggelembung-
gelembung pasangan dipercaya akan tidak langgeng” . Selanjutnya darah
ayam tersebut disenkelatn ( dioleskan kedahi
kedua mempelai) pertanda sahnya Perkawinan – Jadi Saump. Ayam itu dimasak untuk dimakan bersama- sama
dengan tetamu (Pengabang ) yang hadir.
-vi-
BAB.I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKNG
Kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dengan
agama atau system kepercayaan. Kebudayaan suatu Bangsa sering melahirkan
kepercayaan tertentu. Disamping aspek- aspek relegius atau teologius,
kepercayaan juga mengandung aspek- aspek sosial kemasyarakatan, sehingga
kepercayaan mempunyai hubungan timbal-
balik dengan masyarakat.
Ini berarti kepercayaan dan agama
mempengaruhi masyarakat, sebaliknya masyarakat mempengaruhi kepercayaan dan
agama.
Apabila pandangan semacam itu dikaitkan dalam
sistem kepercayaan Nenek- moyang “SUKU DAYAK KANTU’ “ maka
terdapat semacam persepsi bahwa kepercayaan itu tidak saja mengandung hubungan
timbal balik dengan sistim budaya ( budi dan daya ) akan tetapi lebih
mewarnai tata cara “Jadi Saump/ perkawinan”.
Dalam hidup perkawinan “
hidup berumah tangga” relgius
magis/ sakral dapat diartikan kepada kekuatan yang menguasai alam semesta dan
isinya dalam keadaan kesinambungan.
Oleh karena itu dalam melangsungkan
upacara hari “Jadi Saump” masyarakat Suku
Dayak Kantu’ sangat berkewajiban mencari”HARI BAIK BULAN BAIK” dalam melangsungkan tata cara/ upacara
perkawinan – “Jadi Saump” dengan melihat tanda- tanda alam atau mimpi pada
mereka.
Hal ini diyakini guna menjaga kelangsungan
hidup “BERUMAH TANGGA” sehat jasmani dan rohani , sejahtera dan
diberikan keturunan (Gerai nyamai, penjai umur, murah rezeki, dan berana ucu’
mayuh) yang terwujud berkat adanya kekuatan gaib.
Nenek moyang Suku Dayak Kantu’, yang
diturunkan sampai sekarang melalui orang tua
yang diteruskan kepada anak, dan anak kepada cucu, kemungkinan dan
kemapuan untuk berkomunikasi dangan Alam; baik dengan alam gaib maupun dengan
alam nyata tidak banyak menjadi pertanyaan dalam kehidupan mereka.
-7-
Karena meraka selalu memelihara dan
menganut pengetahuan dan kepercayaan pada tanda- tanda alam tersebut. Misalnya
: Kalau ada keluarga dekat dari calon mempelai yang meninggal dunia waktu dalam
pertunagan sampai kepada upacara Jadi Saump maka adat mereka melarang untuk
melangsungkan pernikahan atau jadi saum dibatalkan; mungkin biasa dilangsungkan
dalam batas waktu tertentu, disinilah Adat Budaya Suku Dayak Kantu’ mengikat:
B.
SEKILAS
MANAJEMEN RUMAH PANJAI
Kelangsungan hidup dan kehidupan atau
budaya Dayak Kantu’ tidak dapat dipisahkan dari tata ruang lingkungan mereka,
khususnya rumah.
Bangunan tempat tinggal atau rumah
tradisional mereka yang disebut “RUMAH PANJAI”, yakni sebuah rumah
yang berbentuk memanjang terdiri dari puluhan atau ratusan bilik dengan ruang tamu
yang tidak berbatas dinding yang disebut dengan “Ruai”.
Rumah panjai memiliki multi fungsi, selain
sebagai tempat berteduh juga sebagai tempat pertahanan dari ancaman binatang
buas atau ancaman musuh; serta untuk melakukan kegiatan reproduksi termasuk
diantaranya untuk mengadakan upacara “jadi saump”, serta tempat mengatur
tata kehidupan masyarakat.
Sistem kepercayaan atau agama yang
kaitannya dengan tata kerama “Rumah Panjai” bagi kelompok
masyarakat Dayak Kantu’ hampir- hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-
nilai kehidupan sosial mereka sehari- hari.
Kelompok Masyarakat Dayak Kantu’memiliki sistem
kepercayaan yang kompleks dan berkembang atau dinamis. Kompleksitas sistem
kepercayaan Nenek- moyang Dayak Kantu’ mengandung dua hal prinsip, yaitu :
1.
Unsur kepercayaan nenek- moyang yang menekankan
pada pemujaan roh- roh gaib, dan alam semesta.
2.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ( Raja
Mantala – Alah Ta’ la ) dan merupakan suatu prima alam semesta.
-8-
Kompleksitasnya sistem kepercayaan Suku
Dayak Kantu’ ditandai juga oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur
keagamaan atau unsur kepercayaan dari luar, seperti pengaruh China dalam
penggunaan barang- barang keramik, piring porselen dan tempayan ( Tajau) yang
mereka yakini memiliki kekuatan megis dan dapat mendatangkan keberuntungan;
maupun penggunaan dekorasi “Naga” yang melambangkan secara “mitologis” Tuhan Tertinggi – Alah Ta’ la – Raja
Mantala” yang satu sebagai pengasa dunia dan alam semesta.
Barang- barang dari China (zaman Dinasti Ming), Enggang (Tenyalang) dan
Naga dalam Masyarakat Dayak Kantu’ merupakan satu kesatuan manifestasi dari organisasi Sosial Mereka, yang nyata terlihat
dari Adat- istiadat – budaya “ Jadi Saump”.
Unsur penting dalam Organisasi Sosial Rumah
Panjai Masyarakat Suku Dayak Kantu’ yang di lambangkan oleh macam- macam hal
tersebut, khususnya burung Enggang dan Naga merupakan bentuk kebudayaan yang
lebih tinggi, dalam kaitannya dengan Adat jadi saump bulu burung Ruai adalah lambang
keindahan dan kebahagiaan.
Ini menunjukan bahwa Suku Dayak Kantu’,
merupakan bagian integral dari alam semesta, yang menghendaki seseorang wajib
menyesuaikan diri dengan tata- cara yang ditetapkan oleh alam semesta dengan
merujuk kepada kehidupan Bintangmuga dan Ruaimana, khususnya dalam
adat “Jadi
Saump”.
Demikian pula untuk menjaga agar
kesimbangan alam semesta termasuk relegio magis oleh masyarakat, disepakati
berbagai ketentuan atau norma/ adat yang harus ditaati dan dipatuhi.
Oleh karena itu jangan heran kalau masih
banyak warga Masyarakat Dayak Kantu’ yang mengerti dengan baik tanda- tanda
alam, percaya dan menjalin hubungan
dengan alam, terutama melalui simbol dan lambang.
C.
TUJUAN
PENULISAN
Mengingat masih sangat jarang sekali
Penulis yang menyusun tentang adat-
istiadat – Budaya Dayak Kantu’ baik oleh Akademisi maupun oleh para Penjelajah;
serta memperhatikan peranan Adat- istiadat, Budaya sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan dan penghidupan Berbangsa dan Bernegara, serta banyak
kalangan mendorong untuk menyusun Adat-
Budaya, Adat- istiadat Budaya Lokal, khususnya mengenai Adat- istiadat Suku
Dayak Kantu’, teristimewa Adat dan Budaya Perkawinan.
Adat- istiadat Nenek moyang; khususnya
tentang Adat-istiadat – Budaya tata cara “PERKAWAINAN /SUKU DAYAK KANTU’ “, baik masa dahulu
maupun masa sekarang maka TIM PENYUSUN buku ini,
dibawah judul “ ADAT- ISTIADAT – BUDAYA
DAN TATA CARA JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU’ “ dengan segala keterbatasan
yang ada memberanikan diri untuk menulis Buku Kecil ini. Untuk itu kritik,
saran, pendapat yang membangun sangat kami hargai.
-9-
Karena, tanpa mengetahui seluk beluk adat-
istiadat dan budaya suatu daerah dan rasa cinta kepada kebudayaan lokal - tradisional tentunya akan sulit mewujudkan “Masyarakat
yang beradat, beradab, bermartabat seperti yang dicita- citakan Pemerintah,
melalui “REVOLUSI MENTAL”.
Atau dengan kata lain, tujuan penulisan
Buku kecil ini adalah ingin menyebar luaskan Adat- istiadat – Buadaya Suku
Dayak Kantu’, khususnya tata- cara Adat- istiadat – Budaya dan tata cara
Perkawinan “Jadi Saump” Suku Dayak Kantu’
guna mengingatkan kembali para Generasi Muda masyarakat Adat Suku Dayak
Kantu’, dan menambah pengetahuan para pembaca dan masyarakat luas lainnya.
D.
SUMBER
INFORMASI
Sumber informasi dan data yang digunakan
sebagai bahan penyusunan tulisan ini adalah data sekunder yang diperoleh dari :
1.
Buku “Legenda Adat dan Budaya DAYAK KANTUK serta
sejarah KEBANGKITAN DAYAK KALIMANTAN BARAT”; ditulis oleh Bapak
LH Kadir, Tokoh Masyarakat Suku Dayak Kantu’, Mantan Wakil Gubernur
Kalimantan Barat, 2003 – 2008.
2.
Sumber dari para Temenggung dan Ketua Adat serta
Tokoh dan Pemuka Masyarakat Adat Suku Dayak Kantu’ di Kapuas Hulu Kalimantan
Barat.
3.
Buku referensi dan literatur- literatur lainnya.
E.
METODOLOGI
PENULISAN
Metodologi pendekatan penulisan dengan
mewawacarai Nara Sumber, mengenai Adat – istiadat dan Budaya Dayak Kantu’, khususnya mengenai
Tata cara Perkawinan atau Jadi Saump.
F. ORGANISASI
PENULISAN
Bab. I
: Dalam bab ini diuraikan, latar belakang dan manajemen dalam Rumah
Panjai yang dikaitkan dengan Adat- istiadat
dan Budaya Perkawianan “Jadi Saump” dan organisasi
Penulisan.
Bab ini memuat garis besar Adat- istiadat
dan Budaya Dayak Kantu’ , khususnya ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA PERKAWINAN
MASYARAKAT ADAT SUKU DAYAK KANTU’ guna mengantar pembaca kedalam materi
sesungguhnya.
-10-
Lalu Bab II : memuat peraga alat dan bahan
dalam Adat- istiadat dan tata cara “Jadi Saum”, dan alat pada adat pendukung lainnya.
Kemudian pada Bab III: memuat tentang
Perkawinan Dayak Kantu’ dalam Sejarah. Sementara Bab IV, menggambarkan Hukum dan Budaya Mengikat dalam hidup berumah Tangga. Kemudian
dalam Bab V, pembaca dibawa menelusuri “Adat
dan Budaya mengiringi Perjalanan Hidup”.
-11-
BAB II
PERAGA ADAT, ALAT DAN BAHAN DALAM ADAT- ISTIADAT BUDAYA
JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU’ KAPUAS HULU
Barang kali ada baiknya dikemukakan
dahulu, bahwa hukum Adat Dayak Kantu’ dinilai dengan Piring (Porselen ). Piring
Porselen menjadi alat pembayaran, mahar atrau konpensasi atas hukum Adat.
Seperti pada pernikahan adat Kawin - Jadi – Saump, selain uang untuk biaya pesta
dan perhiasan emas, mas kawin, yang merupakan salah satu sarat penting adalah
piring porselen putih dan mangkok putih.
Sanksi Adat yang berlaku bagi pembatalan
Perkawinan juga dhargai dengan membayar sejumlah Piring Porselen yang sudah
ditentukan oleh hukum batal kawin (Balang Kawin).
Peninjauan hukum Adat- istiadat Suku Dayak
Kantu’ di Kabupaten Kapuas Hulu oleh para Fungsionaris Adat ( Temenggung, Ketua Adat,
Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan Tokoh Wanita) dilaksanakan
dalam kurun waktu lima tahun sekali, yang sudah barang tentu tidak boleh
menyimpang dari hakekat sesungguhnya.
Hal ini dikarenakan, ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA SUKU
DAYAK KANTU’ berjalan sesuai dengan perkembangan jaman, dinamis dan
terbuka.
Oleh karena itu, dalam paparan mengenai
Adat- istiadat dan budaya Jadi Saump sering mengalamai perubahan dari masa
kemasa, hal inilah yang menunjukan bahwa Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak
Kantu’ sangat terbuka dengan perkembangan jaman.
Adat- istiadat dan budaya Dayak Kantu’
seperti pernah dijelaskan diatas, ditinjau 5 (lima ) tahun sekali; berikut ini “PERAGA ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA
JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU’ “ sebagai berikut :
I.
JAMAN
DAHULU
1.
Bahan- bahan yang diperlukan :
a.
Sirih, Pinang, Kapur Sirih, gambir, Jerangau,
Kencur dan perlengkapan sirih pinang lainnya.
b.
AYAM Kampung 1 ekor, kalau Jantan Sudah Tumbuh
Ekor/ Rambai ( Sudah bujang); kalau Betina sudah bisa bertelor ( Sudah dara).
-12-
2.
Alat- alat yang diperlukan:
a.
Selung ( Gelang Tembaga ).
b.
Kain Bindu’ ( Tenunan ikat Dayak Kantu’ ).
c.
Kepua’ Kumbu’ ( Selendang,tenunan ikat Dayak
Kantu’ ).
d.
Baju Adat Laki- laki ( Baju Rompi ).
e.
Celana adat (serawar ).
f.
Baku’ ( Tempat nyimpan sirih – pinang dari tembaga ).
g.
Kacup ( Semacam gunting untuk membelah pinang
terbuat dari besi ).
h.
Napan kuningan (Par )
i.
Beras Kunyit ( Beras yang dilumur dengan
kunyit).
Sehubungan dengan perkembangan zaman, maka Adat “Jadi
Saump” setelah ditinjau – berubah
sebagai berikut :
II.
JAMAN
PERUBAHAN - PEMBAHARUAN
Setelah ada
perubahan Adat Perkawinan (1927 ),
selain dari bahan dan alat tersebut diatas ( Point I ), peraga
Adat ditambah 12 (Dua belas
jenis pakaian Perempuan). Seperti : Bedak, sabun dan lain sebagainya.
Lalu
menurut “BUKU ADAT DAYAK KANTU’ ; hasil musyawarah Adat SUKU DAYAK KANTU’ ,
sebagai berikut ;
A.
KETENTUAN
HUKUM ADAT SUKU DAYAK KANTU’ dalam perubahan II, 1 Januari 1995 di Desa
Teluk Sindur, Kecamatan Manday Kapuas Hulu, adalah :
1.
PERKAWINAN :
a.
Bahan :
Tidak ada perubahan.
b.
Alat :
Piring Porselen 40 singkap (Buah ), Cincin kawin 2 bentuk ( laki- laki dan
perempuan)
2.
BATAL TUNANG :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 15 singkap (buah ).
3.
BETUNANG LEBIH DARI SATU KALI :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 30 Singkap (Buah ).
-13-
4.
KAWIN LEBIH DARI SATU KALI :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
100 buah
5.
KAWIN
LEBIH DARI SATU KALI ISTRI PERTAMA DICERAIKAN :
a.
Bahan :
-
b.
Alat :
Piring Porselen 150 buah.
6.
NGAMPANG
(HAMIL DILUAR NIKAH ) :
a.
Bahan :
3 ekor Babi @ 35 kg keatas.
b.
Alat : -
7.
ORANG TUA NYANGKAL ANAKNYA NGAMPANG (HAMIL ) :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 10 buah.
8.
CERAI ( SARAK ) :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 50 Buah.
9.
CERAI ISTRI/ SUAMI DALAM KEADAAN SAKIT :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 100 buah.
10.
BILA ISTERI SEDANG HAMIL DICERAIKAN :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 70 buah, uang untuk ongkos melahirkan dan biaya anaknya sampai
dewasa.
11.
BERZINAH ( BUTANG BEDUSA ) :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen (masing- masing ) 80 buah.
12.
BILA KEDUANYA MASIH PUNYA PASANGAN :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen (masing- masing ) 120
buah.
-14-
13.
BERANGKAT/PERANGKAT TULANG :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 60 buah.
14.
PEMERKOSAAN :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 60 buah.
15.
MEMPERKOSA ANAK DIBAWAH UMUR :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 120 buah.
16.
MEMPERKOSA ORANG CACAT ATAU SAKIT:
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 90 buah.
17.
SALAH BASA :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Piring Porselen 2 buah.
B.
BUKU ADAT
SUKU KANTU’ Dalam Perubahan ke III
(Debalei’/ Deapeih III ); 6 Mei 2001 di Desa Teluk Sindur Kecamatan Manday
Kabupaten Kapuas Hulu :
1.
NGUANG URAKNG/ MERAJA :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
laki- laki 100 buah; perempuan 50 buah.
2.
PERTUNANGAN :
a.
Bahan : -
b.
Alat : Mas Kawin 40 Buah, Cincin 1 bentuk (emas
belah rotan ).
3.
BATAL TUNANG
:
a.
Bahan : -
b.
Alat :
15 buah .
4.
MELAKUKAN PERTUNANGAN DENGAN ORANG YANG MASIH
TERIKAT PERTUNANGAN DENGAN ORANG LAIN :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
100 buah
-15-
5.
BERTUNANG LEBIH DARI SATU KALI :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
50 buah.
6.
NIKAH/ KAWIN LEBIH DARI SATU KALI :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
150 buah.
7.
MENCERAIKAN ISTRI DALAM KEADAN SAKIT :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
200 buah.
8.
CERAI/ SARAK :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
50 buah.
9.
BUTANG BEDUSA :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
100 buah.
10.
BUTANG BEDUSA DAN CERAI/ SARAK :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
160 buah.
11.
PERANGKAT/ BERANGAT TULANG :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
60 buah.
12.
PELEPAEH BALU ( Janda/ Duda ) :
a.
Bahan :
-
b.
Alat :
Beras 1 Gantang/ kulak; Piring Porselen 1 Singkap; Tempayan 1 buah; Ayam 1
ekor; Potong Besi 1 buah; benang 1
gulung.
13.
MENCOBA MEMPERKOSA ANAK- ANAK :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
100 buah.
-16-
14.
MEMPERKOSA ANAK- ANAK :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
400 buah.
15.
MENCOBA MEMPERKOSA ORANG DEWASA :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
60 buah.
16.
MEMPERKOSA ORANG DEWASA :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
300 buah.
17.
MEMPERKOSA ORANG CACAT ATAU SAKIT :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
350 buah.
18.
BUTANG RANGKAI/ BERZINAH :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
40 buah.
19.
SALAH BASA :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
10 buah.
C.
KETENTUAN
ADAT DAN BUDAYA SUKU DAYAK KANTU’, Perubahan ke IV di Bika Hulu, Kecamatan Mamday Kabupaten
Kapuas Hulu, 6 sampai 9 Mei 2006 :
1.
NGUANG URAKNG:
a.
Bahan : -
b.
Alat : Laki- laki 100 buah; Perempuan 50 buah;
Pembantu ( Urakng te nganjung ) 25 buah; Orang Tua 10 buah.
2.
PERTUNANGAN :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
1 bentuk cincin emas, 40 singkap Piring porselen.
3.
BATAL TUNANG :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
15 buah dan Supan orang tua 10 buah.
-17-
4.
MELAKUKAN PERTUNANGAN LEBIH DARI SATU KALI :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
50 buah.
5.
NIKAH SEMENTARA :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
110 buah.
6.
KAWIN LEBIH DARI SATU :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
150 buah.
7.
MENCERAIKAN ISTRI DALAM KEADAAN SAKIT:
a.
Bahan : -
b.
Alat :
200 buah
8.
NGAMPANG (HAMIL DILUAR NIKAH ):
a.
Bahan :
3 ekor babi.
b.
Alat :
Lak- laki 200 buah, Perempuan 50 buah.
c.
Keluarga nyangkal anak gadisnya hamil : 10 buah.
9.
CERAI/ SARAK :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
50 buah ( Pemuai ),
c.
Salah satu Pihak sakit : 100 buah.
d.
Suami menceraikan istri sedang hamil : 70 buah.
e.
Pihak ke tiga: 60 buah.
10.
BUTANG BEDUSA/ PERZINAHAN :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
masing- masing 100 buah; mengakibatkan perceraian 160 buah; masing- masing
pihak masih terikat perkawinan 240 buah.
11.
PERANGKAT TULANG :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
60 buah.
-18-
12.
PELEPAS BALU :
a.
Bahan :
1 ekor ayam.
b.
Alat :
Satu singkap piring porselen, satu buah tempayan, satu gantang beras, satu
potong besi, satu gulung benang jahit.
13.
PEMERKOSAAN :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
Mencoba melakukan pemerkosaan anak- anak 100 buah, Sudah melakukan Pemerkosaan
terhadap anak- anak 400 buah, memperkosaan orang cacat/ sakit 350 buah.
14.
SALAH BASA :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
10 buah.
15.
BUTANG RANGKAI :
a.
Bahan : -
b.
Alat :
40 buah.
16.
PALAI MATA :
a.
Bahan : 2 ekor ayam.
b.
Alat : -
-19-
BAB III
JADI SAUMP DALAM SEJARAH KEBUDAYAAN
SUKU DAYAK KANTU’
A.
KRITIK
SOSIAL :
Kritik, masa lalu tentang kebudayan Dayak
Kantu’ dipusatkan dalam hal- hal
semisalnya dengan menggunakan bahasa burung
(beburung ), terutama dalam menggelar pekerjaan besar, seperti Gawa’
jadi saump. Analisis Penulis telah menggambarkan bahwa setiap aspek dari
kebudayaan tradisional ini pada hakekatnya, adalah bagian penting dalam proses
adaptasi dari masyarakat dalam menghadapi lingkungan yang rumit dan tidak
terduga ini.
Mengingat sering didengar bahwa apa yang
diperlukan adalah “Pengembangan Kebudayaan”, maka sumbangan pemikiran didalam
buku ini menyarankan apa yang sebenarnya yang diperlukan adalah “Pengakuan
dan perlindungan Kebudayaan” itu sendiri, dalam pembahasan kali ini
adalah “ ADAT- ISTIADAT, BUDAYA JADI SAUMP” untuk segera diselamatkan,
yang sekarang ini sedang dibawah serangan, dan serangan ini adalah merupakan
masalah.
Sebagai contoh : “ Masyarakat – orang Dayak Kantu’
sudah banyak yang tidak mengenal lagi Adat- istiadat, budaya dan tata- cara
“Jadi Saump” yang sesungguhnya, yang diwariskan oleh leluhur mereka”.
Patut disesalkan bahwa kesadaran penilaian
akan pengetahuan tentang “ Adat- istiadat, tata cara perkawinan”
ditingkat global tidak selaras dangan adat dan kebudayaan setempat, dimana Adat-
istiadat, budaya jadi saump dan sistem- sistemnya sedang runtuh,
sebagai korban dorongan modernisasi.
Terdapat petunjuk, bahwa terlalu sedikit
anak- anak muda Suku Dayak Kantu’ yang mengarungi mahligai rumah tangga yang
menggunakan Adat- istiadat – upacara Jadi saump. Yang diwariskan oleh para
nenek moyang mereka secara turun temurun.
Sangat sering, perencanaan pembangunan
tidak mendukung, bahkan merong- rong, walaupun sering kali tidak disengaja.
Contoh : “Pengembangan “Safari” yang terdiri dari rombongan besar pelaku dan
pembuat kebijakan, lembaga keagamaan yang turun kesuatu Desa dianggap “Tertinggal” sebuah
kelengkapan baku dari “Safari” itu, yang biasanya berlangsung singkat adalah :
“Pementasan konser oleh para anggota dan rombongan yang disertai dengan budaya
dari luar” .
-20-
Tindakan tersebut, meskipun bertujuan baik
bila berdiri sendiri, akan tetapi dalam ruang lingkup pembangunan yang lebih
luas “
Bernada anti kebudayaan lokal”. Yang tersirat didalamnya adalah “Bahwa
kebudayan dari luar dikaitkan dengan pembangunan dan kemajuan, sedangkan
kebudayaan asli dikaitkan dengan pembangunan kurang maju”. Ini berimbas
besar kepada “Adat- istiadat, kebudayaan dan
tata cara Jadi Saump/ perkawinan Masyakat Suku Dayak Kantu’ “.
Pengembangan dari kritik ini, post modern
didalam antropologi dan bidang- bidang lainnya telah mengundang perhatian kebutuhan untuk membedakan Adat istiadat
asli, tradisional ini dari pada budaya dari luar.
Runtuhnya budaya “Betang Panjang ( Rumah Panjai )”
berikut Adat- istiadat dan budaya yang terkandung didalamnya, termasuk tata
cara Jadi Saump adalah sebuah masalah penting dalam Adat- istiadat dan Budaya
Masyarakat Suku Dayak Kantu’. Sekarang cerita “Rumah Panjai” adalah
suatu Legenda untuk menina bobokan anak didangau Ladang/ de dunju’ Umai.
Pemekaran dalam kesendirian dan kejelasan
Kebudayan Dayak Kantu’ termasuk didalamnya “Upacara Jadi Saump” yang terjadi digenerasi lampau adalah selaras
dengan pembangunan sekarang.
Penguasa- penguasa Daerah di Kalimantan Barat, khususnya di Kapuas Hulu
mungkin sudah mengakui bahwa “Adat-istiadat
dan Budaya umumnya, Adat- istiadat dan Budaya
Dayak Kantu’ “ ; termasuk diantaranya Adat- istiadat – Budaya dan tata cara Jadi Saump perlu digali
dan dilestarikan, dalam pembangunan sosial politik dan sosal ekonomi dan ini sangat
diperlukan untuk pembangunan lebih lanjut.
Salah satu dasar untuk pengakuan ini
adalah kepercayaan bahwa Daerah Kalimantan Barat mengetahui, lebih baik apa
yang mereka butuhkan dari pada apa yang diminta dari pusat, sesuai dengan sifat
“OTONOMI
DAERAH”. Singkatnya, satu dari dasar untuk dorongan kearah“PELESTARIAN
ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA LOKAL” adalah pengakuan yang lebih besar
kepada “SUARA MASYARAKAT SETEMPAT”
yang mendiami Kalimantan Barat umumnya, secara khusus Masyarakat Dayak,
termasuk didalamnya Dayak Kantu’ di Kapuas Hulu.
Banyak perencanan pembangunan meletakan
kesalahan dipundak kebudayaan asli, yang telah mereka cirikan sebagai hambatan dalam pembangunan. Kini dengan disusunnya
tulisan ini, atau yang lainnya serupa; dapat dilihat sisi yang lain dari “Masalah
ini” Hendaknya diakui bahwa
serangan kepada kebudayan asli, khususnya Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak
Kantn atau termasuk serangan kepada
Adat- istiadat dan Buidaya serta tata cara Jadi Saump bukanlah bagian
dari pemecahan masalah, melainkan bagian dari masalah itu sendiri.
-21-
Dapat dipandang bahwa Adat- istiadat dan
Budaya Dayak Kantu’ adalah asset yang tidak ternilai; khususnya “Adat-
istiadat Budaya dan tata cara perkawinan
Jadi Saump”. Bersyukurlah bahwa “asset” semacam ini ada.
B.
KEPERCAYAAN
DALAM MASYARAKAT DAYAK KANTU’
·
Legenda Bintangmuga dan Ruaimana:
Bumi menjadi pusat semesta dalam kisah
penciptaan Dayak Kantu’. Merawat dan menjaganya menjadi point penting dalam
tata Adat- istiaadat dan Budaya Masyarakat Dayak Kantu’ Legenda Bintangmuga dan Ruaimana sengaja Penulis
paparkan disini, karena menurut kepercayaan Suku Dayak Kantu’ disinilah Adat-
istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ pertama kali diletakanr; termasuk Adat-
istiadat, Budaya dan tata cara Jadi Saump.
Pada mulanya adalah Bumi, dengan gunung dan
lembah, Sungai serta Danau sebagai Sumber resapan air. Lalu kemudian rumput,
serta kayu, rotan dan akar/sulur- suluran. Untuk selanjutnya Raja Mantala
menciptakan Angkasa Luas, Bulan dan Bintang serta seluruh Tata Surya.
Kemudian Raja Mantala menciptakan sepasang
manusia laki- laki dan perempuan, yang diberi nama Bintangmuga dan Ruaimana.
Konon kisahnya, pada awalnya RAJA MANTALA (sebutan Tuhan bagi Suku Dayak Kantu’) hendak membikin
manusia dari kayu belian atau kayu Ulin (pohon yang pernah tumbuh
subur di Kalimantan dan sekarang telah langka); namun Ngkerasak (seekor burung
kecil – yang lebih dahulu diciptakannya ) memintanya mengganti dengan Batang
Pisang (Ruran ), agar Bumi tidak cepat penuh sesak. Karena usia Pisang tidak
sepanjang pohon Ulin, juga Pisang biasa cepat beregenerasi atau beranak- pinak.
Lalu Bintangmuga dan Ruaimana mempunyai keturunan
berupa Manusia, Hewan, Tumbuh- tumbuhan dan Roh Halus yang tinggal dihutan.
Sikap Manusia, kalau tidak hormat terhadap
anak- cucu Bintangmuga dan Ruaimana diyakini bisa membawa malapetaka. Disinilah Adat- istiadat,
Budaya dan Kepercayaan Suku Dayak Kantu’ mulai diukir.
Dari legenda kejadian ini, penciptaan Alam
Semesta oleh RAJA MANTALA dapat dibagi kedalam empat tahap, yaitu :
a. Pertama,
Raja Mantala menciptakan tanah (Bumi) dalam keadaan tandus dan tidak
berpenghuni. Selanjutnya diciptakannya Bukit dan Lembah Ngarai yang dalam.
b. Raja
Mantala, pada tahap kedua; agar tanah tidak tandus maka diciptakannya
rumput dan kayu.
c. Pada
tahap ketiga Raja Mantala menciptakan angkasa luas (langit ) dan
Bulan serta seluruh Tata Surya.
-22-
d. Pada
tahap
terakhir (keempat) barulah Raja Mantala menciptakan Manusia, yaitu Bintangmuga
dan Ruaimana.
Dalam renung tusut
( Sisilah Penciptaan, penciptaan isi alam setelah kelahiran anak- anak Bintangmuga
dan Ruaimana
dilukiskan sebagai berikut :
a.
Pertama; kandung tubah de’
Bangah Muah, siku’ tebiah kealam tanah
nyadi penembah Ringgong Idung, ti dejejenang urakng “Nika Pulang Gana”, penguasa atas tanah dan air.
b.
Kedua : kandung dulau de’
papa’ palau siko’ ditikau kelalau dua begandung, nya’ tenyadi “Dayang
Lemia.” Artinya Satu anaknya dilempar kepohon Lalau/ Kayu tempat
Lebah Madu besarang, itulah yang disebut Dayang Lemia/ Lembia; yang menguasai
pepohonan.
c. Ketiga
; anaknya lahir dari kandung kecil dan menghilang kepegunungan;
yang disebut “Dayang Semita Bunga”; penguasa atas Bukit dan Pegunungan.
d.
Keempat ; anaknya lahir dari
kandung muda, dimakamkan disemak belukar yang kemudian menjelma menjadi “Kamba’
Baba” (Mahluk halus yang bisa
menjelma menyerupai manusia).
e.
Kelima ; anak yang dilahirkan
kemudian meninggal, dan dimakamkan didalam hutan sunyi- sepi, senyap, itu yang
menjadi “Buau Nyada”. (Sejenis mahluk halus yang bisa bersuara seperti
manusia).
f.
Keenam ; anak yang lain,
diantar kelembah yang dalam, yang kemudian disebut “Untang Anta”
( Penguasa atas lembah dan ngarai ).
g.
Ketujuh ; kandung yang
anaknya keguguran, bayinya dimakamkan kedalam hutan; yang kemudian menjadi “Gendih”
(Tumpuk tanah yang menyerupai Manusia) yang
pantang digarap untuk pertanian sepanjang masa.
h.
Kedelapan ; satu lagi anak
yang dimakamkan dibatang kayu yang
lapuk, itulah yang menjadi “Iba’ Tedung Kaca” atau Ular
Kobra yang sangat berbisa.
i.
Kesembilan ; anak lain
diantar kedanau, itulah yang kemudian menjadi “Raja Buaya”.
j.
Kesepuluh ; anak yang diantar
keujung Danau, itu yang kemudian menjadi “Raja Duata “ (Penguasa keadilan ).
k.
Kesebelas ; bayinya yang
keguguran kemudian dimakamkan dihutan Belantaritulah yang kemudian menjadi/ disebut Parasit”.
l.
Kedua belas; satu anak lagi
tinggal dipokok kayu yang sudah mati, itulah yang kemudian menjadi “Burung
Garuna (Elang Garuda) Sengalang Burung”. Induk dari segala Burung.
m.
Ketiga belas ; hamil dan
melahirkan terus menerus, seperti bungkusan cucian basah, satu anaknya
diletakan ditengah hutan lindung; itulah yang kemudian menjadi “Monyet (Bekatan)” putih belang dibagian punggungnya.
-23-
Dengan berpegang teguh kepada Legenda
tersebut dan bunyi Burung seperti :Bejampung, Memuaeh, Papau, Ketupung, Beragai,
Nenak, lemia Telok (Yang adalah anak
dari Sengalang Burung ) dan
beberapa pertanda alam lainnya . Dan jenis burung- burung ini dilegendakan
sebagai saudara tua dan kicauannya akan menjadi pemandu aktivitas keseharian,
disinilah Suku Dayak Kantu’ meletakan Adat- istiadat dan Budayanya. Termasuk
Adat- Istiadat dan Budaya Jadi Saump.
C.
AGAMA
NENEK MOYANG
·
Sistem kepercayaan Nenek- moyang dalam Adat-
istiadat, tata cara Perkawinan – Jadi Saump.
Sistem kepercayaan atau Agama bagi Masyarakat Dayak Kantu’ hampir- hampir tidak
dapat dipisahkan dengan nilai- nilai sosial kehidupan mereka sehari- hari.
Kebudayaan di Rumah Panjai (Betang Panjang ) sangat erat
kaitannya dengan Adat- istiadat dan Budaya mereka, disanalah pusat kebudayaan
dan kegiatan hidup Suku Dayak Kantu’ berlangsung, termasuk didalamnya “UPACARA
ADAT JADI SAUMP’ “ yang merupakan salah satu Gawa’ besar dan sangat sakral saat ini.
Sakralnya Adat- istiadat dan Budaya Jadi
Saump, dikarenakan mengandung arti bahwa
kedua mempelai akan mengarungi hidup
baru, hidup berumah tangga dan menyatukan keluaraga besar kedua mempelai
menjadi satu kesatuan. Lalu yang kedua Adat Perkawinan Suku Dayak Kantu’ tidak
mengenal poligami dan poliandri, kecuali maut yang
memisahkan mereka.
Ini berarti bahwa kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan
dan kegiatan sosial orang Dayak Kantu’ sehari- hari dibimbing, didukung oleh
dan dihubungkan tidak saja dengan sIstem kepercayaan atau ajaran dan adat,
tetapi juga dengan nilai budaya dan etnisitas. Dengan demikian respons mereka
terhadap sitimulus atau tekanan dari luar sering didasarkan pada kompleksitas
unsur- unsur diatas.
Dayak Kantu’ memiliki sIstem kepercayaan
yang kompleks dan sangat berkembang.
Kompleksitas sIstem kepercayaan berdasarkan tradisi dalam
Masyarakat Dayak Kantu’ mengandung dua prinsip, yaitu: Dalam prinsip pertama berpijak pada unsur
kepercayan/Agama Nenek- moyang mereka yang menekankan pada pemujaan Roh Halus dan
roh- roh Nenek- moyang yang sudah meninggal dunia. Sedangkan prisip kedua berpegang terhadap “TUHAN YANG ESA” Raja Mantala, dengan kekuasaan tertinggi dan
merupakan suatu prima causa dari kehidupan manusia.
-24-
Sistem Kepercayaan Nenek- Moyang dalam masyarakat Dayak Kantu’ berisi berbagai
peraturan tentang “ Hubungan Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan Manusia, Manusia dengan
Roh Halus serta Roh Nenek- Moyang dan Manusia dengan Alam beserta isinya”.
Tuhan tertinggi yang satu, memiliki dua fungsi atau karakter
Ketuhanan, yaitu : “ Karakter yang satu
mendiami dunia atas atau dunia yang
lebih tinggi, sedangkan karakter yang lain ‘tinggal
dibawah’ atau yang lebih “rendah”.
Kompleksitas sistem kepercayaan Suku Dayak
Kantu’ ditandai juga oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamnaan
atau kepercayaan dari luar, seperti barang- barang keramik - piring mangkok ( Porselen ) dari China.
Dalam penggunaan barang- barang keramik,
seperti Piring- Mangkok dan Tempayan yang dianggap memiliki kekuatan Relegio -
magis dan dapat mendatangkan keuntungan , keberuntungan. Juga penggunana
bermacam- macam dekorasi “Naga” yang melambangkan secara
metologis Tuhan Yang Tertinggi, yang satu sebagai Penguasa Dunia ini menunjukan
sangat jelas bahwa Masyarakat Dayak Kantu’ adalah masyarakat yang dinamis
dan terbuka. Pengaruh lain berasal dari Hinduisme dan Islamisme.
Penggunaan
“Burung
Enggang ( Tenyalang) dan Naga” adalah
simbol kesatria bagi Masyarakat
Dayak Kantu’ sedangkan simbol “Burung Ruai ( Merak )” adalah
lambang keindahan; yang sering terdapat dalam Upacara Jadi Saump.
Kedudukan Burung Ruai, yang bulunya
digunakan sebagai perhiasan kepala (
Telujuk ) dalam acara Jadi Saump adalah lambang keindahan hidup berumah tangga,
ini tidak saja merupakan manifestasi fakta filsofis tentang keberadaan sosial
kehidupan semata, tetapi kelanggengan hidup berumah tangga dengan segala
kelengkapannya; juga dari fakta kongrit dan riil dimana kehidupan “Jadi
Saump” adalah basis utama dari sosial kehidupan, ekonomi dan politik
kelompok etnik Dayak Kantu’.
Disudut lain simbol kesatriaan
dilambangkan dengan Burung Enggang (Tenyalang ) menunjukan bahwa walaupun
anggota Masyarakat Dayak Kantu’ bersifat terbuka dan tidak berprasangka buruk
terhadap pendatang dari luar, tidak dengan sendirinya berarti bahwa mereka tidak lagi menilai atau menghargai pengaruh
entern atau kelompoknya sebagai kekuatan
atau lebih rendah dibandingkan dengan sumber atau pengaruh luar atau
asing. Konsep ini menjelaskan pentingnya peranan kehidupan berumah tangga yang diwujudkan dalam “Jadi Saump”.
-25-
Tuhan Tertinggi, Yang Satu atau Esa yang
mendiami dunia atas dan dunia bawah, setelah serangkaian upacara Jadi Saump,
diyakini sudah merestuai hidup berumah tangga, sebab menurut mereka Tuhan (
Raja Mantala) adalah pengayom dalam kehidupan dan penghidupan serta kepentingan mereka terhadap keberadaan
dan lingkungan hidup.
Dalam mengasosiasikan simbol atau lambang
dapat muncul secara spontan pernyataan, perasaan atau sekurang- kurangnya sikap
untuk mempercayai atau mematuhi ; misalnya dalam melangsungkan Upacara Jadi Saump
mereka akan mencari- cari hari dan mengamati tanda- tanda alam yang mungkin
dapat dijadikan penuntun , sebagai usaha mencari hari baik bulan baik.
Simbol- simbol tersebut dapat berupa buntat
( tanda alam yang diperoleh atau ditemui
dalam keadaan tidak normal atau berbentuk aneh), atau batu yang dianggap
mereka memiliki kekuatan religio - gaib,
maupun tanda- tanda alam yang baru muncul pada saat akan atau sedang melakukan
kegiatan, misalnya bunyi burung
tertentu.
Masyarakat Dayak Kantu’ masih mempunyai tanda- tanda alam sekitarnya yang memberi arti atau lambang dalam
kehidupan sehari- hari. Ada tanda yang
memberi arti positif , ada juga tanda- tanda yang memberi arti negatif. Misalnya dalam masa bertunangan kedua calon mempelai tidak boleh mendengar bunyi Rusa ( Pangkaeh
Rusa’ ) waktu malam, tidak boleh
mendengar kayu rebah tanpa angin ribut waktu malam, tidak boleh ada keluarga
dekat yang meninggal dunia; dan tidak boleh ada mimpi yang tidak baik waktu
tidur ( mimpi kesal ) dan lain sebagainya.
D.
PENDIDIKAN
DAN PEMBAURAN
Sistem perwarisan lisan dari Nenek-
moyang, misalnya tata cara “Jadi Saump” menjadi semakin lemah
seiring dengan kesadaran akan pengaruh pendidikan formal. Semakin tinggi
tingkat kesadaran akan penting Pendidikan formal semakin besar pengaruhnya
terhadap pengaruh Adat- istiadat dan Budaya tradisional, hal ini semakin tampak
dari semakin banyaknya kaum muda dari daerah terpencil yang melanjutkan
Sekolahnya kekota- kota Kabupaten atau Propinsi bahkan ke Ibu Negara.
Dengan demikian, keterlibatan dan hubungan
dengan sistem “Adat- istiadat dan Budaya
termasuk didalamnya Tata cara Jadi Saump tradisional” dikampung
menjadi berkurang, bahkan cendrung akan terputus.
-26-
Hal ini ditambah lagi dengan banyaknya
anak muda yang kawin pembauran atau kawin silang, misalnya anak dari
Masyarakat Suku Dayak Kantu’ kawin
dengan Suku Dayak lain, atau dengan Flores, Batak, Jawa, Cina dan lain
sebagainya turut memperlemah perkembangan
Adat dan tata cara Suku Dayak Kantu’, khususnya tentang Adat- istiadat
Jadi Saump tradisional, Karena pengertian dan penguasaan tentang tradisi dan
tata cara masyakatnya ( Suku Dayak Kantu’ ) menjadi berkurang.
E.
AGAMA
BARU
Suku dayak Kantu’ pada awalnya disebut
menganut paham/kepercayaan animisme, tetapi bila ditelaah lebih jauh
kepercayaan Hindu – Kaharingan banyak
mempengarurhi budaya mereka.
Agana leluhur Suku Dayak Kantu’ lebih
banyak menekankan ritual dalam kehidupan, terutama upacara ritual dalam
Pertanian. Agama asli Suku Dayak Kantu’ kian lama kian ditinggalkan. Sehingga Adat – Kebiasaan mereka turut tercerabut dari
akarnya, namun demikian terdapat cukup banyak juga Masyarakat Dayak Kantu’,
terutama yang tinggal dikampung halamannya masih mengetahui peninggalan Nenek-
moyang mereka.
Kini masyarakat Dayak Kantu’ yang menganut paham animis itu,
sebagian besar telah menganut Agama Nasarani ( Katholik dan Kristen ), mereka
yang menganut Agama Islam memisahkan diri dari Sukunya dan menjadi Senganan (
Melayu ), bahasanyapun berubah menyerupai “Bahasa Melayu Riau”.
Agama Katholik dan Kristen/ Protestan dianggap
sebagai Agama mereka. Masuknya ajaran
Katholik dan Kristen – Protestan kedalam Masyarakat Dayak Kantu’ turut
mempercepat berubahnya beberapa Adat- istiadat dan Budaya, hal ini sangat
terasa sekali dalam Adat dan Budaya Jadi Saump – Perkawinan.
Dikalangan Generasi Muda Dayak Kantu’,
hampir- hampir tidak mengenal Adat-
istiadat dan Budaya Jadi Saump (Perkawinan ) yang diwariskan oleh Nenek Moyang
mereka. Pandangan yang menganggap bahwa
tradisi “Jadi Saump” tidak
sesuai dengan ajaran Kristiani, telah menyebabkan Adat- istiadat Jadi Saump
hasil warisan Nenek – moyang mereka serta peralatan yang menyertainya menjadi
terkucilkan.
-27-
Disamping itu ada yang berangapan bahwa
Adat- istiadat dan Budaya serta tata cara Jadi Saump – perkawinan itu ribet dan
bertele- tele. Hilangnya Adat- istiadat
dan Budaya Dayak Kantu’ tersebut akan menyebabkan hilkangnya segala
Peraga Adat yang menyertainya. Upacara “BEKITAU’ misalnya yang sarat dengan
nilai seni dan budaya dan nilai relegio sakral asli Masyarakat Dayak Kantu’
telah sekian lama mendapat tekanan dan pengucilan, sehingga asing ditelinga; sebab
sebagian menganggap menyembah berhala.
Ritus relegi Masyarakat Suku Dayak Kantu’,
khususnya relegi Jadi Saump warisan Nenek- moyang mereka memang tidak terlalu
dihargai oleh banyak pihak, termasuk oleh generasi muda Dayak Kantu’ itu
sendiri.
Seperti telah dijelaskan diatas,
belakangan Agama Nasarani ( Katholik – Kristen ) telah mampu menjangkau pelosok
Kalimantan, terutama Agama Katholik telah mampu merambat diseluruh Penduduk Suku Dayak Kantu’;
sehingga agama Nasarani dianut hampir seluruh Suku Dayak Kantu’, mereka yang
menganut Agama Islam memisahkan dirii dari Sukunya dan menamakan diri Melayu –
Senganan.
Daerah Dayak Kantu’ yang pertama kali dikunjungi
Missi Katholik setelah Sejiram Kecamatan Seberuang adalah Bika yang kini
dikenal dangan Paroki Bika Nazareth, selain menyebarkan Paham Agama Katholik
missi tersebut berhasil mendirikan Sekolah Rakyat ( Sekolah Dasar Bersubsidi )
yang kini sudah ditutup.
Missi Katholik memegang peranan penting
dalam transportmasi peradaban Suku Dayak Kantu’. Masuk melalui program
pendidikan dan kesehatan, missi Katholik pelan- pelan berhasil merangkul
komunitas Masyarakat Adat/ Kepercayaan leluhur masuk kegereja mennjadi
Nasarani.
Pengaruh Gereja Katholik terlihat pada
bagaimana Masyarakat Adat kini tidak ada lagi menggelar upacara Adat besar-
besaran seperti pada jaman dahulu. Bahkan untuk urusan pernikahan, kedua
mempelai dengan diikuti para saksi dan orang tua kini cukup naik kealtar Gereja
dan meminta berkat Pastor atau Pendeta. Sehingga Bekitau yang selalu digelar pada
Acara Adat Jadi Saump kini terlupakan.
Gereja Katholik masuk pertama kalinya ke
Kalimantan Barat tahun 1865 di Pemangkat, dibawah Koordinasi Vikariat Apostolik
Batavia ( Sekarang Jakarta) dengan motor
penggerak para Imam Jesuit. Dari Pemangkat, karya kerasulan Gereja Katholik kemudian dikembangkan ke
Sejiram ibu kota Kecamatan Seberuang, sebagai komuditas Suku Dayak Kantu’ tahun
1890.
-28-
Setelah missi Imam Jesuit, karya kerasulan dilanjutkan oleh Kongregrasi
Ordo Fratrum Minorium Capocinorum (OM Cap )
dari Propinsi Belanda, karya kerasulan di Kabupaten Kapuas Hulu
dilanjutkan diantaranya Bika ibu kota Kecamatan Manday ( Sekarang Kecamatan
Bika ) yang dikenal dengan Paroki Bika Nazareth.
Karena Geraja Katholik sangat toleransi
dengan Adat dan Budaya Masyarakat Adat Suku Dayak Kantu’; proses ingkulturasi
dan transpormasi peradaban Suku Dayak Kantu’ didalam gereja berjalan sangat
lancar. Pengaruh Gereja Katholik didalam peradaban Suku Dayak Kantu’ bisa
dilihat dari “TATANAN HUKUM ADAT YANG MENGANUT PERKAWINAN MONOGAMI” poligami
dan poliandri sangat dilarang oleh adat mereka.
-29-
BAB IV
BAGAIMANA ADAT- ISTIADAT DAYAK KANTU’
MENYIKAPI ADAT PERKAWINAN ?
A. SIKAP UMUM ORANG DAYAK KANTU’
Ada
pendapat yang menjelaskan bahwa beberapa sikap hidup Suku Dayak Kantu’ ( yang
penulis kaitkan dengan hidup berumah tangga “Jadi Saump” ) baik
secara langsung maupun
tidak langsung. Sikap ini hendaknya
jangan dipandang sebagai hal yang positif, negatif, kunstruktif atau destruktif
dengan tergesa- gesa dari kacamata masyarakat modern, adalah sebagai berikut :
1.
Orang Dayak Kantu’ suka berbagi kemujuran
sesamanya. Daging hasil buruan yang mereka
peroleh sering dibagi secara cuma- cuma kepada sesama. Sikap ini lebih kental sewaktu masih menghuni
Rumah Panjai ( Betang Panjang ).
2.
Sikap demokratis sebagai salah satu “Semangat”
kehidupan di Rumah Panjai masih dimiliki oleh sebagian besar orang Dayak Kantu’ meskipun Rumah Panjai
telah tiada. Misalnya kegiatan “Jadi
Saump” yang berimplikasi pada kehidupan komunitas, yang biasanya
dimusyawarahkan dahulu dengan kaum kerabatnya terlebih dahulu.
3.
Orang Dayak Kantu’ mempunyai sikap “hormat
yang tinggi kepada alam lingkungan hidupnya” Ini dapat dilihat dari
tata cara Adat- istiadat dan Budaya Jadi Saump yang menggunakan tanda- tanda
dan kejadian alam untuk menentukan hari baik – bulan baik dalam menggelar
acara.
4.
Orang Kantu’ umumnya tidak bisa menabung atau
merencanakan kehidupan masa depan, sikap- sikap sebagai manusia peramu belum
sepenuhnya mereka tinggalkan. Kebiasaan menyimpan padi ( didalam Gentung –
Pasah ) bukan dimaksudkan untuk menabung, tetapi disimpan untuk dimakan.
Menabung dalam arti menyimpan untuk masa depan dengan mempertahankan atau
menambah nilai ekonomis simpanan belum menjadi kebiasaan mereka.
5.
Karena mereka terbiasa dengan mudah dapat
memperoleh sayur- sayuran, buah- buahan, ikan dan binatang yang tersedia dialam
sekitarnya, meraka jadi manja dengan alam.
6.
Tidak mengenal sistem manajemen pasar, walaupun “BERAGEH”
merupakan budaya mereka. Mereka belum mengenal dan memahami hubungan antara
waktu dan nilai ekonomis suatu jenis barang.
-30-
7.
Suka merendahkan diri, dengan sikap “Low
profile”, tidak pandai menawarkan jasa dengan mempertontonkan
ketrampilan atau kebolehannya. Dalam menghadapi persoalan orang Dayak Kantu’ lebih
suka berdiam diri, sambil mengharapkan agar orang lain dapat menyelami apa
keinginan mereka. Menuntut hak hampir tidak dikenal dalam sikap orang Dayak
Kantu’.
8.
Orang Dayak Kantu’ gampang cemburu sosial, iri
hati kepada sesama suku. Orang Dayak
Kantu’ yang lebih maju atau tingkat kehidupan sosial ekonominya lebih baik
biasanya dianggap tidak wajar dan sebaiknya dijauhi. Misalnya seorang Pedagang
Dayak Kantu’ dan seorang Pedagang Tionghua dibolehkan bersaing dengan bebas
maka hampir dapat dipastikan pedagang Tiongkua yang unggul, karena sikap iri
hati masyarakat ( Dayak Kantu’ ) sekitarnya akan terarah kepada sipedagang
Dayak Kantu’ tersebut.
9.
Mudah tersinggung dalam hal yang menyangkut adat-
istiadat dan budayanya. Perasaan terhina akan menjadi motivasi yang kuat bagi
mereka untuk bertindak, sangat disayangkan sikap ini kurang menjadi
pembelajaran dalam sistem pengembangan diri dibidang sosial kemasyarakatan yang
terencana.
10.
Siring kali Dayak Kantu’ menghormati tamu secara
berlebihan. Bagi tamu disediakan makanan istimewa yang mereka sendiri mungkin
jarang sekali menikmatinya. Penghormatan tamu ini tanpa perhitungan ekonomis.
11.
Sisa- sisa kejujuran dan kepolosan orang Dayak
Kantu’ dengan mudah dimanfaatkan untuk
menipu mereka sendiri. Mereka mudah terpengaruh oleh kata- kata manis. Dengan
sedikit janji lisan saja, orang lain dapat memperoleh keuntungan dari pada
mereka.
Sebelas sikap hidup Suku Dayak Kantu’
sengaja dipaparkan disini, sebagai bahan perenungan bagi pasangan mempelai yang
mau mengayuh hidup berumah tangga, guna dijadikan panduan dalam hidup
berkeluarga nanti.
Dengan
demikian Adat dan kebudayaan Dayak Kantu’ tetap mengalir meniti sejarahnya.
Proses perubahan alamiah terus dan akan terus terjadi, yang sekaligus merupakan
proses seleksi seirama berjalannya waktu. Dalam proses ini unsur Adat- istiadat
dan Budaya yang kuat dan dapat diterima oleh sebagian besar warga serta nilai
luhur universal diusahakan tetap bertahan dan semakin diperkaya; dan ini
hendaknya ditanamkan dikala “sepasang mempelai yang mau mengadakan
perkawinan – nikah Jadi
Saump” ,karena nanti mereka akan melahirkan keturunan Dayak Kantu’
baru; yang sekaligus generasi penerus “Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak Kantu’
kedepan”. Karena ada dua mecam
penggusuran budaya :
-31-
Pertama: Penggusuran suatu
budaya yang dipandang sebagai interior, akan tetapi sesungguhnya bernilai
luhur; oleh budaya dari yang mungkin sesungguhnya tidak lebih baik dari budaya
yang digusur. Bukanlah kejadian penggusuran budaya secara tidak sengaja lebih
mudah dilakukan.
Kedua : Transpormasi Adat-
istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ sangat diperlukan untuk menyelaraskan atau
menyesuaikan ungkapan- ungkapan “Adat- istiadat dan Budaya” dengan
tuntutan perkembangan akal budi orang Dayak Kantu’ itu sendiri, kemajuan ilmu
Pengetahuan dan tehnologi, menguatkan entraksi antar budaya dan perubahan
praktis, perubahan lingkungan hidup goegrafis.
Suatu unsur “budaya” dipertahankan
(dikembangkan, diperkaya ) atau ditinggalkan atau ditolak tergantung nilai-
nilai yang terkandung didalamnya. Dengan kesadaran akan nilai- nilai inilah
manusia Dayak Kantu’ menentukan “Adat-
Istiadat dan Budaya”nya, karena tanpa kesadaran itu “mungkin
akan terjebak oleh para digma tanpa arti”.
Pemusnahan “Rumah Panjai” masyarakat
Dayak Kantu’ merupakan contoh para digma
tanpa arti itu. Kenyataannya hidup di “Rumah Panjai” (Betang Panjang) yang menganut budaya kekeluargaan, menjadi “Rumah
Inividu” yang menganut paham
individualistis dan materialistis
tidaklah lebih baik ditinjau dari sikap hidup keseharian Suku Dayak
Kantu’.
Dengan memahami sikap hidup Suku Dayak
Kantu’, arah dan tujuan serta sasaran transpormasi “ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA”
melalui kehidupan sosial atau lebih spesifik lagi menumbuh kembangkan sikap hidup pribadi ,
bersama komunitasnya dengan menitik beratkan kepada Adat- istiadat dan Budaya, serta tata cara
Perkawinan “Jadi Saump”, serta merta memati lenyapkan sikap hidup yang menggerogoti
kemanusiaan. Dalam seluruh proses ini mesti ditekankan dengan menempatkan sikap
hidup sang manusianya, dengan menilik “HUKUM ADAT, ADAT- ISTIADAT – BUDAYA”
Suku Dayak Kantu’ yang secara rutin ditinjau oleh Fungsional Adat, Tokoh
Masyarakat, Tokoh Pemuda dan Tokoh Perempuan Suku Dayak Kantu’; khususnya
mengenai Adat- istiadat, budaya “Jadi Saump” setiap lima tahun sekali, adalah sebagai
berikut :
-32-
B. URAIANNYA :
1.
NGUANG URAKNG
Hubungan
perkenalan antara muda- mudi pada Jaman dahulu
dilingkungan Adat dan Tradisi hidup dan kehidupan Masyarakat Dayak
Kantu’ di Rumah Panjai ( Betang Panjang ) melalui acara Pemuda mendatangi
Peraduan Wanita waktu malam, disaat orang sedang tidur pulas, disebut
Nguang Urakng.
Nguang
Urakng berarti pacaran, atau mengunjungi
pacar atau calon istri. Khususnya pada Masyarakat Suku Kantu’, menurut sebutan Suku Dayak Iban “Ngayap”
dan sebutan Tamambaloh “Mainjani” dan menurut Senganan/
Melayu menyebutnya “Meraja”.
Semula “Nguang
Urakng” dilakukan diam- diam antar Pemuda dan Pemudi, Pemuda
membangunkan Gadis/Pemudi yang dikunjunginya, serta memperkenalkan diri. Kemudian gadis itu bangun dan mengenal Pemuda itu, ada dua kemungkinan yang akan
terjadi :
a.
Jika kehadiran pemuda itu diterima oleh Pemudi,
ia diterima untuk ngobrol bersama, gadis
itu mempersilakan Pemuda itu untuk ngobrol sambil baring ( Bahasa Dayak Kantu “ Galei’ “).
b.
Sebaliknya jika Gadis itu menolak cinta pihak
Pemuda, maka pemuda itu disuruh pulang ( Bahasa Dayak Kantu’ deiarkeh Pulai),
berarti disuruh pulang. (L H Kadir 2016 : 102 ).
Jika sang Pemuda masih saja nekat datang
dan gadis itu masih juga menolak cintanya, maka orang tua turun tangan
menasihati Pemuda tadi, meminta sang Pemuda itu untuk tidak datang lagi mengunjungi anak gadisnya itu.
Kalau Pemuda itu diterima oleh si
Pemudi, setelah tiga malam berturut-
turut biasanya orang tua bangun dan
menanya (Meresa = memeriksa ) pemuda
dengan mengajukan dua pertanyaan yang kira- kira begini bunyinya :
“ Mau benar- benar mengawini anak Gadisnya atau mau main- main ?”.
Apabila Pemuda tersebut hanya mau main- main, maka mulai malam itu tidak boleh datang lagi. Tapi
jika Pemuda mau mengawini anak gadisnya maka ada dua pertanyaan lagi : “
Nuan kali ka’ ngile’ atau’ keh ka’ ngulu
?”. Terjemahannya: Kamu apa mau kehilir atau mau kehulu ?.
Kalau Kehilir berarti Perempuan masuk kekeluarga laki- laki, kalau kehulu
berarti laki- laki masuk kekeluarga/ kerumah perumpuan”.
-33-
Tapi bila pemuda itu masih ragu- ragu, atau
tidak mmemberikan jawaban, oleh orang
tua Gadis tadi pemuda tersebut diminta untuk tidak datang lagi mengunjungi anak
gadisnya. Kalau Pemuda itu masih nekat datang( nguang ) gadis tersebut, maka
pada hari ketiga (artinya pada hari
keenam sejak Pemuda itu datang keperaduan gadis tadi ) belum juga memberikan jawaban, maka keduanya
langsung dikawinkan, “dikitau ngau manuk “yang
disebut “bemati Manuk”, inilah yang disebut “Kawin Tangkap”.
Dalam Masyarakat tradisional cara pacaran seperti “Nguang Urakng (Kantu’), Ngayap
(Iban), Mainjani (Tamambaloh), Meraja ( Senganan )” sangat dihormati.
Oleh karena itu walaupun pacaran dilakukan bertahun- tahun sangat jarang
terjadi “hamil diluar nikah/ Ngampang”. Kehamilan diluar nikah
dipandang sebagai perbuatan atau aib
yang sangat tercela; sehingga menyebabkan
wanita (pelaku ) dan keluarganya
dikucilkan dari pergaulan masyarakat.
Masyarakat ( Orang ) tidak mau dikunjungi/
bergaul dengan “Wanita yang hamil diluar nikah berikut keluarganya” karena dianggap dapat mendatangkan mara
bahaya. Kalau mereka berkunjung kerumah tetangga, kaum keluarga atau kerabatnya,
maka sanksi Hukum Adat “Pemali” sudah menanti, bahkan bisa
kenakan sanksi “Sait Semaya” oleh Pengurus adat.
Masuknya
medernisasi sebagai akibat pengaruh kesejagatan dan pengaruh Pembangunan sampai
kedesa- desa menyebabkan tradisi “ Nguang Urakng, Ngayap, Meraja,
Mainjani dan sejenis tradisi”
seperti itu tidak dapat dipertahankan.
Lebih- lebih setelah pihak yang
tidak punya adat tersebut mulai ikut- ikutan meniru tradisi tadi yang bukan miliknya, yang bisa menyebabkan pencemaran lingkungan
dan keseimbangan alam, dan sekaligus menyebabkan pencemaran eksestensi budaya.
Sehingga perlahan namun pasti tradisi Nguang Urakng menghilang sejalan dengan
perkembangan jaman.
2.
BUDAYA
DAN ADAT JADI SAUMP
Adat- istiadat dan Budaya Perkawinan “Jadi
Saump” yang dimulai dari proses
pacaran (jaman dahulu Nguang Urakng) seperti telah diuraikan diatas, maka
sebagai tindak lanjut dari pacaran (Nguang Urakng) sebelum masuk kejenjang
Perkawinan - “Jadi Saump” dilakukan ;
a.
BEPINTA’
BETANYA’/ BEPEKAT :
Bepinta’
Betanya’ adalah proses meminta perempuan untuk dipersunting oleh laki- laki
pujaan hatinya, yang ditentukan dengan “Bepekat” (Mupakat) tentang Hari
Pertunangannya; yang sudah barang tentu secara tidak resmi telah dibicarakan
oleh kedua calon Mempelai.
-34-
Tradisi
bepinta’ Betanya’ dalam Suku Dayak Kantu’ tidak bisa diwakilkan,artinya orang
tua kedua belah pihak ( pihak Laki- laki dan Perempuan ) wajib hadir, kecuali
orang tuanya sudah meninggal dunia baru bisa diwakilkan pada keluarga dekat,
paman atau abang kandung misalnya. Setalah tercapai kata sepakat oleh kedua
belah pihak, barulah ditentukan waktu yang tepat untuk melakukan hari
pertunangan.
b. HARI PERTUNANGAN
Pada hari
pertunangan, perangkat Adat mulai dari Kebayan, Patih, Komplet,
Temenggung diundang untuk hadir, tujuannya adalah : “Menentukan
janji dan hasil kesepakatan kedua belah
pihak” serta menentukan “Adat-
istiadat dan Budaya yang harus dipatuhi”.
Dalam acara
bertunang ada beberapa hal mendasar yang dibicarakan , diantaranya adalah :
*. Secara resmi oleh Pemuka Adat ditanyakan “
Apakah lamaran itu diterima?”, dan kalau diterima siapa diantara mereka yang masuk kekeluarga yang lain ?”.
*. Kalau Perempuan yang masuk kelingkungan keluarga
Laki- laki, maka disebut “ Indu’ de guang keurakng”, demikian sebaliknya kalau laki- laki yang masuk kekeluarga
Perempaun disebut “ Laki ngami’ undu’”.
*. Bila telah
dicapai kesepakatan, biasanya ditetapkan “Adat Said Semaya” atau Janji yang
berisi bila salah satu pihak ingkar
janji, oleh Pengurus Adat.
*. Menentukan hari baik bulan baik untuk menetukan
hari Upacara Bekitau- bebiau “ Jadi Saump – Perkawinan”.
Pada hari pertunangan keluarga laki- laki
menyerahkan :
*. Satu buah
Ilum ( Sirih – Pinang ) pertanda disinilah hubungan kekeluargaan kedua belah
pihak akan dimulai.
*. Satu buah
Selung ( Gelang dari Tembaga ), secara harpiah menggambarkan hubungan
kekeluargaan tidak terbatas, sampai keanak cucu mereka dan perkawinan tidak
terpisahkan kecuali maut memisahkan
mereka.
*. Napan ( Ceper
dari kuningan ) sebagai pengkeras semangat ( Pengeraeh semengat ).
Lalu pada Penijauan Adat dan Budaya Suku Dayak Kantu’,
maka Syaratnya sebagai berikut :
·
Satu buah
Ilum ( Sirih- Pinang ).
·
Selung
diganti dengan satu bentuk Cincin Emas belah rotan,artinya Perkawinan mereka
tidak terpisahkan, kecuali maut yang memisahkan mereka.
·
Uang tunai
(tergantung besarannya yang disepakati kedua belah pihak), untuk ongkos dalam
upacara hari Perkawinan ( Hari “H”
).
·
Alat mandi
Perempuan, secara harpiah mengandung arti “
Laki- laki” siap mengambil alih tanggung jawab orang tua perempuan
tersebut.
-35-
·
Napan (
Ceper dari kuningan ).
·
Perhiasan
emas sesuai kemampuan.
·
Satu
singkap Piring Porselen. Menurut
Peninjauan Hukum Adat dan Budaya Suku Dayak Kantu’ ke IV, tahun 2006 , pihak
laki- laki menyerahkan Pakean sebesar 40 singkap piring porselen.
Dengan telah dilunasi adat tersebut diatas
maka kedua calon mempelai ( Billa sudah
kawin ) anak- dan keturunan serta keluarganya mendapatkan
persamaan hak dan kewajiban dalam keluarga, terutama harta- benda/ warisan yang tidak bergerak, seperti tanah dan buah-
buahan.
Perkawinan yang masih ada hubungan
pertalian darah antara mempel;ai laki- laki dan mempelai perempuan baru dapat dibenarkan oleh hukum
Adat Dayak Kantu’ apa bila telah berada pada tingkat keempat. Hal ini mungkin karena pengaruh gereja atau
tingkat pendidikan formal , sebab mengingat pada keturunan tingkat kesatu sampai ketiga dikuatirkan menyangkut masalah
kesehatan anak. Misalnya anak lahir caca pisik dan lain- lain.
Karena satu dan lain hal dalam masa
pertunangan menjadi batal ( balang tunang ); kalau yang membatalkan dari pihak laki- laki; maka kepada pihak
laki- laki sanksi hukum dan tanda tunang tidak dikembalikan.
Sebaliknya kalau pihak perempuan yang membatalkan maka tanda tunang dan ongkos/biaya untuk
pesta kawin “Jadi Saump” dikembalikan dan sanksi adat berlaku. Berikut sanksi huku menurut :
Tinjauan Buku Adat tahun 1995, bila batal
pertunangan dilakukan pihak laki- laki
mas kawin atau pakean tidak dikembalikan. Berdasarkan perubahan ke-IV, 6 Mei 2006 batal
tunang dikenakan sanksi 15 buah dan sepertiganya diberikan kepada
pengurus/ fungsionaris Adat.
Demikian juga kalau pihak ketiga yang
membatalkan pertunangan, maka pihak ketiga mendapat sanksi hukum 30 buah,
ditambah 15 buah sanksi hukum mengusik rumah tangga orang. Tiga puluh
persen dari jumlah sanksi hukum
diberikan kepada Pengurus/ Fungsionaris Adat.
Disudut lain, bila melakukan pertunangan
lebih dari satu kali dengan orang yang
berbeda, maka dapat dikenakan sanksi hukum adat :
-36-
*.
Tinjauan Hukum Adat Dayak Kantu’ pada
Buku Adat perubahan ke II, tanggal 1 Januari 1995 menegaskan “ Melakukan
pertunangan lebih dari satu kali, maka yang bersangkutan dikenai sanksi Hukum
Adat 30 buah”.
*.
Sementara menurut peninjauan Hukum Adat, pada Buku Adat Revisi ke IV, tanggal 6 sampai dengan tanggal
9 Mei 2006, bila melakukan pertunangan lebih dari satu kali dengan orang yang
berbeda, sementara masih terikat pertunangan dengan yang pertama maka sanksi
hukum 50 buah.
Seseorang yang telah mengetahui pasangan
tunangnya masih terikat pertunangan dengan orang lain dan ia menyetujui yang
bersangkutan maka sanksi Hukum Adat
dengan sebutan “PERANGKAT TUNANG” diberlakukan
:
*. Menurut Ketentuan Hukum Adat, dalam
Perubahan ke dua memberikan Sanksi 30 buah, sedangkan
*. Revisi ke tiga, tangal 6 Mei 2001,
memberikan sanksi Adat seberar 40 buah,
*. Kemudian menurut revisi keempat, tanggal 5 sampai dengan 9 Mei 2006,
mematok hukum Adat “Perangakat Tunang”
sebesar 100 buah.
Menurut Tata Cara Adat Suku Dayak
Kantu’, pertunangan bisa batal atau
ditunda (Begelanggang ) bila kedua atau salah satu calon mempelai :
*. Mendengar Sura Rusa ( Pangkaeh Rusa’ )
waktu malam hari.
*, Mendengar kayu rebah waktu malam, tanpa
angina rebut.
*. Bila ada keluarga terdekat calaon
mempelai yang meninggal dunia.
Menunda
Perkawinan (Begelanggang ) bisa satu tahun, bisa dua tahun dan bisa
tidak jadi sama selali. Untuk memutuskan mata rantai menuda perkawinan (
Begelanggang ) jaman dahulu, apa
bila sang perempuan sudah ditiduri (
diguang ) orang lain.
c. JENIS PERKAWINAN
Ada
beberapa jenis perkawinan atau Jadi
Saump menurut Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak Kantu’, diantaranya :
1. Kawin lebih dari satu orang;
Adat istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ tidak menganut perkawinan poliandri dan
poligami. Masayarakat Adat Suiku Dayak
Kantu’ justru menganut perkawinan “monogami” melanggar hal tersebut
sanksi Hukum Adat sudah menghadang
misalnya “ Perubahan Hukum Adat Ke-II,
besarannya 100 buah dan menurut Revisi ke-IV
150 buah”.
-37-
2.
Kawin
Mali; dapat diletakan sebagai
perkawinan yang menyimpang dari aturan adat yang sebenarnya, misalnya antara
Bibi dengan keponakannya atau sebaliknya; perkawinan seperti ini sangat tabu
menurut Adat Suku Dayak Kantu’, apa lagi jika menurut Adat hubungannya sangat
tekat. Hukuman ini sangat berat, jaman dahulu dilakukan dengan hukum tampun;
hukuman mati keduanya ditusuk dengan bambu.
( Lihat, LH Kadir 2016 : 105 ). Sanksi Tampun ini tidak diberlakukan lagi
seiring dengan perkembangan jaman dan
kemanusiaan. Bila malinya boleh dikatakan sudah jauh sanksi hukumnya disebut “selapat” dengan
besarannya “ Berupa piring porselen satu singkap ( satu buah ), mangkok satu buah
dan Tempayan ( Tepayan ) satu buah”. Akan tetapi kalau malinya sudah
sangat dekat misalnya adik bapaknya sudah barang tentu Babi yang beratnya tidak
kurang dari 45 kg berjumlah 1 ekor sampai 7 ekor diberlakukan pada Adat Pemali;
tergantung jauh dekatnya jarak keturunan kedua mempelai.
3.
Kawin
betaban/ rari; perkawinan seperti ini karena satu dan lain hal tidak mendapat
persetujuan dari orang tua atau ahli waris kedua mempelai. Biasanya kedua
mempelai lari kepada keluarga atau fungsionaris/ pemuka Adat, minta
perlindungan sekaligus minta diurus
perkawinan mereka. Sepanjang hubungannya
tidak tersangkut dalam masalah mali atau tersangakut hukum Adat atau hukum
positif perkawinan, kawin seperti ini dapat diurus oleh Pemuka Adat dimana
mereka minta perlindungan.
4.
Kawin
Betaban; berarti seorang laki- laki melarikan perempuan pujaan hatinya
yang akan dijadikan istri; dalam konteks perkara ini naban dapat diartikan dua
jenis :
a.
Naban pulai ; berarti membawa
istrinya lari kedalam keluarga suami. Yang semula suami masuk kekeluarga istri
(Nguang kebikik istri ) lalu dengan alasan satu dan lain hal laki- laki membawa istrinya pulang kerumah
orang tuanya.
b.
Naban
rari; melarikan anak gadis orang
untuk dijadikan istri. Ada keyakinan
Masyarakat Dayak Kantu’ pada jaman
dahulu dengan mengawini wanita tertentu akan membawa rezeki. Keyakinan seperti inilah yang mendorong terjadinya
“Kawin
Naban”
atau “Kawin
Ngeramaeh”. Menurut Adat
Masyarakat Dayak Kantu’ dapat dibenarkan. Dan biasanya perkawinan semacam ini
tidak menyebabkan cecok antara keluarga kedua belah pihak, karena pihak yang
melarikan anak gadis orang memahami
betul kesalahannya, sehingga mereka membayar adat melebihi yang sudah menjadi
ketentuan. (Lih, LH Kadir 2016: 107 ). Namun demikian bila belum tercapai kata
sepakat para pihak, perkawinan semacam ini belum boleh perkawinan, bila dilangsungkan,
maka perkawinan itu dianggap tidak sah dan menurut Masyarakat Adat Dayak Kantu’
dipandang sebagai “PERZINAHAN/ BUTANG BEDUSA” atau paling tidak hukum salah basa
tentunya sudah pasti atau kemungkinan pula hukum Adat kesupanan ( hukum Adat
melanggar sopan- santun) atau boleh jadi Sait Semaya.
-38-
5.
Berangakat
idup, adalah menikahi suami atau istri sah orang lain, Dan orang yang melakukan perkawinan semacam ini
biasanya dikucilkan, sampai- sampai orang tidak mau kawin dengan keturunan
(anak- cucu ) nya.
6.
Berangkat Tulang
seorang
laki- laki atau Perempuan yang sudah ditinggalkan pasangannya meninggal dunia, Masyarakat Adat Dayak Kantu’ menyebutnya
“Balu”. Kalau seseorang yang menikah sebelum diadakan
adat pelepaeh
balu; {karena suami atau istri
yang meninggal menurut Adat dan Budaya Dayak Kantu’ bila belum diadakan adat
Pelepaeh Balu walaupun sudah meninggal mereka masih dianggap suami atau istri
sah} ( Pelepaeh balu adalah melepaskan
hubungan suami atau istri dengan yang sudah meninggal ) belum boleh
berkeluarga lagi.
Kalau melanggar ketentuan tersebut yang
artinya kawin sebelum Pelepaeh Balu, maka dianggap menyalahi Adat yang disebut “
Berangakan Tulang”. Melanggar Adat ini, dapat dikenakan sanksi
hukum “Pati Nyawa”, karena dianggap kelalaian atau dianggap
membunuh. Praduga tersebut boleh dikatakan sangat wajar, karena orang boleh
mengatakan meinggalnya suami/istri adalah disengaja/ dibiarkan atau tidak
dirawat dengan baik waktu sakit agar bisa menikah dengan orang lain setelah
suami atau istrinya meninggal.
7.
Sedangkan adat Pelepaeh Balu, adalah sebagai berikut :
a.
Satu ekor ayam yang sudah dewasa.
b.
Satu potong besi untuk pengkeras ( Papung
besi untuk pengeraeh semengat).
c.
Uang tidak ditentukan besarannya.
Sedangkan tata cara pelepaeh balu, “ Manok dikitau (Ayam dikibaskan diatas
kepala yang bersangkutan ), setelah itu Ayam disembelih dan darahnya dioleskan
didahi ( disengkelatn)nya”.
Sedangkan menurut Adat- istiadat Dayak
Kantu’ kalau kena sanksi hukum “Pati Nyawa” sebelum diserahkan
kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk diadili di Pengadilan Negeri,
demi mengembalikan keseimbangan alam “relegio magis”, terlebih dahulu
harus dikenakan sanksi hukum adat “Pati Nyawa” , adalah sebagai
berikut : “ Menurut revisi Adat dayak
Kantu’ ke II, besaran Pati Nyawa 240 buah, setelah direvisi ketiga besaran pati
nyawa menjadi 250 buah; kemudian pada tanggal 6 sampai dengan 9 Mei 2006 sanksi hukum Pati Nyawa menjadi 1.500 buah
dengan rincian sebagai berikut :” Satu
Payah Jala Pengganti Rambut sebesar 50 buah, sebuah Telaga pengganti mata
sebasar 60 buah,
-38-
sebuah rangkei’ pengganti gigi sebesar 75
buah, satu laras sumpit pengganti hidung
sebesar 70 buah, sebatang besi buku’ pengganti tulang sebasar 15 buah, satu
buah gong keliling delapan pengganti tempat duduk sebesar 120 buah, satu pucuk
senjada api ( Senapan ) pengganti paha sebesar 80 buah, satu buah gong keliling
Sembilan pengganti suara diharagai 150 buah, satu buah bedil pengganti paha
sebesar 150 buah, satu buah ntali ujan pengganti nafas sebesar 90 buah dan satu
buah gelegiau pengganti badan sebesar 500 buah;ditambah dengan 20 singkap
piring porselen dan menanggung biaya penguburan, diharagai 100 buah”.
D. TATA CARA
HARI JADI SAUMP
Perkawinan yang dianggap sah adalah harus
berdasarkan adat baik sebagai budaya maupun sebagai hukum, sehingga bagi yang
beragama Nasarani ( Kathokik atau Kristen )
atau pun agama lainnya, hendaknya menjalankan/ diberkati menurut peraturan agama yang dianutnya, baru kemudian
melakukan Upacara Adat “Jadi Saump”.
Tata cara Adat dalam upacara “Jadi
Saump” sekaligus mengukuhkan kedua mempelai dalam hidup berumah tangga
dan seluruh keturunannya agar mendapat persamaan hak dan kewajiban didalam
keluarga; terutama atas benda yang tidak bergerak sebagai warisan atau milik
suami maupun milik istri yang diwariskan orang tuanya, misalnya tanah dan buah-
buahan.
Ini dia “TATA CARA /UPACARA ADAT JADI
SAUM/ PERKAWINAN dalam masyarakat Dayak kantu’ :
ALAT- ALAT DAN BAHAN YANG DIPERLUKAN :
Pada
jaman dahulu ( mungkin Jaman pertengahan ), yaitu :
1. Pada jaman dahulu: satu buah selung ( Gelang
Tembaga dipakai oleh mempelai perempuan ); sekarang diganti dengan dua bentuk cincin emas belah rotan ( dipakai
Mempelai Laki-laki dan Perempuan ).
2. Mempelai laki- laki memakai celana (serawar adat ) dengan baju adat rompi lengkap
dengan tengkulas ( selutup lengkap
tengan telujuk bulu Ruai ), kemudian tangkin
(Mandau ), Terabai ( Perisai ) dan perlengkapan laki- laki lainnya.
3. Mempelai Perempuan mengenakan Kain Bindu’ (
Kain ikat khas Dayak Kantu’ yang dilengkapi dengan koint), Ntali ujan, berselendangkan
kepua’ Kumbu” (Selindang ikat khas Dayak Kantu’) lengkap dengan perhisan
Perempuan lainnya.
-39-
4. Gong Keliling Sembilan satu buah dialas
dengan Kepua’ Kumbu’, tempat duduk
kedua Mempelai.
5. Satu buah Baku’ ( Tempat menyimpan Sirih-
Pinang, lengkap dengan gambir, Jerangau, Kencur / Cekur dan lain- lain ),
dilengkapi dengan Kacup ( Alat pembelah buah pinang).
6. Beras secukupnya dengan satu bilah parang:
diinjak oleh kedua mempelai, sebagai pengkeras ( Pengeraeh semengat ).
7. Ayam; bila laki- laki sudah Jantan ( Tumbuh
ekor/ rambai ) bila Betina sudah bisa bertelor (Sudah dara ).
8. Satu buah Mangkok Putih, untuk menadah Darah
ayam hasil sembilhan setelah bekitau.
9. Satu buah Par ( Napan dari kuningan ).
10. Beras dan Tangkin (Mandau ) yang diinjak
kedua mempelai, untuk pengkeras.
Perubahan tatanan Budaya dalam kehidupan
Adat Suku Dayak Kantu’; khususnya dalam
upacara Jadi Saump secara alamiah lebih
disebabkan karena bertambahnya jumlah
penduduk dan komposisi penduduk yang
mendukungnya. Disamping itu perubahan Upacara Jadi saump, terjadi karena
kebijakan yang sengaja digariskan untuk memasukan nilai- nilai baru yang
diangap lebih sesuai untuk mencapai kondisi kehidupan berumah tangga yang lebih
baik, sejahtera dan lestari.
Penataan struktur Rumah Panjai menjadi
rumah individu dalam Desa masa kini, sangat besar pengaruhnya menyangkut
perubahan pandangan hidup, sudah barang tentu berimbas kepada tata cara – upacara “Jadi Saump”, maka dengan
demikian Adat Perkawinanpun mengalami
perubahan; untuk itu ditemukan bahwa “Selung
(Gelang Tembaga)” diganti dengan “Cincin emas belah rotan”
adalah karena perubahan tersebut; walaupun yang lain masih dipertahankan
dan (semoga)tetap dipertahankan dan lestari terus.
PERAHU/ PERAU RUNDAI
Kalau Laki- laki yang masuk kedalam
keluarga (Bileik ) perempuan disebut “nganjung
bini” , artinya mengnatar laki- laki ketempat Perempuan. Waktu mengantar keluarga Perempuan tidak ikut
serta. Sebaliknya kalau perempuan yang
masuk kekeluarga Laki- laki disebut “ngambei’
bini”, artinya keluarga laki- laki menjemput mempelai Perempuan. jaman dahulu, mungkin dikarenakan Suku Dayak
Kantu’ kebanyakan hidup dibantaran Sungai, khususnya Sungai Kapuas, menjemput
mempelai Perempuan menggunakan perahu, yang disebut “Perahu (Perau ) rundai”,
yaitu Perahu/ Sampan yang dihiasi dengan
klain tenun ikat khas Dayak Kantu yang dinamakan Kain Bindu’/ Selendang ikat.
-40-
Setelah sampai di Rumah Keluarga mempelai
laki- laki, mempelai Perempuan disambut dengan acara Penyambutan tamu ( Bealu- alu)
dengan seni suara yang disebut beanseng- anseng, sesampai didempan
pintu masuk seorang pembaca mantra mengitau mempelai dengan ayam, dimana
pembaca mantra menghadap ke matahari terbit, secara harpiah ini menggambarkan,
agar upacara/ tata cara berjalan lancar
dan tamu (pengabang ) diberikan
keselamatan. Secara terselubung
menghindarkan mungkin ada yang berniat jahat atau membawa azimat ( sepeti
racun) tidak berguna pada waktu acara tersebut, atau dengan kata lain Tuan
Rumah dan Pengabang diselamatkan dari mara bahaya; dan darah ayam hasil
sembelihan ditadah didalam mangkok dan satu persatu tamu
(Pengabang) dioles ( disengkelatn
) dengan darah ayam tersebut.
Lafah mantra itu kira- kira begini bunyinya
: “
Labuh daun buluh de tangkap ikan dungan
antu ka munuh ine’ Andan nyimpan kemuan” mantra ini dibacakan disetiap
orang yang disengkelatn.
Untuk selanjutnya Ayam tadi dimasak untuk
makan para tamu – undangan ( Pengabang ) yang datang menghadiri upacara/ pesta
Perkawinan – Jadi Saump tersebut.
BETEKAR
Ketua Adat ( Temenggung, Pateh, Kebayan atau
Pemuka Adat) memimpin rapat adat atau siring disebut “BETEKAR”, yang dihadiri oleh orang tua kedua mempelai,
kedua mempelai, ahli waris dan pengabang yang datang menghadiri Acara “Jadi
Saump”
gunaa menerangkan “Adat- istiadat dan budaya tentang hidup berumah tangga “ , yang
sekaligus mengumumkan tata tertip dalam Pesta pernikahan “Jadi saum” kepada
para pengabang.
KEDUA MEMPELAI DUDUK BERSANDING
Pada saat upacara/ pesta “Jadi Saump” kedua mempelai duduk
bersanding diatas Tawaq, yang sudah dialas dengan Kain Ikat khas Dayak Kantu’ (
Kepua’ Kumbu’) dengan pakaian
Adat lengkap ( laki- laki dengan serawar Adat dan Baju rompi Adat ,
dilengkapi dengan tengkulas /selutup yang dihiasi telujuk/ Bulu Ruai, dan
mempelai Perempuan memakai kain bindu’ dengan selendang (Kepua’ Kumbu’ ) mereka berdua duduk diatas
tawaq dan kaki kedua mempelai menginjak Tangkin ( Mandau ) yang diletakan
diatas beras, sebagai Pengkeras ( Pengeraeh Semengat).
-41-
Di beranda Rumah Panjai yang disebut “Ruai”,
pas ditempat duduk para ahli waris disediakan Tempayan untuk menyimpan
sumbangan berupa uang dari hadirin ( Pengabang ) yang disebut “Cepu’
“, tamu (pengabang ) yang memasukan uang sumbangan tersebut kedalam
tempayan dihadiahi air Tuak ( aei’ Beram), tujuan untuk membalas sumbangan yang
dimasukan tersebut.
BEKITAU – BEBIAU
Pada acara “Bekitau” yang artinya
“Mengibaskan ayam kampung diatas kepala kedua mempelai disertai tukar cincin kawin ( Cincin belah
rotan dari emas), jaman dahulu mempelai
laki- laki memasukan “Selung” kelengan kiri mempelai
Perempuan. Dalam acara Bekitau hadirin dilarang ribut, atau membunyikan gendang
(Betebah ) sebab dalam Tatra cara Jadi Saump, acara bekitau diyakini sebagai
acara yang sangat sakral.
Pimpinan “Bekitau “ berdiri
membaca mantra, pembaca mantra itu tidak harus Perangkat Adat atau Manang, bisa juga orang biasa yang lebih tua dari
kedua mempelai yang masih hidup orang tuanya lengkap ( Masih punya ayah – ibu),
secara harfiah ini menggambarkan jika anak mereka lahir, anak itu masih punya
orang tua lengkap sampai dewasa. Berikut bunyi doa dalam “BEKITAU JADI SAUMP’
:
-I-
(ENTERAN PERTAMA )
*.Bepun “Ngitau Urang Jadi Saump” dalam “Nikah Adat “
Ipuh tumbuh
langgai memaluh, ninggang betang dulang kawi, basa kitai mayuh agei’ di kenang,
adat ngitau urakng jadi, ngitau _________(sebut Nama Laki- Laki )
nggau__________(sebut Nama Perempuan ) jadi melaki bini;
RAJA SEBAGEDAH
*. Pitu’ basa Raja sebagedah; nempa’ tanah belenyang lenyut, bayah
sepenyangkah tapak kaki.
*. Pitu; basa Raja Segedi’ ; nempa’ aei’ deraeh anyut, linang- lingang
tasik lantang ngelayang simpang batang Kapuaeh, suba’ ngelayang Batang Melawi.
*.
Pitu’ basa Raja Lukung; nempa’ Tanjung panjai bejulut, enam betelan
delapan betibaeh, ujung sepengelung belakang taji.
-42-
*.
Pitu’ basa Raja Bilu; mupu kayu sedua rumput, keulu- keilei’,
sida’ dua menyade’ ngiga’ sape’ leman babaeh, tubah nyadi Tapang Sebangki.
*.
Pitu’ basa Raja Bandan; nanam Bulan mansang surut, padam terang
diganti banang matahari.
*.
Pitu’ basa Raja Juruk; nempa’ Rampu’ Tengang tusut, mulaeh akar
bepulaeh- idaeh, bisa’ mulaeh pandai nali.
*.
Pitu’ basa Raja Bandang; nanam pelempang Tapang Nsusut, gaga rindang
ruai lalang mantang belembang ubung maeh, rindeing- randang nadai lapang
nengkebang punggang Lang menari.
*. Pitu’ basa Raja Bantan; nanam Rutan Uwei Karut nggau ngerumpang rigang
Kampung Kempaeh, tubah nyadi leka Uwei.
*.
Pitu’ basa Raja Mantala; nempa’ mensia mula idup, siku’ indu’ siku’
laki, bejaku’ tau’ beletaeh- letaeh agei’ menyala tapa’ kaki.
*.
Pitu’ basa Buinasi; nanam padi sida’ dua Pulut, tubah ngelala
mata beraeh, mula nyadi leka padi.
-43-
-II-
(ENTERAN KEDUA )
PEJADI SEBUAH KANA
*. Pitu’ pejadi Apai Karung Besei’
; diau ditisi langit merintei’, jejenang
urakng saur berinteing, lembang Pemuang
nda’ alah singkang petei’ pelawik.
*.
Pitu’ pejadi Lajang Sandang, jejenang urakng Lelayang Gaseing, punjung
sebemban bejumpung, nda’ alah serambung ambueh niteik.
*.
Pitu’ pejadi Rayung, digelar pangkung gung nyareing, mendeing
serindeing ditebing tasik.
*.
Pitu’ pejadi Apai Lembu, selalu ngasu buleih jelu tiseik, jenang
Urakng Sinaneing Keleing.
*.
Pitu’ pejadi Nuan Pungga’, jenang Uma’ ia Lumpung Mandeing, sepan
bandam ngelumbang, Pauh Nesam Tepeing sabungan Manuk Bureik.
*. Pitu’ pejadi Adei’ Rembuyan, jenang jenkuan ripang buing, beambo’
menyade’ nggau petei’ Pelaweik.
-III-
(ENTERAN KE TIGA )
PEJADI TUNGGUL PATIH
Liba-
libu keilei’ – keulu.
*. Bakatu’ pejadi Aji Melayu, ngerebah kepupu Tunggul Padi.
Liba
Libai kelaut lawai,
*.
Bakatu’ pejadi Indai Lendai, beambai nggau Apai Bujang Berani.
Jawa
Jingan Pauh Nesam,
*. Bakatu’ Pejadi Patih Raman, rindang keran jari kanan nanam Meriam
Bedil Besi.
Tanah
Jawa Eropah,
*. Bakatu’ Pejadi Patih Landa, mullah Menua di Maja Pait, mandei’ diaei’
pancur Aji.
Sanggau Pulau Nsaman,
*.
Bakatu’ pejadi Patih Cundau, serawar ijau tabur kunyit, kindang- kindang
nyandang apang, mandang punggang tangkai ati.
-44-
Sungai
Aya’ Kiara’ Jangkit,
*.
Bakatu’ pajadi Patih Mara’, nipan pegela’ Buing Singit, bisa’ bedara’
pandai besampi.
Sepauk
Adau Garam.
*.
Bakatu’ pejadi Pirang Buk, tupuk caruk Aji.
Belitang
Ujung Nsar,
*. Bakatu’ Pejadi Patih Carang, timbau Pencalang kena’ dirakit, jungkang
ditampang langgah kemudi.
Simpang
Kampung Menyumbung,
*. Bakatu’ bejadi Nanang Cawan, nebang Mang ketiang suit, rumah manggah
Nanga Melawi.
Ketungau
Lubuk Lindung,
*.
Bakatu’ pejadi Patih Rimong, ngayuh ke Bandung timbau jungkang, kesam
luan karam singit,nemu papung tebelian melepung dikelembung kerubung lumba-
lumbi.
Nsilat
Gunung Medang,
*.
Bakatu’ pejadi Patih Carap, ngadap selikap ayau dibukit, rumah pat
tinggei’ empat kebat kekawat paku besi.
Seberuang
Nanga Seleban,
*.
Bakatu’ pejadi Patih Sumba, nebang batang tebelian lampit, nunga’ panti
Raja Babi.
Semitau
Nanga Kenibung,
*.
Bakatu’ pejadi Patih Gura, nebang ara melintang Nanga Semitau Jepit,
rumbang ditensang batu pinyang diberei’ Abang matahari.
Mersedan
Sungai Garung,
*.
Bakatu’ pejadi Patih Dayan, nempa’ Penawan bebelit langit, tubah
bedengah nggau raja Babi.
Kelempayan
Nenalan Terung, simpang Padan kelandau Luit,
*. Bakatu’ pejadi Patih Rangkang,
betunang nggau Dayang Bunsu Genali.
Sungai
Gandal Nanga Tawang, simpang Pekarang Nanga Suait,
*.
Bakatu’ pejadi Abang Payang, beaku’- aku’ lalau ngelaban sida’ ulu
sebalang, menang nancang manuk bulit, meretang ka’ bulang Buinasi.
Selimbau
Nanga Merkadung,
*.
Bakatu’ pejadi Patih Munau, tajung ijau tabor kunyit, lancap mantap
meniri- niri.
Memaluh
nempuh ke Menua Ujung,
*.
Bakatu’ pejadi Patih Manuh, lebau nimoh ipouh palit, nemu batu Lelayang
Besi.
-45-
-IV-
(ENTERAN KEEMPAT )
PEJADI TUNGGUL DEMUNG TUAI
*.
Pitu’ basa Demung Panteing, ngembing tebeing sungai raya betemu nggau
Raja Buya/ buaya, tengan nyangak aei’ tuba tiga puluh tiga jalung temaga datai
ke Nanga Lubuk Seguran.
*.
Pitu’ basa Demung Merbai, ulit besai kayau raya, ngulit kedayang imbuk
Benang sesat lelang ngiga’ lemba’, nitih ke sikin beladin tulang, menggang
dibelakang babi belang ngelayang simbang danau Lebuyan.
*. Pitu’ basa Demung Temiuk, Tuai kitai Kantu’ di Nanga Kantu’ nyungkah
ketikuk nitih kesiku’ Indu’ Buaya, datai ke ntu’ ia tau’ ngayun ucu’ ngitau
seguran.
-V-
(ENTERAN KE LIMA )
PEJADI DEMUNG BIAK
*. Pitu’ basa Demung Burak, tambak jak pisang undang, duduk jejenih
pegari rita.
*.
Pitu’ basa Demung Ruei’, rumah tinggei’ tangga’ mawang, rumah
nanggah jalai raya.
*.
Pitu basa Demung Pantau, nabur ke berau, tau’ kitau- kitau nyadi
gamang nitih menitih nyangka’ pengaya.
*.
Pitu’ basa Demung Gambih, ditulung upih Mayang Pinang, mpai beumpai
nyau nyadi kemara.
*. Pitu’ basa Demung Nutup, nutup lindung ngelaban siang, ntak jak
kereih bisa.
-46-
-VI-
(ENTERAN KEENAM )
TUNGGUL RATU
*.
Ratu Inun, belamun dipun apung riap rindang gaga ruai
kerapa nepan ditada garuda nari.
*.
Ratu Tunah, rebah rumah pulai nyadap kena jerah pasah
padi.
*.
Ratu Kebang, lesi tumbang detinggang lampang kepayang
sirap, rindang gegayah ruai rakah duduk nyelengah pulai nyembah raja babi.
*. Ratu Nisai, pindah bebai ketemawai Sekapat, gaya rindang
Ruai Lalang ngentang dipuncak benang Matahari.
*.
Ratu Nila, nginang uma lempa’ nsilat, pidah bai ke Bika’ Jabay, makai ditanggai
nadai nyadi.
-VII-
(ENTERAN KE TUJUH )
TUAI MELABAN
*. Pitu’ jadi De’ Muyak, anak ngka’ sida’ Ntipan belaki nda’ lama’ kelaman lela’ dudi Belia’
penantang ubung.
*.
Pitu’ jadi De’ Cemegi, mati de tali tengang Pengilan, belaki udei’
dilaman mati dudi tanggi tudung payung.
*.
Pitu’ jadi De’ Memai, tuai sida’ Rembai makai di langgai Sungai Kelempayan, belaki
pulai di laman pampai, dudi tandai pelempai ubung.
*. Pitu’ jadi De’ Inouh, sayau
luluh dilaman Ntipan belaki memaluh, dudi dukuh tujuh lumpung.
*.
Pitu’ jadi De’ Sirah, anak tengah sida’ Melaban, rindang
gegayah, tuai rakah ngentak rumah nengkadah
jungah punjung Sediyung.
*.
Pitu’ jadi De’ Lia, sayau nyaya demunua Demam, belaki udei’
dilaman Sempadei’ dudi kelambei’ tating gerunung.
*.
Pitu’ jadi De’ Undau, tuai sida’ sekalau, sayau nyau dipanggau
liantan, ridang gegayah ruai rakah ngentak rumah dipunjung rabung.
-47-
*.
Pitu’ jadi De’ Linyang, tuai di
Bengkayang mangkang tekang gudang garam, linsan- linsan bayan pakan pulai
ngancau temakau apung.
-VIII-
(ENTERAN KEDELAPAN )
TUAI KANTU’
*.
Pitu’ jadi De’ Meragi; sayau rugi di panti laki nebang Pengerang, rindang gegayah tuai
bungah duduk melingah ngayam perebah ujung Nyatu’.
*.
Pitu’ jadi De’ Sikal; mati nugal debareing batang, sayau danjan
Burung Bayan nda’ tetipan keleman padi rampu’.
*.
Pitu’ jadi De’ Lindang; nempian riam lubuk Lelayang, rindang gegayah
tuai rakah ngentak Rumah ditumpah pepah ranah Nanga Kantu’.
*.
Pitu’ jadi De’ Dura; ngentak Menua Batang Sebangkang, duduk
nyelingah tuai rakah ditumpah pepah Sungai Sebiru’.
*.
Pitu’ jadi De’ Burei’; belaki ngepei’ kebelakang aei’, laci- laci
ruai peridi, mandei pagi niti panti Batang Sagu’.
*.
Pitu’ jadi De’ Menta; sayau nyaya delaba menawa Buntak Balang,
Sayau tumpat tuai lancap dekebab sayap Buntak Indu’.
-IX-
(ENTERAN KESEMBILAN )
TUA’ MELABAN
*. Pitu’ kitau Tua’ Tebang; bedandei’ rindang nepan di dan Kiara’ Riung.
*. Pitu’ kitau Tua’ Dendan; ujan kaya tempuga’ laka’ lebau jejakung.
*.
Pitu’ kitau Tua’ Mundan; pemungga’ gempa’ ngelintang semenang tujuh
lumpung.
*.
Pitu’ kitau Tua’ Tagi’; jepit leka, betunang nggau Dayang Bunsu
Remaong.
*.
Pitu’ kitau Tua’ Buncil; betung betanda, suba’ mula besandung keh
Betung.
*.
Pitu’ kitau Tua’ Geni; sisi menua, jenang Urakng Abang puang
kibung.
*. Pitu’ kitau Tua’ Pinggang; perumpang bala, ninteing rending nadai
lapang, ngerumpang rigang bala betugung.
-48-
*. Pitu’ kitau Tua’ Dendu; ngkudu diuma masau jera redam itung.
*.
Pitu’ kitau Tua’ Bentaei’; apai Isa, tubah adai depengkelung Tedung.
*. Pitu’ kitau Rampeing; sepuh ngelulouh jerenang itung.
-X-
(ENTERAN KE SEPULUH
)
TUA’ KANTU’
*.
Pitu’ kitau Tua’ Andun; ntum perangsang, nyakap serenti babi
Lamba’.
*. Pitu’ Kitau Tua’ Kuri ; mati de tali Nanga Sejarang, belaya’ ke
ulun salah pedua’.
*.
Pitu’ kitau Tua’ Sanda’ ; puang lubang, nugung kedurung Antu Pala’.
*.
Pitu’ kitau Tua’ Rimpeih; macan kedang, pandai nebang surung kiba’.
*.
Pitu’ kitau Tua’ Bunyau; dua setamang, besandung ke Betung tinggei’
lima’.
*.
Pitu’ kitau Tua’ Rampai ; Bakung nyawang ngerumpang pengerang ulu
Nsana’.
*.
Pitu’ kitau Tua’ Sanggau ; apai Sengkumang, bisa’ nyerang raya
ngerekaga’.
-
NUSUI
MIMPI –
-XI-
(ENTERAN KE SEBELAS )
-. Mimpi dibere’ duit Raja
Langit, sedum buncit kita’ dua
simpan.
-. Mimpi Bedagang Mayuh barang, kita’ dua rindang barang macam ragam.
-. Mimpi ngasu de Bukit Setebu, bulih jelu babi dipan.
-. Mimpi ngemuah di Tampun Juah, gayah gayah nyamah buah rian.
-. Mimpi Beumai kaki kelempayan Parung Rejan, rindang keran, randah Bulan ngayam Padi
Pandan, nadai puntan ngayam kuyan padi.
-49-
-XII-
(ENTRAN KE DUA BELAS )
BESAGU AYUH.
KISAH RARAK AKAR PAREI, beayuh
kesungai ngelangai aei; beayuh ke pantai alai mandei’; beayuh ke batu baka de
ginei’- ginei’; beayuh ketapang deinggap Muanyei’; beayuh kebukit becucung
tinggei’, beayuh ke Terang Bintang Parei’, beayuh ke Bulan tengan nyilei’.
KISAH RARAK AKAR TUBA, beayuh ke
sungai ngelangai kerapa; beayuh kepentai alai nyala; beayuh ke batu segala-
gala, beayuh ke Tapang nyangka’ perinda;
beayuh ke bukit cucung lima, beayuh ke Terang Bintang Tiga; beayuh ke Bulan
tengan Purnama; beayuh ke tanah Pulanggana.
“IDUP LAMA PANJAI NYAWA, TEGUH BATU
TEGUH KEPALA, TINGGEI’ SUKAT TINGGEI’ SEMENGAT, GAYU GURU GERAI NYAMAI, NADAI
APA NADAI MARA …….. IDUP BELAMA- LAMANYA
**SUMBER: Disalin dari” BUAH PENGAP” : Aya’ JAMBI,
Desa Nanga Kantu’, tanggal 6 Pebruari 1997, oleh : JUNAIDI INUK.
Ayam disembelih, darahnya ditampung dimangkok
porselen/ Mangkok Batu Putih. Menarik
untuk diperhatikan bahwa darah ayam tadi, diedarkan kepada undangan ( Pengabang ),
terutama orang-orang tua. Suku Dayak
Kantu’ meyakini “ Jika darah ayam beku dan padat, pertanda pasangan akan hidup serasi
sampai tua; namun bila darah ayam itu bergelembung- gelembung dan cair pertanda
pasangan itu dipercaya akan tidak langgeng”. Darah ayam tersebut
kemudian disengkelatnkan ( dioleskan ) didahi kedua mempelai pertanda sahnya
perkawinan.
-50-
SELESAINYA ACARA PERKAWINAN
Menarik sekali untuk disimak pada acara
selesai upacara “Jadi Saump” , ketika
kedua mempelai mau meninggalkan tawaq
tempat duduk, terjadi tarik menarik antara pihak Mempelai laki- laki
dengan pihak mempelai Perempuan ( seperti tarik tambang) untuk menetukan
sebelah mana yang kuat/ menang; lalu yang kalah diberi air tuak (Aei’ Beram)
sampai mabuk, yang kemudian dilanjutkan dengan acara bebas. Tapi ini bukan
acara sakral, cuma main- main.
-51-
BAB V
ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA,
MENGIRINGI HIDUP BERUMAH TANGGA
Perubahan sturktur Pemerintah Desa baik
langsung atau tidak langsung telah mengakibatkan polemik didalam Masyarakat
Adat Suku Dayak Kantu’. Masalah- masalah sosial dan politik dapat timbul dan
beberapa diantaranya cukup penting diperhatikan oleh Pimpinan/ Fungsionaris
Adat dan Pemuka Masyarakat, dalam hal ini akibat- akibat yang menyangkut
masalah Adat Perkawinan.
Terbentuknya Desa, berarti menetapkan desa
sebagai wilayah kesatuan administratif, dan dengan sendirinya kebiasaan dan
adat “Rumah
Panjai” perlahan tapi pasti
dipinggirkan. Dan sekaligus memaksakan Masyarakat ( Adat ) untuk tunduk
kepada pencatatan Sipil Negara, guna menerbitkan “Sertifikat Perkawinan”.
lalu kenapa Fungsionaris Adat seperti Temenggung tidak diakui haknya oleh
Negara untuk menerbitkan “ Sertifikat/ Surat Keterangan Jadi Saump”
?. Pertanyaan ini memaksa kita
untuk berpikir ulang “Apakah Ini berarti secara tidak langsung
Negara telah menghapus adat- istiadat yang dibangun Nenek- moyang atas dasar genealogis?”.
Secara administratif, seharusnya hukum
Negara dan tentunya ditrapkan diwilayah pedesaan memberi peluang untuk menjalankan dan menggunakan hak dan
kewajiban yang sama dengan hukum adat.
Tidak jarang hukum perkawinan modern
berbenturan dengan Adat tradisional,
dimana masyarakat hukum Adat berpegang kepada adat- kebudayaan yang
diyakini mengandung relegio magis, sementara Negara berpegang kepada peraturan
atau hukum Negara.
Sikap kompetitip dapat juga muncul pada faktor kepemimpinan Adat, secara tradisional seorang
Temenggung dipilih warga masyarakat Adat
sebagai Pemimpinan Tertinggi dalam lingkungan
Masyarakat Hukum Adat itu sendiri, terutama Masyarakat Hukum Adat Dayak Kantu’; karena
dinilai memiliki kelebihan- kelebihan tertentu, khususnya menyangkut adat dan
budaya.
-52-
Dengan demikian seorang Temenggung adalah
Pemimpin informal yang mampu memelihara “TRADISIONAL ADAT” dan oleh karena
itu seorang Temenggung dihormati serta disegani sebagai elit dalam masyarakat
hukum adat.
Karena seorang Temenggung sangat
diharapkan mampu menyerap aspirasi dari masyarakat hukum adat untuk disampaikan
kepada mitranya Pemerintah, namun kenyataannya dalam menjalankan
kepemimpinannya seorang Temenggung
tidaklah leluasa, karena masih ada intervensi oknum Pemerintah, dalam tanda
kutip masih terjadi.
Disamping itu masih ada status yang lain yang mempengaruhinya, seperti tokoh-
tokoh Masyarakat, tokoh agama, tokoh politik inilah salah satu penyebab yang membuat Adat –
istiadat dan budaya Suku Dayak Kantu’ tercerabut dari akarnya, termasuk
didalamnya “Adat- Istiadat dan Budya “Jadi Saump” – perkawinan.
Namun demikian generasi muda Masyarakat
Hukum Adat Dayak Kantu’ tetap mempertahankan “Adat- istiadat dan Budaya Dayak
Kantu’ “ , walaupun benturannya sangat berat.
Dalam perubahan Adat Dayak Kantu’,
memandang Piring Porselen adalah barang yang sangat berharga; oleh karenanya “Piring
Porselen” digunakan untuk menakar sanksi Hukum Adat, yang disebut “buah’.
Namun sekarang karena “Piring
Porselen” jarang dijumpai; maka buah dapat diganti oleh mata uang
rupiah, dengan menaksir harga piring porselen dipasaran, yang tentunya sudah
ditetapkan dalam musyawarah adat yang
khusus diadakan untuk itu.
Karena Hukum Adat Dayak Kantu’ itu dinamis
dan terbuka, maka untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman perlu sekali
ditinjau lima tahun sekali.
Walaupun beberapa diantara hukum Adat telah dipaparkan
diatas, namun untuk lebih jelasnya baiklah diuraikan sekali lagi didalam bab
ini: diantaranya :
-53-
A. ADAT NGUANG URAKNG
1.
Menurut ketantuan hukum adat dayak kantu’ dalam
perubahan ke II, tanggal 1 Januari 1995, seseorang yang melakukan perbuatan “Nguang
Urakng” bagi komunitas Dayak
Kantu’ dikenakan sanksi Hukum 10 buah, namun diluar komunitas mendapat ganjaran
25 buah. Penunjuk jalan ( te nganjung urakng ) atau perbuatan yang dapat disamakan
dengan itu dikienakan sanksi hukum 15 buah, demikian juga kalau orang tua
perempuan menyembunyikan perbuatan tersebut dan tidak melaporkan kepada
pengurus Adat, sudah pasti denda 15 buah menimpanya.
2.
Dalam perubahan ke III, tanggal 6 Mei 2001 , mendefinisikan “Nguang Urakng”
adalah perbuatan seorang laki- laki ( baik Bujangan maun Duda ) datang malam
hari bagaikan pencuri mau tidur bersama dengan
perempuan ( baik masih gadis maupun sudah janda ). Sementara “Nganjung
Urakng”, mengatar orang, berarti menunjukan jalan. Sanksi hukum masih
tetap sama dengan ketentuan dalam perubahan ke II. Sebaliknya bila orang tua Perempuan
melaporkaan kepada Pengurus Adat atas perbuiatan laki- laki tersebut, maka sanksi yang dibebankan kepada laki- laki tadi 10 buah, 8
buah untuk orang tua Perempuan dan 2
buah untuk Pengurus Adat. Sedangkan
Hukum Adat “Nganjung Urakng”
diberikan kepada Pengurus Adat.
3.
Sedangkan Perubahan ke IV, ( Tanggal 6 sampai dengan 9 Mei 2006 )
memperjalas Perbuatan Nguang Urakng, sebagai berikut : Bahwa perbuatan Nguang Urakng pada Masyarakat
Adat Dayak Kantu’ sangat dilarang dan
pelakunya dapat dikenakan sanksi
hukum dengan ketentuan:
a.
Laki- laki ( Laki te Nguang Urakng ) didenda 100
buah, sedangkan Perempuan mendapat
ganjaran 50 buah. Empat buah diberikan kepada Pengurus Adat, sedangkan sisanya
menjadi milik orang tua Perempuan.
b.
Pembantu, seperti yang mengatar atau penunjuk
jalan dikenakan denda 25 buah. Empat buah diberikan kepada Pengurus Adat.
c.
Sementara Orang Tua yang menyembunyikan
perbuatan terlarang tersebut mendapat ganmjaran 10 buah.
-54-
B. ADAT BETUNANG
1.
Menurut Hukum Adat Dayak Kantu’ dalam Perubahan ke II
( 1 Januari 1995 ) berbunyi sebagai berikut :
a.
Sebelum melangsungkan Perkawinan, maka pihak
laki- laki harus menyerahkan “Mas Kawin” kepada pihak Perempuan
sebesar 40 buah, selain itu pihak laki- laki masih dibebankan “Tanda
Tunang” sebagai bukti hubungan pertunangan sah berupa : “
Satu betuk cincin ( Cincin Emas belah rotan ) dan seperangkat Pekaian Perempuan
( dua belas Janis )”
b. Barang
siapa dangan sengaja membatalkan pertunangan atau membuat batal tunang dikenai sanksi hukum 15 buah, dengan ketentuan
sebagai berikut :” Batalnya pertunangan akibat dari pihak laki-
laki, maka tanda tunang berikut mas kawin tidak dapat dikembalikan, akan tetapi
bila batalnya pertunangan atas perbuatan pihak Perempuan maka tanda tunang dan
mas kawin wajib dikembalikan, dan dapat dihukum dua kali lipat tanda tunang”.
c.
Melakukan pertunangan lebih dari satru kali
dengan orang yang berbeda, sementara yang pertama belum dibatalkan, maka yang
bersangkutan dikenai sanksi hukum
sebesar 30 buah.
2.
Tinjauan Hukum Adat yang ke III, tanggal 6 Mei 2001, menyatakan :
a.
Batal ( Balang ) tunang karena tabiat pihak
Perempuan lalu tanda tunang tidak dikembalikan kepada Pihak laki- laki, maka
pihak Perempuan dikenai sanksi hukum dua kali lipat dari hukum baling tunang,
yaitu : 15 buah X 2 = 30 buah, ditambah lagi 15 buah, berarti pihak Perempuan menanggung denda sebesar 45 buah
dan 30 % dari sanksi itu deberikan kepada pengurus adat.
b.
Betunang lebih dari satu kali, dan yang
bersangkutan masih terikat pertunangan dengan orang pertama, mendapat sanksi hukum adat 30 buah.
c.
Betunang dengan orang lain yang sedang betunang,
yang disebut “Berangkat Tunang” dan yang bersangkutan mengetahui bahwa yang
bersangkutan masih terikat poertunangan dengan orang lain maka sanksi huklum
telah menghadang didepan hidungnya sebesar 40 buah.
-55-
3.
Dalam perubahan ke IV, menggaris bawahi :
a.
Sebelum melangsungkan acara Perkawinan, pihak
laki- laki wajib menyerahkan “Mas Kawin” yang disebut “Pakaean”
kepada pihak Perempuan sebesar 40 buah.
b.
Selain itu pihak laki- laki masih dibebankan
tanda tunang berupa satu bentuk Cincin ( Cincin emas belah rotan ) seperangkat
Pakaian Perempuan lengkap dan ongkos untuk “acara Pernikahan “ ,
sebagai tanda pertunangan sah.
c.
Seseorang yang dengan sengaja membatalkan
pertunangan atau membuat batal pertunangan dikenai sanksi hukum 15 buah dan 30
% nya diserahkan kepada pengurus Adat.
d.
Batalnya pertunangan disebabkan oleh perbuatan
pihak Laki- laki, tanda tunang atau Pakaen tidak dikembalikan dan mendapat
sanksi hukum Adat 10 buah, akan tetapi bila Pihak Perempuan yang mebuat ulah
sehingga pertunangan batal maka tanda tunang
atau Pakaen dan ongkos untuk Pesta Nikah dikembalikan, serta mendapat
sanksi hukum Adat sebesar 10 buah.
e.
Melakukan pertunangan lebih dari satu kali
sementara masih terikat dengan tunang yang lama, sanksi hukum adat 50 buah
sudah menunggu didepan hidung.
f.
Melakukan pertunangan dengan seseorang yang sedang terikat pertunangaan
dengan orang lain, disebut “PERANGKAT TUNANG”, kepada yang
bersangkutan wajib membayar Hukuman 100 buah.
g.
Menikah sementara waktu ( Kawin Kontrak ), Dayak
Kantu’ menyebutnya “Ngabaeh Ruang Bileik”, sudah pasti sanksi Hukum Adat 100 buah harus dipikulnya, dan ditambah “Supan”
penurrus Adat 10 buah.
C.
ADAT KAWIN LEBIH DARI SATU
Adat- istiadat dan budaya Suku Dayak
Kantu’ dengan tegas meolak sistem yang menganut perkawin “Poligami dan poliandri” (Kawin lebih dari satu orang); maka hukum
adat menitipkan pesan :
-56-
1.
Hukum Adat, Perubahan ke II, menyatakan sebagai
berikut;
a.
Seseorang yang dengan sengaja melakukan
perkawinan lebih dari satu, baik menurut Adat, Agama yang dianutnya, atau
menurut Hukum Pemerintah Republik Indonesia, yang bersangkutan dapat dikenakan
sanksi hukum 100 buah. Kecuali istri yang pertama menyetujui atau menurut alasan-
alasan lain yang dapat dibenarkan oleh
Pengurus Adat. Yang berhak atas harta benda, baik yang bergerak maupun tak
bergerak adalah istri peretama.
b.
Sebagai akibat kawin lebih dari satu, sehingga
mengakibatkan perceraian dengan istri pertama, maka hukum tambahan 50 buah sudah menjadi tanggungannya.
c.
Bila waktu cerai istri dalam keadaan hamil, maka
laki- laki itu berkewajiban menanggung biaya bersalin, serta biaya hidup anak
sampai dewasa ( berusia 18 tahun) yang ditaksir Adat pada saat itu
Rp.10.000,00/ hari.
2.
Pada Perubahan ke IV , menegaskan :
a.
Seseorang yang melakukan pernikahan lebih dari
satu kali ( menganut paham Poligami atau Poliandri ) serta masih terikat dalam
perkawinan yang sah, sanksi Hukum Adat yang harus dipikulnya 150 buah;
sementara yang berhak atas harta benda baik yang bergerak maupun tidak bergerak
adalah suami atau istri pertama, artinya yang bersangkutan tidak mendapatkan
apa- apa dari harta bendanya ( Lepaeh dirumah, lepaeh ditanah, angat selai
sepinggang).
b.
Akibat Kawin lebih dari satu orang sehingga tercadi perceraian padahal
suami/istri sedang dalam keadaan sakit, maka
sanksi hukum 150 buah sudah menanti.
D. ADAT NGAMPANG
Ngampang: adalah seorang gadis atau janda
yang hamil diluar nikah,seorang Perempuan mengakui ( Ngambo’ ) pernah
berhubungan badan dengan seorang laki-
laki, baik laki- laki itu masih bujang maupun sudah duda dan sudah belepaeh
balu dan laki- laki itu mengakui perbuatannya dan mau mengawini Perempuan itu,
maka kehamilan itu tidak lagi disebut “Ngampang”. Berikut ini Adat
Ngampang :
-57-
1.
Dalam perubahan ke II Hukum Adat Dayak
Kantu’menjelaskan :
a. Ngampang adalah sebutan kepada wanita yang hamil
diluar nikah yang sah, baik menurut
adat, agama dan Hukum Negara, perbuatan
ini harus ditebus dengan “NYENKELATN TANAH AEI’ “ untuk
mengembalikan kesimbangan alam dengan babi 3 ekor ( beratnya tidak boleh kurang
dari 35 kg ), dengan tata cara sebagai berikut: “Satu ekor dipotong diair, untuk nyengkelatn air, satu ekor
dipotong ditanah (untuk nyengkelatn
tanah), satu ekor dipotong dirumah ( untuk nyengkelatn rumah ), dan Babi- babi
yang suidah dipotong tersebut tidak boleh dimakan”.
b.
Seseorang menghamili anak gadis orang, atau janda dan tidak mau menikahinya,
perbuatan tersebut dinamakan “PENIPUAN” yang bersangkutan
dikenakan sanksi hukum 125 buah. Selain itu yang bersangkutan masih dikenakan
biaya bersalin dan segala akibatnya, dan masih dikenakan biaya anak dalam
kandungan dan setelah lahir sampai usia 5 tahun. ( Saat itu / hari Rp.3000,00).
c.
Menghamili seseorang gadis atau janda diluar perkawinan yang sah
dalam keadaan cacat tubuh atau sakit, dan anak dibawah umur ( 18 tahun kebawah ) didenda hukuman adat dua
kali lipat dari hukuman ngampang biasa.
d.
Seorang gadis atau Janda telah hamil diluar nikah, dalam tenggang
waktu enam bulan dari umur kehamilannya, tidak dapat mengakui siapa yang
seharusnya bertanggung jawab (Ngabu’/Ngaku’ urakng ) atas kehamilannya,
perempuan itu harus menanggung sendiri segala akibatnya, dan ngampang tersebut
dapat disamakan dengan “Ngampang mali”, sanksi hukumnya dua
kali lipat dari Ngampang biasa, yaitu sebanyak enam ekor babi.
e.
Orang tua yang menyembunyikan kehamilan anaknya,
atau menyatakan anaknya tidak hamil, setelah dibuktikan ternyata hamil, maka besaran sanksi hukum yang dipikulnya 10 buah.
2.
Dalam perubahan ketiga, menitipkan pesan : “
Bila laki- laki tidak mau bertanggung jawab ( kawin)yang mengakibatkan hamilnya Perempuan, maka sanksi hukum adat 125 buah sudah menjadi
bebannya, biaya selama kehamilan ( 9 bulkan 10 hari ) serta ongkos bersalin
dengan segala akibatnya juga sudah
menjadi tanggung jawabnya berikut biaya hidup anaknya sampai
berusia
5 tahun ( Perubahan ke III menaksir Rp.3.000,00/ hari ).
-58-
3.
Perubahan ke IV; mengatakan :
a.
Seorang
laki- laki yang menghamili Perempuan diluar Nikah, dan tidak bertanggung jawab
atas perbuatannya, maka yang bersangkutan sudah dipastikan memikul sanksi Hukum
Adat sebesar 200 buah, ditambah biaya selama kehamilan dan biaya bersalin serta
akibatnya; tidak saja sampai disitu dia diwajibkan menanggung biaya hidup
anaknya sampai 5 tahun ( ditaksir Rp 5 juta ).
b.
Seseorang menghamili Perempuan cacat pisik
maupun mental, atau anak dibawah umur (16 tahun kebawah ), sudah pasti sanksi
hukum 400 buah sudah mengitai, termasuk biaya bersalin dengan segala akibatnya
dan biaya hidup anak Rp.4 juta.
Babi yang
dipergunakan untuk bayar Adat ngampang ditanggung bersama antara pihak laki- laki dan pihak Perempuan.
E.
ADAT
SARAK.
Cerai dalam bahasa Dayak Kantu’ disebut “Sarak”
; berarti putus hubungan suami – istri.
Kedua belah pihak mempunyai hak yang sama untuk menceraikan. Pada
umumnya yang sering terjadi memang suami yang menceraikan istirnya, akan tetapi
dengan alasan yang kuat istri juga boleh menceraikan suami; misalnya karena
selingkuh atau karena malas. Berikut “Adat
dan Budaya Dayak Kantu’ “:
1.
Dalam perubahan ke II, Hukum Adat Dayak Kantu’,
mengatakan :
a.
Seseorang dengan sengaja menyebabkan hubungan
perkawinan putus, maka dapat didenda sebesar
50 buah.
b.
Seseorang yang menceraikan istiri/suaminya dalam
keadaan sakit, sedangkan sakit tersebut masih bisa disembuhkan, maka pihak yang
menceraikan dapat didenda 100 buah.
c.
Seorang Suami menceraikan istrinya dalam keadaan
hamil, maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi hukum 70 buah, ditambah
biaya persalinan anaknya dan biaya hidup anaknya sampai umur 16 tahun; kecuali
ada ketentuan lain.
-59-
d.
Perceraian yang bermula dengan suatu
perselisihan dan menyebabkan seseorang menjadi luka, maka hukum adat cerai
ditambah dengan biaya pengobatan serta biaya- biaya lainnya ditambah dengan
hukum adat Pemali, pemampul darah dan lain sebagainya dikenakan bagi yang bersangkutan; kecuali
perbuatan itu semata- mata untuk membela diri.
2.
Dalam Perubahan ke IV, mempertegas :
a.
Seseorang dengan
sengaja menyebabkan perkawinan yang sah baik menurut hukum adat, agama
maupun menurut Hukum positif menjadi putus, sanksi hukum sebesar 50 buah sudah
harus ditanggung.
b.
Demikian pula bila yang diceraikan dalam keadaan
sakit, tetapi sakitnya masih bisa disembuhkan maka yang menceraikan dikenakan
denda sebasar 100 buah.
c.
Seorang suami menceraikan istrinya dalam keadaan
hamil, maka yang bersangkutan dikenakan sanksi hukum 70 buah ditambah dengan biaya hamil dan biaya bersalin dengan segala
akibatnya, termasuk biaya hidup anaknya sampai dewasa (berusia 16 tahun ).
d.
Suatu perceraian yang berawal dari percecokan,
sehingga mengakibatkan seseorang terluka
atau cacat, maka yang membuat cacat atau luka tersebut diwajibkan menanggung
biaya berobat, pemampul darah dan pemali.
e.
Bila pihak ketiga atau pihak lain yang menyebabkan
perceraian, maka yang bersangkutan dikenai sanksi hukum adat 60 buah.
F. ADAT
BUTANG BEDUSA (PERZINAHAN )
L H. Kadir ( 2016 ) Mempertagas perzinahan
sebagai berikut “ Perkawinan seperti Jadi Mali, Berangakat Tunang, Betaban,
Naban rari, dan Berangat, tetap dianggap perzinahan meskipun para pelaku telah
membayar hukum adat sesuai ketentuan”. Hukum yang telah mereka bayar
bukanlah menghapus cela dan aib yang telah mereka buat, tetapi sebagai
sengkelatn Menua; artinya membersihkan atau menyucikan kembali negeri (Desa )
dari noda sehingga terhidar dari mara
petaka.
Adat Masyarakat Dayak Kantu’ memandang
perkawinan denga n cara demikian sebagai sebuah noda yang tidak terhapuskan,
maka sengat dilarang. Oleh karenanya
perkawinan seperti tersebut diatas sangat jarang terjadi, meskipun
pernah terjadi dalam kehidupan Masyarakat Dayak Kantu’.
-60-
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hukuman yang dijatuhkan tidak berarti membenarkan perkawinan semacam ini,
tetapi untuk menghindari hukuman yang lebih berat, seperti hukuman tampun ( ditusuk dengan bambu runcing sampai mati )
bagi mereka yang kawin dalam status jadi mali.(Lih : LH Kadir :2016 :126 ) Perubahan Hukuman (maksudnya sanksi adat ) menjadi denda secara
materi baru terjadi tahun 1927 ( Putusan Rapat 10 Nopember 1927). Berikut
pesan- pesan sanksi Adat secara materi dalam adat “Butang Bedusa”
:
1.
Perubahan ke II, Hukum Adat Dayak Kantu’,
menyatakan :
a.
Seseorang yang bersetubuh dengan orang lain yang
bukan suami/ Istirnya, dimana salah satu pihak atau kedua belah pihak masih
punya sumai/ istri, maka yang bersangkutan masing- masing dikenai sanksi hukum
80 buah. Dengan ketentuan: “ Hukum
Perempuan sebagai pelaku seperempat diberikan kepada keluarga terdekat,
seperempat diberikan kepada Pengurus Adat sesuai dengan tingkatannya, Sedangkan
hukuman laki- laki sebagai pelaku, seperempat diberikan kepada pengurus Adat,
seperempat diperuntukan kas desa sedangkan dua perempat diberikan kepada orang
tua masing- masing”.
b. Akibat
dari butang bedusa tersebut, lalu disertai dengan tindakan perceraian, maka
masing- masing pihak diwajibkan menanggung
sanksi hukum sebesar 60 buah dengan rincian sebagai berikut : “ Tiga perempat dari hukuman pokok
diberikan kepada pihak yang dirugikan (Suami/ Istirnya), sementara seperempat
diberikan kepada Pengurus Adat sesuai dengan tingkat penyelesaiannya”
c.
Apa bila kedua belah pihak (Laki- laki dan Perempuan ) sama- sama masih
terikat perkawinan dengan orang lain, maka masing- masing mendapat sanksi hukum
sebesar 120 buah, dengan rincian sebagai berikut : “ 180 buha diberikan kepada kedua belah pihak yang dirugikan yang
masing- masing mendapat 90 buah, 40 buah diberikan kepada orang tua atau yang
dapat disamkan untuk itu yang masing- masing mendapat 20 buah, 10 buah
diberikan kepada Pengurus Adat sedangan sisanya (10 buah ) diperuntukan kepada
kas desa”.
2.
Menurut Perubahan ke III, bila keduanya masih
terikat suami/istri, keduanya dikenai
sangsi hukum dengan besaran 240 buah.
-61-
3.
Dipertegas dalam Perubahan ke IV , persetubuhan yang bukan
pasangannya baik salah satu maupun
keduanya masih terikat perkawinan disebut “BUTANG BEDUSA”,
a.
Para pihak dikenai/ masing- masing pihak dikenai
sanksi hukum 100 buah, dengan ketentuan sebagai berikut : “Hukuman pelaku
perempuan tiga perempat diberikan kepada keluarga terdekat, seperempat menjadi
milik Pengurus Adat. Sedangkan hukuman dari Pelaku Laki- laki seperempat
diberikan kepada Pengurus Adat, seperempat menjadi milik kas adat, sisanya diberikan
kepada pihak orangtua kedua belah pihak.
b. Bila
perbuatan tersebut mengakibatkan perceraian, maka masing- masing pihak
dikenakan sanksi dengan besaran 160 buah, dengan ketentuan sebagai berikut : “ tiga perempat diberikan kepada pihak
yang dirugikan, seperempat diperuntukan
bagi pengurus adat”.
c.
Bila keduanya masih terikat perkawinan yang sah
( menurut adat, agama yang dianutnya maupun menurut hukum Negara Republik
Indonesia) maka masing- masing pihak dikenakan sangsi Hukum dengan besaran 240
buah, yang ketentuan sebagai berikut : “
yang dirugikan masing- masing mendapat 180 buah, orang tua masing- masing
mendapat 40 buah dan pengurus Adat dn kas Adat masing- masing mendapat 20
buah”. Ketentuan ini berlaku apabila keduanya sama- sama bercerai, tetapi
kalau yang bercerai hanya salah satu pihak saja, maka yang tidak bercerai tidak
berhak menerimanya, sanksi hukum tersebut diberikan kepada orang tua atau
keluarga terdekat.
d.
Bila pihak yang dirugikan (Suami/ Istri ) atas
perbuatatan tersebut minta cerai, sedangkan pelaku masih ingin mempertahankan
rumnah tangganya; maka pikah yang dirugikan tidah wajib membayar adat – pemuai,
mengingat alasannya cukup kuat dan dapat dibenarkan, yaitu “Butang
Bedusa/Pezinahan”.
-62-
G. ADAT
BERANGKAT TULANG
Berangkat Tulang atau Perangkat
Tulang disebut juga “Berangkat Balu”, ini terjadi
apabila seorang Perempuan/ laki- laki yang suami/ Istirnya meninggal dunia,
menikah sebelum pelepas ( Pelepaeh ) masa balunya oleh keluarga ( masa balu jaman
dahulu bisa bertahun- tahun, sekarang
dengan mempertimbangkan kemanusiaan
tenggang waktu masa balu hanya dibatasi 6 bulan dari meninggal suami/ istrinya
); sedangkan Adat pelepaeh Balu adalah
sebagai berikut : “ Satu Gantang ( Sekulak ) beras, satu buah tempayan, sesingkap
piring porselen, satu ekor ayam, satu (sepotong ) besi, dan satu gulung
benanang ( warna Merah )”; berikut hukum Adat “Berangkat Tulang” :
Menurut Perubahan ke IV, Buku Adat “
KETENTUAN HUKUM ADAT DAN BUDAYA SUKU DAYAK KANTU’ “, menyatakan
“
Perangakat/ Berangkat Tulang, atau Berangkat Balu adalah sebutan bagi seorang Janda/Duda yang
suami atau istrinya meninggal dunia dan menikah lagi dalam batas waktu sebelum
enam bulan, kepada yang bersangkutan dikenakan sanksi hukum
60 buah”.
H. ADAT PEMERKOSAAN
Pemerkosaan, adalah perbuatan memaksa
seseorang untuk melampiaskan nafsu birahinya kepada seseorang yang bukan
pasangannya, dengan cara mengancam atau cara- cara yang dapat disamakan dengan
itu .
1.
Dalam Perubahan ke II, mengaturnya sebagai
berikut :
a.
Seseorang yang melakukan percobaan untruk
memaksa orang lain bersetubuh, dapat didenda
dengan Hukum Adat sebesar 30 buah.
b.
Sedangkan percobaan Pemerkosaan anak- anak/
dibawah umur, dikenakan sanksi hukum 60 buah.
c.
Memperkosa anak- anak, pelaku dikenakan saksi
hukum 120 buah, sedankan pada orang dewasa palaku dapat dikenakan sanksi hukum
60 buah.
d.
Pemerkosa terhadap orang yang tidak berdaya (
Seperti : mabuk, sakit jiwa atau yang dapat disamakan dengan itu ) pelaku
dikenakan sanksi hukum 90 buah.
-63-
2.
Pada perubahan ke III, Adat Dayak Kantu’
menyatakan :
a.
Percobaan Pemerkosaan anak- anak/ dibawah umur
16 tahun, pelaku dikenai sanksi Adat 120 buah, sedangkan pada perempuan dewasa, pelaku didenda dengan
besaran 60 buah.
b.
Bila memperkosa seseorang Perempuan yang sudah
tidak berdaya, didenda dengan hukum Adat sebesar 90 buah.
c.
Bila memperkosa anak dibawah umur maka dikenakan
hukum adat 120 ditambah dengan hukum
ngancam sebesar (ngancam dengan kata- kata sebesar 5 buah, ngancam dengan benda
tumpul 10 buah, ngancam dengan barang tajam 20 bua ); bila memperkosa perempuan
dewasa diancam dengan hukuman 60 buah ditambah hukum ngancam.
3.
Adat Pemerkosaan ini dipertegas , dalam Perubahan ke IV , yang berbunyi sebagai
berikut :
a.
Percobaan Pemerkosaan anak- anak (dibawah 16 tahun ) pelaku didenda/ mendapat sanksi
hukum 100 buah, kalau sudah memperkosa 400 buah.
b.
Percobaan Pemerkosaan kepada orang dewasa
mendapatkan sanksi hukum 60 buah, kalau sudah memperkosa 300 buah.
c.
Memperkosa seseorang yang sudah tidak berdaya (
Misalnya Mabok, meninggal dunia, pingsan, dan lain yang dapat disamakan dengan
itu ) pelaku dikenai saksi hukum 350 buah.
d.
Bila
percobaan memperkosa atau memperkosa sambil mengancam maka ditambah
hukum Ngancam ( yang besarannya sebagai
berikut : dengan kata- kata 10 buah, dengan benda tumpul 20 buah, dengan benda
tajam 40 buah, dengan senjata api 60 buah ).
e.
Biaya pengobatan korban ditanggung
sepenuhnya oleh pelaku, dan apabila korban sampai meninggal dunia maka ditambah
dengan “Pati Nyawa”.
I.
ADAT BUTANG
RANGKAI
Berzinah dengan istri/ suami orang lain disebut
“BUTANG
BEDUSA” Jaman dahulu kedua belah pihak mendapatkan sanksi hukum
Rp.25.00 jadi jumlah hukum yang harus dibayar Rp.50,00 (L H Kadir ).
-64-
Lalu “BUTANG RANGKAI” itu sendiri adalah perbuatan percobaan
melakukan “PERZINAHAN”, percobaan tersebut tidak terlaksana karena sudah
diketahui oleh orang lain.
1. Ketentuan
Hukum Adat Dayak Kantu’ dalam perubahan
ke II menggaris bawahi “ Seseorang yang
melakukan perbuatan butang rangkai mendapat
sanksi hukum 20 buah, kalau kedua- duanya sama- sama mau melakukan perbuatan
tersebut maka kepada mereka dikenai
sanksi hukum sebesar 40 buah”.
2.
Hal tersebut dipertegas dalam perubahan ke IV; “Siapa yang melakukan perbuatan butang
rangkai / percobaan perzinahan dikenai sanksi hukum 40 buah, kalau kedua belah
pihak sama- sama mau melakukan percobaan perzinahan dikenai sanksi hukum 80
buah”.
J.
ADAT
SALAH BASA
Salah basa adalah suatu perbuatan atau
prilaku dalam pergaulan sehari- hari yang melampaui batas- batas kewajaran
menurut Adat- istiadat Dayak Kantu’, misalnya: Berbicara ( nobrol ) berduaan
dengan istri/ suami orang lain tanpa ada orang ketiga, biasanya sudah muncul
kecurigaan akan hubungan gelap. Sekitar tahun 1927 sanklsi hukum sebesar Rp 5,00 ( Lih: L H. Kadir 2016).
1.
Sanksi hukum salah basa pada perubahan ke II,
ditetapkan sebasar 2 buah.
2.
Lalu dalam perubahan ke III hukum salah basa
menjadi 10 buah.
3.
Sedangakan dalam ketentuan , peninjauan Hukum Adat ke IV, tidak ada
perubahan.
K. ADAT KESUPANAN
Kesupanan adalah adat “Sopan santun atau tata karma”
dalam kehidupan masayarakat Dayak Kantu’ :
1.
Dalam Perubahan Hukum Adat ke II, Adat Kesupanan dipatok dengan besaran 4 buah.
2.
Lalu dalam perubahan ke III, meningkat menjadi
10 buah.
-65-
L. ADAT NGANCAM
Masyarakat Hukum Adat Suku Dayak Kantu’
memberlakukan sanksi “Hukum Ngancam” beberapa tingkatan,
yaitu :
1.
Perubahan ke II, menggaris bawahi Hukum Adat
Ngancam sebagai berikut : Seseorang yang
mengancam dengan kata- kata sebesar 5
buah, bila menggunakan benda tumpul 10 buah, apa bila memakai benda tajam
dikenai sanksi hukum 20 buah.
2.
Dalam
Perubahan ke IV, menegaskan :
a.
Melakukan ancaman dengan kata- kata, atau yang
dapat disamakan dengan itu dikenai
sanksi hukum 10 buah,
b.
Sedangkan mengancam dengan benda tumpul atau
yang dapat disamakan dengan itu, didenda 20 buah.
c.
Bila menggunakan benda tajam 40 buah.
d.
Tapi bila menggunakan senapan api atau yang dapat
disamakan dengan itu dikenai sanksi hukum sebesar 60 buah.
M. ADAT PATI NYAWA
Pati nyawa adalah bentuk sanksi hukum Adat
Dayak Kantu’ terhadap perbuatan seseorang, sampai meninggal dunia orang lain dengan uraian sebagai berikut :
1.
Perubahan ke II, menitipkan pesan :
a.
Suatu perbuatan yang menyebabkan meninggalnya
orang lain, dapat dikenai sanklsi Hukum sebesar 240 buah, ditambah biaya atau
ongkos yang berkaitan dengan korban.
b.
Demikian juga kalau perbuatan yang mengeluarkan
darah yang cukup parah bagi orang lain,
sehingga memerlukan perawatan yang lebih intensif, dapat dikenai sanksi hukum sebesar setengah pati nyawa
yaitu dengan besaran 120 buah, dan
ditambah ongkos berobat bagi korban
dengan segala akibatnya.
-66-
c.
Bila seseorang atas perbuatannya sehingga
menyebabkan orang lain terganggu kegiatannya sehari- hari dapat dikenai sanksi
hukum 60 buah, yang disebut dengan “PAMPAEH” . Akan tetapi kalau
perbuatan tersebut mengeluarkan darah namun tidak mengganggu kegiatannya
sehari- hari maka sanksi hukum 30 buah sudah menghadang didepan hidung.
d.
Perbuatan yang tidak disengaja sehingga
menyebabkan seseorang keluar darah, akan tetapi tidak berakibat fatal, maka
yang bersangkutan dikenai sanksi hukum 1 buah yang disebut “PEMAMPUL DARAH”, hukuman
tersebut dapat diganti dengan uang.
e.
Bila seseorang melakukan perbuatan dengan
sengaja sehingga menyebabkan orang lain
terluka/ mengeluarkan darah bahkan sampai meninggal dunia maka sanksi berat dikenakan kepada pelaku
dengan besaran 480 buah. Sedangkan Pengurus Adat setempat dapat menuntut “Hukum
Pemali”.
f.
Pembunuhan berencana dapat dikenai sanksi hukum
600 buah, sebelum diserahkan kepada Pengadilan Negeri Republik Indonesia untuk
mendapatkan hukuiman positif.
2.
Hal ini dipertegas dalam Perubahan ke IV,
Pati Nyawa adalah bentuk perbuatan
seseorang yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, apa bila dilakukan
dengan sengaja dapat dikenai sanksi hukum 1,500 buah, dengan rincian sebagai
berikut :
a. Satu payah Jala, pengganti rambut,
besarannya 50 buah.
b. Satu buah telaga, pengganti mata, dengan besaran 60 buah.
c. Satu buah Rangkei’, pengganti gigi, dengan
besaran 75 buah.
d. Satu singkap Par ( Napan Kuningan ),
pengganti telinga, dengan besaran 70 buah.
e. Satu buah Sengkuna, Pengganti kepala, dengan
besaran 100 buah.
f.
Satu batang besi Baku’, penggangti tulang,
dengan besaran 15 buah.
g. Satu Pucuk Senapan, pengganti tangan, dengan
besaran 80 buah.
h. Satu pucuk Bedil, pengganti Paha, dengan
besaran 150 buah.
i.
Satu Buah
Gong keliling delapan, pengganti tempat duduk, denang besaran 120 buah.
j.
Satu
buah Gong keliling Sembilan, pengganti suara, dengan besaran 150 buah.
-67-
k. Satu Buah Ntali Ujan, pengganti nafas, dengan besaran 90 buah.
l.
Satu
buah gelegiau, pengganti badan, dengan besaran 50 buag.
Ditambah dengan 20 singkap piring Porselen,
serta menanggung biaya pemakaman dinilai dengan 100 buah.
Apabila
dilakukan dengan “tidak sengaja” maka
pelaku hanya didenda adat, dengan besaran 900 buah, lalu dtambah dengan “Menaga”
( Penganti Badan ) yang besarannya dinilai
900 buah, serta dibebankan
ongkos/ biaya pemakaman dengan segala akibatnya.
Hukuman Adat Pati Nyawa, hanya berlaku
ditempat kejadian perkara ( TKP ) dan
tidak bisa dihukum dengan hukum Adat dari dua suku yang berbeda. Pengurus Adat di TKP dapat menuntut Pemali
kampung sesuai dengan tingkat “Pemali” nya.
Sedangakan “PAMPAEH” adalah
hukum terhadap seseorang yang atas
perbuatannya menyebabkan orang lain
menjadi cacat, dengan uraian sebagai berikut :
Apabial dilakukan dengan “
TIDAK SENGAJA” maka pelaku dikenai sanksi hukum sebesar 60 buah, serta menanggung suluruh biaya
pengobatan/perawatan; tetapi apabial dilakukan dengan sengaja maka pelaku
dikenai sanksi hukum dengan besaran 120
buah, dan menanggung seluruh biaya perawatan.
PEMAMPUL DARAH, adalah hukuman
terhadap seseorang yang karena perbuatannya mengakibatkan orang lain terluka
dan mengeluarkan darah, dengan uraian sebagai berikut : “ Apabila dilakukan dengan tidak
sengaja dan korban tidak terganggu kegiatannya sehari- hari, maka pelaku
dikenai sanksi 1 buah serta menanggung biaya perawatan, tetapi apabila dengan
sengaja maka sanksi 60 buah sudah pasti dipikulnya”
N. ADAT MENGGUGURKAN KANDUNGAN ( MERUK )
a.
Seseorang yang dengan sengaja melakukan
pembunuhan janin (Bayi ) dalam kandungan (Meruk ) maka pelaku dikenakan sanksi
hukum 250 buah, dan bagi yang ngampang ditambah hukum ngampang.
b.
Yang membantu melakukan perbuatan “menggugurkan
kandungan ( meruk)” sanksi hukum yang menimpanya 120 buah.
-68-
Ada beberapa Hukum Adat yang sepertinya
tidak ada sangkut- pautnya dengan Adat- istiadat dan Budaya Perkawinan Suku Dayak Kantu’, misalnya “Adat Pati
Nyawa”, tetapi bila ditelaah dengan cermat hukum Adat tersebut sangat erat
kaitanya terutama pada “ADAT PELEPAEH BALU” ( dalam adat Berangkat Tulang) yang artinya seseorang janda atau duda yang
kawin sebelum habis tenggang waktu Pelepaeh Balu atau Adat Pelepaeh Balu belum
dilaksanakan.
Hukum Adat Dayak Kantu’ sengaja penulis, tulis dengan tiga perubahan, ini bukti bahwa “ADAT-
ISTIADAT DAN BUDAYA DAYAK KANTU’ “ berkembang mengikuti perubahan jaman,
dinamis dan terbuka.
-69-
NARA SUMBER :
1.
DAVID,
Pemuka Masyarakat Desa Kirin Nangka, Kecamatan Embaloh Hilir.
2.
ANTONIUS
SURING, Temenggung Kantu’ Kecamatan Empanang, Desa Nanga Kantuk.
3.
UMPI UGUN,
Temenggung Kantu’ Kecamatan Bika, Desa Bika Jabay.
4.
SENAPUNG,
Ketua Adat Kantu’ Bika Nazareth, Kecamatan Bika.
5.
JUNAIDI
INUK, Pemuka Masyarakat Desa Nanga Kantuk.
-70-
REFERENSI :
1.
L H Kadir; Legenda, Adat, dan Budaya
DAYAK KANTUK serta sejarah Kebangkitan DAYAK
KALIMANTAN BARAT, 2016.
2.
-------------; KETENTUAN HUKUM ADAT
DAYAK KANTU’ DALAM Perubahan Ke II, 1995.
3.
-------------; BUKU ADAT DAYAK
KANTU’, Depali’/deapeh ke III, 2001.
4.
-------------; KETENTUAN HUKUM ADAT
DAN BUDAYA SUKU DAYAK
KANTU’, Dalam perubahan
Ke IV, 2006.
5.
BA,SH,MA, Yakobus E. Frans Layang, Kumpulan
Tulisan, memperingati 100 tahun Gereja Katholik
Banua Martinus, 2014
6.
-------------; ORANG KANTU’ DIBIKA KECAMATAN MANDAY KAPUAS
HULU, Perpustakaan
Sejarah.
7.
Yusriadi
; BAHASA DAN MASYARAKAT KANTU’ DI ULU KAPUAS, KALIMAMTAN BARAT,
2008.
8.
-------------; PEMERINTAH KABUPATEN
KAPUAS HULU KABUPATEN KONSERVASI,
9.
-------------; SINAR HARAPAN ( Harian ) Ruang JELAJAH ADAT NUSANTARA, Jumat 12 Juli
2013.
10.
-------------; DAYAKOLOGI ( Bulanan ); UPACARA
JADI SAUMP, PERKAWINAN ADAT DAYAK
KANTU’, edisi Reguler, No: 84 Th Xi, Agustus 2002.
11.
------------; LP3S – Institut of Dayakology
Research and Development, KEBUDAYAAN DAYAK,
Aktualisasi dan Transformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar